MOJOK.CO – Menurut profesor dari Harvard University, Graham Allison, Cina dan Amerika ditakdirkan untuk berperang. Benarkah? Apa dasarnya, ya?
Profesor Stephen Mark Kotkin, sejarawan dari Princeton University yang menulis biografi Josef Stalin, dalam sebuah diskusi bertajuk “Big Three” di Hoover Institution, Stanford University tahun 2021 lalu, meyakini bahwa FDR dan Harry Truman melakukan kesalahan besar atas Stalin terkait dengan Partai Komunis Cina.
Menurut Kotkin, jelang berakhirnya Perang Dunia II, Stalin cenderung patuh pada permintaan Amerika. Alasannya, banyaknya bantuan yang diberikan Amerika kepada Soviet untuk melawan Hitler di satu sisi dan politik akomodatif FDR atas Stalin selama Perang Dunia II di sisi lain.
Ketika FDR meminta Stalin untuk tidak menyerang Jepang di tanah Cina (maksud FDR agar Stalin tidak menginvasi Cina), Stalin mematuhinya. Saat FDR kemudian meminta Stalin ikut membantu Amerika mengalahkan Jepang setelah teater Eropa selesai, Stalin pun mematuhinya. Pasukan Merah sudah sampai di Korea dari sisi darat lalu memasuki pulau Sakhalin jelang Hokkaido dari sisi laut.
Lalu Truman (setelah FDR meninggal) meminta Stalin berhenti di garis 38 paralel yang sekarang jadi batas Korut dan Korsel. Stalin, lagi-lagi, mematuhinya. Tentara Merah benar-benar berhenti di sana. Lalu Truman meminta Stalin tidak menginvasi Jepang via laut. Stalin pun patuh, Pasukan Merah berhenti di Pulau Sakhalin.
Stalin tunduk ke Paman Sam
Kesimpulan Kotkin, jika saja Stalin diminta oleh FDR atau Truman untuk masuk ke Cina, menghabisi Partai Komunis Cina demi menyelamatkan Chiang Kai-shek, maka Stalin akan melakukannya. Kotkin nampaknya sangat yakin soal itu. Bahkan menurut Kotkin, Stalin adalah sosok yang paling tepat untuk menghabisi komunis Cina, “Karena Stalin adalah orang yang paling mengetahui bagaimana cara membunuh komunis,” kata Kotkin. Semua peserta diskusi tertawa, termasuk peserta yang diundang untuk menonton live via Zoom seperti saya.
Tapi, pandangan tersebut muncul puluhan tahun kemudian, setelah Amerika menyadari betapa berbahayanya Cina hari ini jika dikaitkan dengan eksistensi supremasi Amerika di tingkat global. Apalagi, Kotkin misses the point terkait FDR. FDR tentu tidak akan gegabah menyikapi sayap komunis.
Lihat saja, setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia, Amerika memutus hubungan diplomatik dengan Soviet. Tapi, sesaat setelah berkuasa pada 1933, FDR membuka kembali hubungan diplomatik dengan Soviet. Jadi sangat sulit membayangkan FDR akan mengambil sikap seperti yang dikatakan Kotkin, yakni menghabisi komunis Cina dengan tangan Stalin. Itu bukan cara FDR.
Amerika sebagai big brother
Pandangan tersebut tak berbeda dengan penganut realisme politik internasional sekelas John Mearsheimer. Dalam tulisannya di majalah Foreign Affair beberapa bulan lalu, John menyalahkan politik engagement Amerika terhadap Cina. Amerika yang membesarkan Negeri Tirai Bambu, kata John, via politik engagement. Amerika menutup mata atas berbagai pelanggaran HAM di sana, termasuk terbunuhnya ribuan mahasiswa di peristiwa Tiananmen Square. Sanksi hanya sebentar diterapkan. Lalu, atas lobby Bush Senior, yang pernah menjabat sebagai kepala kantor perwakilan Amerika di Shanghai, sanksi pelan-pelan diangkat kembali.
Amerika mendorong Wall Street menyiramkan investasi secara masif di Cina, yang membuat negara lain pun ikut berinvestasi di sana. Amerika mendorong dedengkot Wall Street, termasuk mantan Secretary of State Hank Paulson yang mantan CEO Goldman Sach, untuk melejitkan perusahaan-perusahaan Cina ke tingkat global, mendorong perusahaan-perusahaan besar di sana untuk go public di bursa global. Tapi nyatanya, Cina tak pernah bercita-cita menjadi negara demokratis seperti yang diharapkan Amerika, kata John.
Tapi, sama seperti Kotkin, John juga misses the point. Amerika diuntungkan oleh Cina. Amerika selama ini berhasil meredam inflasi karena barang impor dari sana. Oleh karena itu, saat perang dagang memanas, inflasi mulai datang ke negeri Paman Sam. Setengah dari defisit dagang Amerika dan Cina adalah intrafirm trade, yakni perusahaan Amerika yang berinvestasi dan berproduksi di sana mengirim produksinya kembali ke Amerika.
Artinya, perusahaan-perusahaan Amerika meraup keuntungan besar setelah berinvestasi di sana. Di sinilah Trump juga misses the point soal defisit dagang Amerika dan Cina. Risikonya, Amerika kehilangan lebih dari tiga juta lapangan pekerjaan karena investasi pindah ke seberang. Nah terkait soal ini, Trump got the point.
Indonesia juga salah memahami
Indonesia tampaknya juga demikian. Indonesia agak sedikit meleset memaknai defisit dagang dengan Cina. Defisit Indonesia jauh lebih besar dari yang tertulis di data, karena sebagian ekspor Indonesia adalah ekspor yang dilakukan perusahaan tambang milik Cina di Sulawesi dan Kalimantan atau perusahaan perkebunan sawit asing di Sumatera dan Kalimantan, alias bukan sepenuhnya ekspor perusahaan Indonesia.
Tapi, karena perhitungannya dipukul rata, maka semua yang keluar dari Indonesia akan dianggap ekspor Indonesia (model kalkulasi PDB yang baru). Padahal omset dan profitnya berada di tangan perusahaan asing. Risikonya, jika terjadi ketidakpastian ekonomi dalam negeri, perusahaan-perusahaan ini berisiko menahan dolarnya di luar negeri saat performa rupiah memburuk (inilah yang terjadi hari ini)
Lihat saja di Sulawesi sana, perusahaan yang menambang dan mengolah nikel mayoritas adalah perusahaan Cina. Atau perusahaan besar yang mengekspor CPO, sekelas Wilmar misalnya, bukan perusahaan Indonesia, meskipun komisaris-komisarisnya di perusahaan joint venture dalam negeri adalah mantan-mantan petinggi di Indonesia. Tapi, Indonesia setidaknya masih dapat lapangan pekerjaan. Jadi sangat miris jika pekerjaan di investasi asing juga dikerjakan oleh pekerja asing. Lantas Indonesia dapat apa?
Baca halaman selanjutnya
Sistem kapitalis Amerika yang cacat
Well, John misses the point soal krisis keuangan 2008. Cina sudah nyaris mengikuti pattern negara kapitalis sampai 2008. Di era Hu Jintao, kebebasan pers dan berekspresi mulai terlihat. Tapi krisis 2008 mengubah segalanya. Setelah krisis finansial global, mereka mendapati sistem kapitalisme ternyata cacat dari dalam.
Saat pertemuan SED (Society for Economics Dynamic) di Annapolis, Merryland, Amerika pada 2008, Wang Qishan, salah satu tangan kanan Xi yang kemudian dipakai untuk eksekusi kampanye antikorupsi, menyampaikan kekecewaannya kepada Hank Paulson, yang kala itu masih menjabat sebagai secretary of state era Bush Yunior.
“You were my teacher, but now here I am in my teacher’s domain, and look at your system, Hank. We aren’t sure we should be learning from you anymore“, ucap Wang.
Dialog tersebut ditulis sendiri oleh Hank Paulson dalam buku semi biografinya, “On the Brink of Collapse“, terbit 2009 lalu. Ya, di sanalah titik the turning point of Cina.
Kembali ke keseimbangan
Jadi, pada akhirnya, semua akan kembali kepada posisi semula. Cina tentu akan kembali kepada sosialisme. Tapi, itu bukanlah hal baru tentunya. Deng Xiaoping adalah communist believer. Tak ada yang meragukannya. Deng telah bersama Mao selama bertahun-tahun. Pembasmian gerakan mahasiswa pada 1989 (Tiananmen Square Massacre) adalah perintah langsung dari Deng, setelah Zao Ziyang menolak memberlakukan martial law pada 1989.
Yang dilakukan Deng dalam konteks kebijakan ekonomi adalah pragmatisme politik. Selama kapitalisme bisa membuat orang mereka kaya, ya why not. Tapi untuk menjadi democratic state, saya yakin jawaban Deng adalah no. Dan Xi adalah perpaduan Mao, Deng, dan Emperor of Ming Dynasty. Tak ada demokrasi di sana.
Nah, jika track-nya kembali ke gaya lama, maka kembali kepada kelemahan masing-masing di satu sisi dan meruncingnya perbedaan kepentingan ekonomi politik antara dua kubu di sisi lain. Pepatah lama akan berlaku kembali. “Masalah pada sosialisme adalah sosialisme itu sendiri. Dan masalah pada kapitalisme adalah para kapitalis itu sendiri.”
Jadi, sangat bisa dipahami mengapa salah satu pemikir New Dealer yang juga dianggap sebagai salah satu anggota brain trust FDR, Raymond Moley, profesor politik Columbia University kala itu mengatakan bahwa FDR menyelamatkan Amerika dari para kapitalis, bukan dari sosialis (konteksnya Great Depression).
Perang?
Lantas, kalau Cina kembali kepada sosialisme-komunisme-marxisme, apakah mereka akan berperang dengan Amerika? Menurut profesor dari Harvard University, Graham Allison, Cina dan Amerika ditakdirkan untuk berperang. Judul bukunya beberapa tahun lalu berbunyi Destined for War menjelaskan pandangan Graham.
Asumsi dasarnya adalah Thucydides Trap. Raising power biasanya akan berperang dengan super power. Tapi, menurut mantan PM Australia, Kevin Rudd, masih banyak jalan agar keduanya tidak berperang. Judul bukunya yang terbit beberapa bulan lalu memberi gambaran mengapa kesimpulannya demikian, yakni Avoidable War (2022). Interdependence economy menjadi alasan utamanya.
Tapi apa saja teorinya, tulis editorial majalah The Economist beberapa waktu lalu, perang atau tidak, semua akan tergantung pada satu orang, yakni Xi. Isi kepala Xi adalah penentu apakah Cina akan berperang atau tidak dengan Amerika dan dunia Barat. Kalau Xi, misalnya, bersikeras dan memaksa untuk keluar dari pakem “status quo” (misalnya memaksa menganeksasi Taiwan atau menguasai sepenuhnya Laut Cina Selatan), maka pada ujungnya akan ada peperangan.
Hitam dan putih dunia bukan di tangan Tuhan
Karena itu, salah seorang kawan saya belum lama ini berkelakar bahwa katanya, doa para pecinta damai hari ini semestinya berbunyi “Semoga Tuhan selalu membimbing Xi Jinping.”
Dan dengan iseng saya menanggapi, “Bukankah sudah sejak lama di Cina, Tuhan dilarang?”
Kemudian kami pun terbahak nyaris bersamaan, karena hitam putih dunia ada di tangan Xi, bukan di tangan Tuhan.
BACA JUGA Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina? Dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno