Citayam Fashion Week: Invasi Jaksel, Artis, dan Orang Kaya Membuatnya Tak Lagi Murni

Yang lalu aneh adalah ketika Citayam Fashion Week “diadopsi” di daerah lain. Harum “perlawanan anak pinggiran” lantas hilang.

Citayam Fashion Week Tak Lagi Murni MOJOK.CO

Ilustrasi Citayam Fashion Week Tak Lagi Murni. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya rasa, sebagai kaum urban yang banyak main sama anak Jaksel, fenomena Citayam Fashion Week akan mencapai titik jenuh sebentar lagi. Gerakan yang akan berubah isinya, lalu meredup

Saya berani suwer bahwa dua minggu yang lalu Citayam Fashion Week masih jadi kelakar dan masih terasa surreal. Tidak menyangka bahwa kini ia sudah serupa fenomena yang bahkan memecah netizen menjadi dua kubu: kubu biarin dan kubu bubarin.

Kubu biarin menganggap Citayam Fashion Week adalah bagian dari kreativitas anak remaja. Sebuah ekspresi seni yang haram dihalang-halangi. Sedangkan kubu bubarin menilai semakin lama kehadiran mereka justru bikin nyampah, bikin kawasan Sudirman dan Dukuh Atas terkesan tidak tertib. Apalah daya netizen kita memang suka mengkotak-kotakkan diri mereka sendiri.

Lucunya, kubu bubarin itu nggak betah untuk nggak melirik Citayam Fashion Week sebagai sumur engagement. Namamnya tren, selalu punya magnet tersendiri untuk membuat orang jadi berubah, untuk tidak menyebutnya munafik. Awalnya membenci, akhirnya tetap saja butuh.

Oleh sebab itu, di mata saya kaum urban yang banyak berinteraksi dengan anak Jaksel, Citayam Fashion Week belakangan terasa sudah tak murni lagi. Figur publik dan kalangan atas sudah mulai nimbrung. Baim Paula, misalnya. Membawa modal besar, mereka ikut “merayakan” ramainya Sudirman yang diprakarsai oleh orang-orang pinggiran. Engagement lancar jaya.

Iya, orang-orang pinggiran yang kehilangan tempat untuk berekspresi untuk kemudian menemukan sebuah titik di Sudirman dan Dukuh Atas. Orang-orang pinggiran dari Citayam yang butuh ruang ekspresi. Ironisnya, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, ikut lenggak-lenggok tebar pesona di Sudirman. Beliau menikmati sebuah “karya” dari anak-anak Citayam, orang pinggiran, yang merindukan ruang kreatif di Jawa Barat, daerah yang dia pimpin. Ngapain, Pak Ridwan?

Lalu ada brand ikut mendompleng. Adalah wajar ketika sebuah tren dimakan habis oleh produk. Yang tidak wajar adalah ketika sebuah brand pengin bikin sebuah produk, yang terinspirasi dari Citayam Fashion Week, tapi enggan menggunakan “talenta-talenta dekil” yang mempopulerkannya.

Lalu anak Jaksel sendiri sudah ikut membaur. Membawa ciri fashion mereka sendiri. Mereka, yang awalnya risih, ternyata asik juga di sana. Anak Jaksel, yang terkenal diisi oleh kalangan berprivilese datang membaur. Tenang, setidaknya saya punya alasan kenapa jadi ikut sebal.

Pesan dari sebuah fashion

Tentu bagi saya, adalah wajar dan “lucu-lucu saja” melihat Citayam Fashion Week, melihat sekumpulan remaja nongkrong di tengah kota dengan street fashion yang terkesan banal. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian berwarna gelap, ditabrak dengan aksesori ala kadarnya, plus rambut berwarna. Sesekali kreator konten dari TikTok menggelar sesi voxpop dengan mereka, melempar pertanyaan tidak esensial dan dijawab dengan nyeleneh. 

Adalah seorang Bonge dan Kurma, yang jika tidak meleset, layak dibilang sebagai pemantik Citayam Fashion Week dan memancing atensi anak Jaksel. Melalui sesi voxpop, keduanya bercerita saling jatuh cinta saat minum Nutrisari yang mereka beli di starling. Kurma mengenakan pakaian yang boleh jadi dalam standar fashion Barat amat ditentang: atas-bawah denim atau denim on denim. Dia juga pakai sandal jepit dan tas pinggang warna gelap. 

Bonge tak kalah nyentrik dengan jaket motif burung hantu, fanny pack, dan bagian paling ikonik adalah rambut mullet yang saya nggak bisa gambarkan pakai kata-kata. Bisa ditonton aja di sini.

Sebelumnya, konten voxpop serupa dari kreator yang berbeda juga viral dan memenuhi FYP TikTok. Sayangnya, kebanyakan diisi bocil-bocil pacaran yang membuat saya tak kuasa menahan ucapan, “Adeeek, cinta tak selamanya indah, Deeek!” lalu disko. Baru konten Bonge dan Kurma yang kemudian jadi representasi bocah Citayam x Bojonggede naik KRL turun Stasiun Sudirman dan jadi ikon fashion. Dilanjutkan konten Jeje-Roy yang tak kalah ramai berkat Citayam Fashion Week.

Dari kacamata orang urban, saya sepakat dengan keinginan muda-mudi pinggiran kota yang sengaja datang untuk main dan bersenang-senang. Sulit menolak fakta bahwa jalanan Sudirman memang bagus dan bikin betah. Tapi, tentu saja Citayam Fashion Week butuh lebih dari sekadar “faktor tempat” untuk menjelma jadi fenomena.

Faktor lain yang harus dan mau tak mau dianggap penting adalah fashion-nya. 

Kalau dirangkum, aturan tidak tertulis dari Citayam Fashion Week adalah warna gelap, tidak peduli aturan fashion yang berkiblat dari industri mahal, dan si pemakai harus percaya diri luar biasa. Tiga hal itu saja sudah cukup menggelitik. Lalu jadi lebih gayeng karena dibonceng pemaknaan dan nilai-nilai protes terhadap mahalnya fashion gaya perkotaan dan sulitnya bersenang-senang di Jakarta jika tak punya uang.

Bonge, Kurma, Jeje, dan Roy memang jadi dikenal banyak orang dan membentuk fenomena Citayam Fashion Week. Namun, yang akhirnya perlu disadari banyak orang adalah bagaimana mereka muncul dan bertahan di tengah tertawaan kalangan menengah dan atas. Mereka seolah berkata, fashion itu untuk semua orang, yang bahkan remaja putus sekolah, remaja belum berpenghasilan, dan remaja pinggiran kota bisa turut merayakannya.

Toh, Harajuku Style yang menggemparkan Jepang juga lahir dari hal yang mirip. Ada sebuah konsep yang dinamai yami kawaii alias sick-cute, ‘imut tapi suram’. Ini juga sebuah ekspresi atas fenomena sosial remaja di Jepang yang banyak punya kecenderungan bunuh diri, kecewa terhadap hidup, dan depresi. Mirip emo, tapi pakai cara yang lebih imut dan menggemaskan.

Fashion juga sudah lama dibonceng untuk protes, dipenuhi simbol-simbol yang menyuarakan pendapat. Misalnya baret hitam yang banyak muncul lewat Black Panthers, digunakan kembali dalam gerakan Black Lives Matter. Simbol perdamaian juga sudah jadi motif umum yang digunakan sampai sekarang. Dalam konteks yang lebih lokal, gaya berpakaian Citayam Fashion Week yang tak peduli aturan dan brand itu harusnya jadi sebuah aksi, antitesis dari tuntutan kaum urban yang minimal harus punya sepatu Vans (yang asli).

Saya juga capek, euy, kalau kerja siang malam cuma demi tas Zara. Tolong suarakan!

Jika menengok sejarah, tak terhitung betapa sering fashion jadi sebuah visualisasi pesan protes dan digunakan untuk gerakan sosial politik. Punk salah satunya. Ia menjelma jadi protes akan ketidakadilan. Punk juga tidak bisa dikerdilkan sebagai sebuah pesan dalam fashion semata. Punk punya sejarah panjang yang meski sekarang sering dapat makna peyoratif, ia telah menyampaikan pesan berpuluh tahun lamanya.

Di sisi lain, aturan seragam juga fashion yang digunakan untuk merepresentasikan sebuah “pesan” tentang kesetaraan. Pakaian memang pesan yang tak disampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Tidak ada manual book untuk mengenakan pakaian sebagai simbol protes. Tapi, selalu ada makna tentang siapa kita dan apa yang kita perjuangkan lewat pakaian.

Jika Citayam Fashion Week dipertahankan utuh seperti kemunculan awalnya, saya rasa pesan protes ini akan cepat sampai. Bahwa di sisi kota metropolitan, ada sekian banyak remaja yang butuh ruang untuk bersenang-senang dan mati-matian bergaya. Menciptakan definisi keren versi mereka masing-masing.

Perlawanan anak pinggiran

Kabar terbaru, di waktu mendatang, bocah-bocah Citayam Fashion Week bakal pindah ke PIK (Pantai Indah Kapuk). Sebuah kawasan di utara Jakarta yang tak kalah bagus. Meskipun transportasi umum menuju PIK tidak selengkap kawasan Sudirman yang menyediakan KRL, MRT, sekaligus TransJakarta, tapi kita perlu beri mereka kesempatan. 

Kabarnya, ini juga direncanakan sebagai protes karena kawasan Sudirman-Dukuh Atas sudah dipenuhi orang-orang urban yang beneran pakai Vans, Zara, dan kawan-kawannya. Invasi anak Jaksel. Di sisi lain, mereka sadar bahwa Sudirman sudah terlalu sesak oleh orang kaya, papan atas, tokoh politik, sampai brand. Seperti “seharusnya” kawasan Sudirman selama ini.

Di luar itu, banyak subbahasan dari Citayam Fashion Week yang dalam benak banyak orang semata-mata membagi kita pada kubu pro dan kubu kontra. Kubu biarin dan kubu bubarin. Tapi, sungguhpun tak mengapa jika Bonge, Jeje, Kurma, Roy dan kawan-kawan tetap berada di kawasan Sudirman tanpa glorifikasi berlebihan. Mereka bersenang-senang dengan misi yang benar bahwa semuanya bisa menikmati Jakarta. Iya, sesederhana itu, kok.

Urusan ketertiban, catwalk di zebra cross, sampai tidur di jalanan, secara bertahap didisiplinkan. Lha wong kebiasaan orang naik kereta yang dulu semrawut saja bisa jadi rapi begini. Artinya orang-orang kita memang punya potensi untuk disiplin, tinggal gimana cara mengeksekusi aturannya.

Yang lalu aneh adalah ketika Citayam Fashion Week “diadopsi” di daerah lain. Harum “perlawanan anak pinggiran” lantas hilang. Misalnya yang barusan terjadi di Malang, tepatnya di kawasan Kayutangan. Kawasan yang dianggap sebagai langganan macet.

Sekali lagi, sebuah tren pasti akan dimakan habis. Adopsi yang serampangan itu justru bikin dahi berkerut. Sebuah video pendek menunjukkan anak muda tengah (berusaha) bikin konten dengan lenggak-lenggok di atas zebra cross. Masalahnya, di sana, mereka tidak sadar akan keamanan dan keselamatan pengguna jalan lainnya.

Seorang “mas-mas” tertangkap kamera hendak memukul pengendara sepeda motor menggunakan tas yang ditenteng. Alasannya, bisa kamu tebak sendiri. Kalau ayunan tas itu kena dan pengendara motor terjatuh, apa yang akan terjadi? Tentu saja geger dan bisa sampai baku pukul. Anak muda vs warlok yang jengah.

Itu di Malang. Bagaimana latah yang terjadi di Surabaya, yang kabarnya, trotoar di sana juga dimanfaatkan untuk catwalk?

Lalu, apa imbasnya? 

Citayam Fashion Week akan dicap makin jelek. “Semua gara-gara Citayam Fashion Week. Udah, bubarin saja. Mau di Jaksel Sudirman, mau di PIK. Bubarin!”

Yah, pada akhirnya, tidak ada yang sepenuhnya murni di dunia ini. Kepindahan anak-anak Citayam Fashion Week ke PIK pun bisa saja tidak lagi murni. Ada sebuah konten yang sudah dirancang. Bisa saja tidak murni bentuk kekesalan karena Sudirman sudah makin sesak.

Di tempat lain, bentuk adopsi Citayam Fashion Week pun sama saja. Mungkin tidak lagi menjadi sebuah ajang senang-senang, tapi sudah soal eksistensi, follow the wave, dan engagement.

Saya rasa, sebagai kaum urban yang banyak main sama anak Jaksel, fenomena Citayam Fashion Week akan mencapai titik jenuh sebentar lagi. Gerakan yang akan berubah isinya, lalu meredup dan muncul tren lainnya. Atau, justru mendapatkan bentuk terbaiknya dan menjadi sebuah fashion statement yang mengubah sejarah?

BACA JUGA Fenomena Pemuda Citayam: Kalau Nggak Good Looking, Nggak Boleh Banyak Gaya, Gitu kan Maksudnya? dan opini menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Ajeng Rizka Rahmani

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version