MOJOK.CO – Di Cina, Karl Marx dan Adam Smith bersalaman dan membuat komitmen untuk bersaing secara adil. Sebuah kondisi negara yang sungguh “unik”.
Kalau ada kesempatan dan pergi ke Beijing’s National Museum of China, di salah satu Hall museum, Anda akan disambut dengan kalimat ini:
“The Great Journey of Adapting Marxism to the Chinese Context.”
Dalam konteks Cina sekarang ini, bisa diartikan secara bebas sebagai: “Adaptasi Marxisme pada kebijakan-kebijakan strategis Xi Jinping.”
Lalu ada lukisan dua orang pemikir evolusionis (evolusi biologis dan evolusi sosial) duduk di meja kerja masing-masing, tapi diposisikan berhadapan satu sama lain. Pemisahnya adalah buku Das Kapital yang menempel di dinding, lalu di bawahnya ada balasan Surat Charles Darwin kepada Karl Marx. Pelukisnya adalah Qin Wenqing. Lukisan itu digarap pada 2018.
Mengapa Darwin? Dan mengapa Karl Marx menyurati Darwin? Karena Karl Marx mengagumi Darwin. Mereka berdua adalah dua pencetus teori evolusi, yakni evolusi biologis (Darwin) dan evolusi sosial (Marx, dalam kontek dialektika materialistik/Hegel idealistik).
Jadi, tanpa banyak diketahui publik, setelah Das Kapital terbit di Eropa, Karl Marx mengirimkan edisi berbahasa Jerman kepada Darwin. Karl Marx memang mengaggumi Darwin. Lalu, Darwin membalasnya. Begini bunyinya:
“I thank you for the honour which you have done me by sending me your great work on Capital; & I heartily wish that I was more worthy to receive it, by understanding more of the deep & important subject of political Economy. Though our studies have been so different, I believe that we both earnestly desire the extension of knowledge, & that this in the long run is sure to add to the happiness of Mankind.”
Nampaknya, setelah menerima Das Kapital, Charles Darwin malah bingung. Tapi, atas nama sopan santun, surat itu kemudian dibalas dengan halus dan jujur, sebagaimana ditulis “Though our studies have been so different.”
Di Cina, sampai hari ini, Karl Marx masih dipandang sebagai “dewa”. Yah, meskipun sebagian besar generasi muda Cina sudah mulai terlepas dari doktrin-doktrin marxisme. Secara kasat mata, sekarang ini ada 1,4 miliar manusia di Cina. Sekitar 95 jutanya adalah kader Partai Komunis Cina (PKC). Dalam bahasa marketing, pasar untuk marxisme masih besar.
Pemerintah Cina, terutama rezim Xi Jinping, benar-benar ingin mengontekstualisasi pemikiran Karl Marx. Sehingga, dalam konteks ini, keyakinan kaum liberal Amerika pada pendekatan engagement terhadap Cina memang sudah banyak terbantahkan sejak Xi berkuasa. Bukan malah makin mirip kapitalisme liberal barat, tapi justru makin “state capitalist” dengan spirit yang makin merkantilisme.
Tahukah kamu, pemerintah Cina bahkan sampai memberikan dana kepada universitas di mana Marx pertama belajar. Sebuah bentuk apresiasi tersebut dimaksudkan untuk membangun patung Karl Marx. Pembangunan patung tersebut dilakukan pada 2018. Universitas yang dimaksud adalah University of Bonn atau akrab dengan sebutan Rhein-Universität, dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Rhine University.
Pendeknya, setelah 100 tahun Partai Komunis Cina (atau sering disebut sebagai CCP) secara ideologis dan ideasional masih solid bersama marxisme leninisme, sebagaimana masih tertulis di dalam dokumen dasar CCP, layaknya nilai dasar Partai Penguasa di Korea Utara, Kuba, atau Venezuela.
Tapi hanya di Cina, satu-satunya, di mana Karl Marx mampu memiting Adam Smith dan David Ricardo sekaligus, lalu menjadikan keduanya sebagai kapitalis kecil di dalam sangkar sosialisme. Cina menyebutnya dengan istilah “sosialisme dengan karakteristik Cina”.
Sebagian pengamat mengenal gaya ini dengan istilah birdcage style (gaya sangkar burung) yang diperkenalkan pengikut Chen Yun di mana kapitalisme dianggap sebagai “burung” dan sosialisme sebagai sangkarnya. Bagi Deng Xiaoping, birdcage adalah win-win solution antara kelompok konservatif Chen Yun dan kelompok reformis Deng. Ide dasar birdcage inilah yang menjadi roh dari Kawasan Ekonomi Khusus di mana liberalisasi ekonomi dikerangkeng hanya di dalam kawasan semata.
Dan tak lupa, model birdcage pula yang membuat PKT berhasil mengendalikan liberalisasi ekonomi dengan tiga pendekatan utama (legitimation, cooptation, dan repression) sebagaimana dibahas secara apik oleh Bruce J Diction dalam bukunya The Dictator’s Dilemma beberapa tahun lalu.
Intinya, PKT berhasil menjinakan kapitalisme dan memangkas “ambisi demokratisasi” yang dibawanya. Walhasil, Cina menjadi anomali dalam teori pembangunan ekonomi di mana kesejahteraan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh kebijakan-kebijakan liberalisasi ekonomi ternyata gagal membawa angin demokrasi ke negeri Tirai Bambu.
Tapi itu baru satu versi cara pandang mengingat Cina telah mengalami pertumbuhan dua digit selama dua dekade lebih, para triliuner, milarder, dan puluhan juta kelas menengah telah lahir. Partai yang berideologikan marxis leninis itu kini harus melegitimasi dirinya di hadapan generasi baru yang borjuis alias bukan lagi bertipe proletar. Dengan kata lain, Partai Komunis Cina harus meletakkan kepentingan para kapitalis dan borjuis baru tersebut di dalam keranjang kepentingan partai.
Dalam buku terbarunya yang terbit tahun ini, Xi. A Study in Power, Professor Kerry Brown dari King College, Inggris, justru menggambarkan situasi itu secara sebaliknya, yakni sosialisme kini melayani kaum borjuis mengingat banyaknya kelas menengah dan orang kaya baru di Cina.
Ya, Partai Komunis Cina memang sudah dimasuki para kapitalis sejak 2002, di akhir masa bakti Jiang Zemin, di mana keanggotaan partai diperluas.
Sejak 2002, wiraswasta, pengusaha, kapitalis, atau apapun sebutannya, boleh menjadi anggota CPP. Rerata orang-orang terkaya dunia yang berasal dari Cina dan yang masih bertahan sampai hari ini adalah anggota mereka, terpublikasi atau diam-diam. Walhasil, di Cina, kapitalisme dan sosialisme tidak lagi gontok-gontokan, tapi saling memanfaatkan dan menunggangi. Ibaratnya, Karl Marx dan Adam Smith bersalaman dan membuat komitmen untuk bersaing secara fair.
Seru, ya.
BACA JUGA Beneran Nggak Sih Komunis Cina Batasi Umat Islam Beribadah di Negaranya? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno