MOJOK.CO – Farrokh Bulsara ganti nama jadi Freddie Mercury, Raden Rara Nike Ratnadilla jadi Nike Ardilla, sampai Riyanto jadi Puthut EA, eh, Tukul Arwana ding.
Banyak orang menganggap nama anak bukanlah sekedar penanda. Lebih dari itu nama merupakan pengingat dan harapan. Hanya karena beberapa tahun silam menggemari Arsenal dan memfavoritkan salah satu pemainnya, Arshavin. Seorang lelaki pecinta sepakbola merasa perlu mengabadikan nama tersebut di akte kelahiran anaknya kelak.
Seiring dengan berjalannya waktu cita-cita tersebut tetap terpelihara. Dia tetap mengagungkan Arsenal, tetapi di sudut hatinya yang lain juga mengagumi Mohamed Salah, winger trengginas yang bertransformasi menjadi attacker untuk Liverpool. Begitu anaknya lahir, lelaki yang sudah berstatus sebagai bapak tersebut tanpa pikir panjang langsung menggabungkan nama-nama tersebut, Mohamed Salah Arshavin.
Orang yang tidak melihat sejarah penamaan tersebut mengartikan, “Oh, apakah itu artinya Arsenal tidak mampu juara karena salahnya Arshavin?”
Ada satu waktu, di satu ruang antrean dokter anak bisa berdiri empat ibu saat dipanggil nama Zidan. Nama yang tersinspirasi dari pemain bola. Maka orang kemudian berlomba memberikan nama yang jauh dari akar budayanya.
Terlepas di negeri ini orang mudah menamai anaknya sesuai tren. Hal semacam itu jadi salah satu bukti bahwa nama merupakan hak prerogatif orang tua, atau bahkan bisa disebut sebagai hak keegoisan seorang bapak. Iya kalau anaknya suka, kalau anaknya memberontak? Tidak jarang, karena namanya multitafsir, seorang anak sering menggunakan jalur hukum untuk membatalkan nama pemberian orang tua.
Dalam khasanah industri pertunjukan hingga kesusastraan, nama menjadi hal yang sangat penting karena dianggap dapat mendatangkan hoki. Setelah top, kalau perlu disahkan secara hukum agar dapat untuk nyaleg. Seperti yang dilakukan Ahmad Dhani dan Mulan Jameela
Farrokh Bulsara, kurang bagus apa nama yang konon artinya terberkati itu? Dengan bakat menyanyi luar biasa dan kemampuan musikalitas di atas kebanyakan musisi, toh dia merasa perlu ganti nama jadi nama panggung yang di kemudian hari berkibar abadi. Nama Freddie Mercury yang dipilih kemudian: mudah diingat publik, mudah diucapkan dan mempunyai nilai jual.
Era 80 dan 90-an, masa yang selalu dibanggakan generasi X sebagai puncak keemasan industri musik baik dunia maupun Indonesia. Era di mana musik masih mengandalkan penjualan lagu berbasis pita kaset. Banyak muncul penyanyi dengan nama populer yang terhitung ajaib. Jauh dari nama aslinya, tidak nyambung, dan terkadang menggelikan.
Sebut saja Poppy Mercury. Penyanyi dari generasi X yang menjulang dengan lagu berjudul “Surat Undangan”. Dia sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan dengan Freddie Mercury. Sama sekali juga tidak terkait dengan kebiasaan menggunakan bedak dengan bahan mengandung mercury. Dia pun berasal dari Bandung, bukan Planet Merkuri.
Generasi milenial jelas seiprit aja yang paham dengan nama besar Poppy Mercury. Di puncak kejayaannya, lengkingan suaranya yang mencapai 4 oktaf sangat menggetarkan. Apalagi saat menyanyikan “Surat Undangan”, satu bait sebelum reff.
Surat undanganmu
Pernikahan itu
Kugenggam erat di tanganku
Hanya doa restu yang kupersembahkan
Semoga engkau bahagiaaaa
Lirik dan pembawaan lagu tersebut, benar-benar merobek hati perempuan yang ditinggal menikah oleh mantannya. Waa… sedih banget lagu itu. Kalian pasti akan menangis. Perih teriris-iris.
Bayangkan perasaan kalian kalau harus mengalami sendiri. Kalau kesulitan, cukup bayangkan kepedihan Iqbal Aji Daryono, megaseleb facebook yang ditinggal menikah idolanya di masa remaja, Hanum Rais. Sekian tahun belum ilang perihnya, eh harus menyaksikan kisah cinta Hanum & Rangga difilmkan. Jelas remuk redam.
Seandainya lagu tersebut dinyanyikan Poppy Yusfidawaty. Bisa jadi lagu tersebut tidak akan pernah menasional. Walaupun si penyanyi mempunyai kualitas di atas rata-rata, suaranya bagus dan berkarakter. Orang pasti tidak akan pernah menganggapnya.
“Eh, siapa nama penyanyinya? Yus siapa? Badudu? Hah, Yusdawiafi?”
Publik akhirnya lebih meributkan nama. Lupa bagaimana seharusnya mengapresisasi lagu tersebut.
Itu belum membicarakan Raden Rara Nike Ratnadilla. Remaja cantik fenomenal yang sudah mangkat beberapa tahun silam. Nama penyanyi yang sepertinya lebih cocok kalau jadi penari di istana, akhirnya dimodifikasi agar mudah populer.
Deddy Dores, orang yang mengorbitkan akhirnya memodifikasi nama tersebut menjadi Nike Ardilla. Mudah diingat, mudah diucapkan dan mengandung hoki. Apalagi nama tersebut sekilas ada kemiripan dengan penyanyi perempuan top saat itu, Nicky Astria. Lady rocker yang nama asli juga tidak banyak yang tahu.
Sebelum berganti nama, suara Nicky Astria tidak pernah dapat melengking hingga tepi neraka kalau menembangkan “Jarum Neraka”. Mungkin pernah, tapi nyaris tak ada orang yang tahu nama asli si penyanyi bersuara dahsyat itu. Nicky merupakan akronim dari nama asli; Nastitie Karya Dewi. Sedangkan Astria konon merupakan plesetan dari motor legendaris yang pernah diproduksi Honda, Astrea 800.
Di hari-hari ini perseteruan yang melibatkan dua nama besar di jagad hiburan tanah, tak urung membuat kita bingung. Soal property right atau bagaimana seharusnya seorang penyangi beda genre mengintepretasi sebuah lagu. Maulidia Oktavia versus I Gede Ari Astrina. Gede Ari tidak terima musiknya diacak-acak oleh Maulidia secara koplo sekoplo-koplonya.
Bingung kan, kalau disebut nama aslinya?
Teuku Adifitrian, sebagai penyanyi senior ikut berpendapat soal kemelut itu. Dia tidak sepenuhnya menyalahkan tindakan Maulidia yang tidak minta ijin, toh bukan untuk memperkaya diri. Kalaupun ada hal yang salah dalam duel penyanyi punk rock vs dangdut koplo tersebut lebih ke soal keengganan Maulidia untuk meminta izin Gede Ari.
Teuku menggunakan contoh dirinya yang pernah dihubungi seorang penyanyi untuk minta izin diperbolehkan membakan lagunya di satu pertunjukan.
Erdian Aji Prihartanto menanggapi perseteruan tersebut dengan perspektif lebih kompleks. Menurut Erdian Aji, izin ke penciptanya perlu kalau tujuannya komersil. Itu pun bukan dengan cara penyanyinya izin ke penciptanya.
Penyelenggara pertunjukan yang meminta ijin ke penciptanya untuk keperluan pembayaran royalti. Sedangkan untuk keperluan rekaman, pihak Maulidia harus minta ijin ke Sony. Label tempat musisi punk rock tersebut berlabuh.
“Loh, anak punk kok ikut label mayor? Udah jangan nyinyir kalau kalian belum sanggup bicara kritis seperti mereka.”
Berita tersebut tidak akan membingungkan publik seandainya ketiga orang tersebut di atas ditulis dengan nama panggungnya: Jerinx, Via Vallen, Tompi, dan Anji.
Di dunia kepenulisan ternyata tidak berbeda jauh. Nama pena menentukan kepopulerannya kelak. seperti Dee Lestari. Jika tetap menggunakan nama Dewi, belum tentu bukunya selaris saat ini. Juga Asmara Rosalba, yang beralih nama menjadi Asma Nadia.
Salah satu pengusaha terbesar perbukuan Asia Tenggara, Edi Mulyono. Saat menulis juga masih tetap menggunakan nama Edi AH Iyubenu sebagai nama pena yang sudah mengibarkan namanya sebagai sastrawan angkatan 2000. Kenapa tidak menggunakan Edi Mulyono saja? Apa karena kurang ngepop?
Beberapa nama memang dilahirkan dengan keberuntungan sebagai penulis tanpa harus menggunakan nama pena. GM dan SGA misalnya, orang langsung tau kalau yang dimaksud dalam singkatan itu merupakan Goenawan Mohamad dan Seno Gumira Aji. Dua dari sekian penulis top Indonesia, bukan yang lain.
Singkatan sebagian nama juga dapat menambah kemisteriusan seorang penulis. Kalau dulu ada Ramadhan KH dan Emha Ainun Najib. Generasi 2000-an mengenal Puthut EA. Sastrawan sekaligus orang yang mengawal Mojok sampai sebesar sekarang.
Dia semakin terkenal saat Tukul Arwana, pelawak yang bernama asli Riyanto turut mempopulerkan penulis tersebut. Seringkali Tukul secara demonstratif meneriak, “Ea.. Ea… Ea…”. Itu yang dimaksud ya, Puthut EA tersebut.
Bagaimana kalau tidak menggunakan nama panggung, nama pena atau singkatan untuk mendulang kepopuleran?
Tetap bisa sih. Tapi gunakanlah jurus pamungkas. Catutlah nama keluarga yang sudah ngehit. Seperti Agus Mulyadi mendompleng nama Mus Mulyadi, penyanyi langgam Jawa yang pernah sangat populer. Lihat juga Ahmad Khadafi, Redaktur Mojok yang menggunakan nama belakang mendiang Presiden Libya, Muammar Khadafi agar buku pertamanya, Dari Bilik Pesantren bisa kedompleng laris di pasaran.