Assalamu’alaikum wr. Wb.
Pak Menteri, sebenarnya saya tidak ingin curhat di sini. Tapi apa daya, saya sudah mengirim pertanyaan lewat email yang tersedia di situsweb kementerian Anda, sampai detik ini saya belum juga dapat jawaban.
Saya bisa memaklumi, mungkin Pak Menteri baru rembuk serius membahas fatwa terompet berbahan sampul Al-Quran, atau sedang menggodok konsep Revolusi Mental dalam perspektif agama. Tapi apalah itu, perkenankan saya untuk sedikit nyempil di tengah kesibukan Bapak. Pangapunten nggih, Pak…
Pertama, terkait perkiraan keberangkatan haji. Ceritanya begini, Pak…
Bulan Desember 2015, bapak dan ibu saya mengurus pendaftaran haji ke Depag Kabupaten. Dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Setelah mentransfer ke bank yang ditunjukan sejumlah Rp. 50 juta (@ Rp. 25 juta) sebagai setoran awal, akhirnya ortu saya berhasil mendapat nomor porsi. Namun saat saya tanya kapan perkiraan keberangkatan, beliau berdua tidak tahu.
Kemudian saya cek di situsweb resmi Kemenag dengan memasukkan nomor porsi. Setelah melihat hasilnya, saya benar-benar terkejut, terjungkal, hingga kepala saya terbentur lemari. Ortu saya diperkiraan akan berangkat ke tanah suci pada tahun 2036 (21 tahun lagi!).
Saya termenung sejenak, sambil mengingat usia beliau saat ini sudah hampir 60 tahun, itu artinya beliau nanti baru bisa haji setelah berusia sekitar 80 tahunan. Saya segera memanggil bapak-ibu untuk melihat ke monitor komputer. Mereka tidak hanya terkejut tapi juga mbrebes-mili, nangis.
Saya sebagai anaknya bisa memahami mengapa mereka begitu sedih mendengar kabar itu. Tapi mungkin Pak Menteri merasa sikap itu terlalu berlebihan dan mungkin akan bilang: “Memang begitu aturannya, dan sudah jamak sejak dulu harus antre”.
Oke, gini, biar pak Menteri bisa paham situasi, akan saya kisahkan sinopsis perjuangan ortu saya. Ya, yang namanya sinopsis tentuk singkat, padat, jelas.
Bapak saya sudah bekerja di pabrik tekstil bahkan sebelum menikah dengan ibu. Dari hasil buruh pabrik itulah, bapak menyisihkan uang untuk kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan tiga anaknya. Jika masih ada sisa baru ditabung untuk haji. Akhirnya di usianya yang sudah hampir 60 tahun ini, dan sudah pensiun dari pabrik, tabungan sudah terkumpul Rp. 25 juta sebagai setoran awal. Untuk pelunasannya, bapak akan menggunakan uang pesangon yang dulu didapat dari pabrik.
Sedangkan ibu saya sejak kecil sudah diajak jualan sayur di pasar. Karena anak mbarep dari 7 bersaudara, ibu harus membantu keuangan keluarga agar dapur tetap mengepul. Hingga beliau tidak bisa bersekolah (SD pun tidak) demi adik-adiknya agar bisa hidup layak. Beliau terus berjualan sayur dan baru berhenti setelah nimang cucu.
Uang hasil jualan itulah yang disisihkan untuk tabungan haji. Dan baru bisa terkumpul Rp. 25 juta di tahun 2015 ini. Untuk pelunasan, rencananya akan dibantu bapak.
Semoga Pak Menteri bisa membayangkannya.
Setelah sekian lama mengumpulkan uang untuk mendaftarkan haji, dan berharap bisa segera berangkat, harapan itu kini semakin menipis karena harus menunggu antrean 21 tahun. Beliau sering menitikkan air mata saat mengatakan: “Umur bapak-ibu nanti sampai nggak ya, Le, untuk berangkat Haji?”. Biasanya saya hanya diam, atau berkata, “Insya Allah, Pak, Bu.” Hanya itu.
Beliau kemudian akan menenangkan diri, dengan mengatakan: “Kalaupun umur kami nanti tidak sampai gak apa, yang penting niat kami sudah bulat. Bahkan niat itu sudah tertanam sejak lama. Tentu Allah lebih tahu apa yang ada di hati kami.”
Saya harap Pak Menteri bisa mengerti situasi ini. Saya, sebagai anak, hanya berharap agar ke depan ada regulasi yang mengatur kondisi khusus semacam ini. Betapa kecewanya saya kepada Pak Menteri kalau sampai bapak-ibu saya (dan juga calon jamaah haji lain) harus menunggu lagi sekian lama setelah penantian panjangnya. Walau secara syariat memang bisa digantikan dengan Haji Badal, tapi beliau ingin sekali berkunjung ke rumah Allah dengan jasadnya sendiri, tanpa diwakilkan oleh siapapun.
Jadi, tolonglah, Pak, di negeri ini ada begitu banyak calon jamaah haji yang mungkin memiliki kisah serupa dan perlu penanganan khusus. Namun jika pak Menteri tidak bisa ya tidak apa-apa. Toh harapan rakyat memang sering bernasib seperti debu—beterbangan tanpa ada yang peduli, dan pada saatnya nanti akan menemukan kemuliaan saat digunakan untuk tayamum.
Kedua, terkait setoran Rp. 25 juta per orang. Semenjak ortu mendaftar haji itu, saya sering berpikir, bertanya, hingga kirim email ke Kemenag, dipakai untuk apa uang Rp. 50 juta yang mengendap selama 21 tahun itu? Hingga kini jawabannya masih nihil.
Dulu, atas ridho orang tua, saya masuk Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen tanpa tahu untuk apa. Niat saya hanya satu: membahagiakan orang tua. Akhirnya saya lulus tepat waktu dan bisa memenuhi harapan mereka. (Saya doakan Mbak Kalis Mardiasih, penulis Curhat untuk Girlband Jilbab Syar’i, bisa segera lulus dan membahagiakan ortu).
Di bangku kuliah itulah saya belajar investasi dan keuangan. Saya iseng coba-coba mengalkulasi dengan teori investasi. Misalnya, uang Rp. 50 juta itu tidak diputar untuk bisnis, tapi didepositokan selama 20 tahun, kira-kira hitungannya akan seperti ini.
Anggaplah dengan hitungan kasar, Rp. 50 juta didepositokan dengan bunga 7% per tahun maka akan mendapatkan bagi hasil Rp. 3,5 juta per tahun. Jika masa tunggu haji selama 20 tahun maka bunganya saja akan berjumlah Rp. 70 juta. Sehingga di tahun ke-20, total deposito kita berjumlah 120 juta. Itu hitungan kasarnya.
Jika menggunakan hitungan yang lebih detail (asumsi deposito tidak diambil), saldo setiap awal tahun akan terus bertambah. Tahun pertama Rp 53,5 juta, tahun kedua Rp. 57,3 juta, dan seterusnya, maka di tahun ke-20 total deposito kita senilai Rp. 193 juta. Anggaplah di tahun 2036 biaya haji menjadi Rp. 40 juta per orang, berarti hanya butuh Rp 80 juta untuk dua orang, sisanya masih ada Rp. 113 juta.
Itu baru hitungan 2 orang. Padahal di negeri ini calon jamaah haji terus melonjak mencapai ribuan manusia setiap tahunnya. Jika uang yang mengendap sebanyak itu, dan dalam jangka waktu selama itu, kita bisa bayangkan sendiri, bisa-bisa jamaah haji Indonesia akan gratis hanya dari perputaran uang itu saja. Atau jika ingin jangka lebih pendek bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, pendidikan, biaya rumah sakit, dan lainnya. Atau bisa diserahkan ke BAZNAS agar dikelola secara profesional.
Tapi saya hanya orang awam, Pak Menteri. Saya masih belum tahu ke mana jalur distribusi uang yang mengendap sebanyak itu dan dalam jangka waktu selama itu? Saya yakin calon jamah haji sudah ikhlas menyetor uangnya, tapi ya itu, Pak Menteri, mbok ya kami yang orang awam ini diberi pencerahan terkait dana itu. Biar tidak bertanya-tanya…
Kalau informasi terkait dana itu bersifat rahasia, minimal calon jamaah haji yang sudah menyetor uang diberi informasi agar jelas.
Harapan saya, Pak Menteri, tolong dibuatkan regulasi agar antrean haji tidak terlalu lama. Mosok nanti karena semakin banyak calon jamaah haji, trus antre sampai 40 atau 60 tahun. Mosok yo anakku yang baru lahir harus langsung tak daftakan haji, biar pada saatnya nanti dapat kuota… Apa harus begitu, Pak?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.