Saya beneran baru tahu sampeyan dari keramaian netizen di linimasa perihal kalimat ini:
kena tilang operasi Zebra/Lilin. semua bisa damai karna doi tau gw “kamu kan Aron Ashab” trus gw blg “nahh tuh bapak tau. gimana saya mau pake helm pak rusak jambul saya gajadi Aron Ashab lagi ntar!” Akhirnya damai. Tanpa ngasi uang. :p #kemudianselfie
Saya juga tidak pernah nonton infotainment, jadi saya ketinggalan informasi mengenai sampeyan yang mengalami problema salah sebut dan penulisan nama: Aron jadi Aaron dan Ashab jadi Shahab. Dan waktu tulisan ini saya ketik, follower twitter sampeyan sudah 150 ribu, di instagram malah sudah 430 ribuan, plus situ jadi TTWW.
Untuk satuan publik figur, follower sebanyak itu dan status TTWW adalah berkah. Tidak banyak lho, orang Indonesia yang namanya bisa jadi TTWW selain peserta Indonesian Idol dan X-Factor. Sampeyan bisa bangga soal itu. Oh, dan kenapa TTWW, mungkin karena selfie jambul itu. Soalnya, sejauh hasil search, kebanyakan mengomentari itu, sih.
Jadi, mari kita dudukkan dulu masalahnya. Memang, di Jakarta Raya ini helm terasa tidak wajib. Mau di perempatan Matraman yang durasi lampu merahnya sama dengan durasi menanak nasi, sampai jalan Cakung-Cilincing yang penuh kawan-kawannya Optimus Prime, pasti ada saja yang nggak pakai helm. Memang, kepala ya kepala sendiri, sama dengan jambul—ya jambul sampeyan kok. Nggak masalah. Toh yang nggak pakai helm itu kadang-kadang pakai masker. Sepertinya dia hanya punya 1 paru tapi punya simpanan 9 kepala di rumah.
Terus kenapa saya bikin tulisan ini segala? Begini. Saya cuma mau cerita pengalaman saya tentang helm dan kepala.
Syahdan, di sebuah kawasan industri, seorang manajer buru-buru pulang karena istrinya mau melahirkan. Sore hari di kawasan industri itu macet. Jadi dia naik ojek, tanpa helm, persis seperti yang sampeyan lakukan. Dia mengejar lahiran istri, sampeyan menyelamatkan jambul. Yang terjadi kemudian adalah ojek itu jatuh, dan si manajer meninggal tanpa sempat menemani istrinya lahiran.
Itu pengalaman orang. Saya juga cuma diceritain sama tukang ojek, kok. Nah, sekarang saya mau cerita pengalaman sendiri.
Suatu malam saya menjemput pacar dari tempat kerjanya. Kebetulan sekarang dia sudah mantan—anggap saja informasi ini penting. Nah, di sebuah perempatan saya melihat sepeda motor melaju kencang dari arah saya dan dari sisi kanan. Tidak sampai dua detik, terdengarlah bunyi benturan. Saya kemudian berhenti dengan maksud memungut benda yang tersisa di jalan sehingga jalanan bisa dilewati lagi, lalu saya bisa memulangkan pacar dan mendapat kecupan malam.
Naasnya, yang saya lihat, bukan cuma benda yang tergeletak di aspal, tapi juga orang. Dia terkapar kejang di dekat trotoar, helmnya pecah berkeping-keping karena benturan. Tidak ada orang yang punya inisiatif langsung mengangkat, jadilah saya membantu seorang Bapak yang dari tadi memanggil-manggil lelaki-lelaki lain yang cuma berdiri memandang tubuh kejang. Kebetulan saya floorwarden di pabrik, jadi ada ilmu penanganan kecelakaan ini. Ketika saya angkat—dan pas jatah saya adalah kepala bagian belakang–darah mengucur deras. Dan ketika pelayanan medis hampir tiba, dia kejang hebat dan lantas diam. Mati. Iya, mati. Dia pakai helm, dan dia mati. Melihat helm saja begitu hancurnya, kalau dia nggak pakai helm, kiranya kepalanya sudah tidak berbentuk lagi.
Iya, saya cuma cerita doang kok, karena saya yakin orang-orang yang naik motor—baik sebagai pengemudi maupun penumpang—tanpa helm itu pasti belum pernah ketetesan darah dari kepala yang pecah akibat kecelakaan. Mungkin sampeyan juga, jadi jambul masih jadi perhatian utama. Nggak apa-apa, itu hak asasi jambulnya sampeyan. Kan saya juga cuma cerita.
Saya nggak mau ikut-ikutan netizen lain yang sampai ngetwit macam-macam soal sampeyan. Baiklah kita damai saja, toh sampeyan sudah nulis juga di IG, “kalau saya harus jadi korban karena ingin menunjukkan ketidak-benaran hukum di Indonesia (dalam hal ini hukum jalanan), saya rela. #darkknight – tolong dibenahi ya bapak @irjokowidodo @ahok_btp”.
Kebetulan sih sampeyan mengedit tulisan aslinya yang sudah kadung di-skrinsyut sama khalayak ramai. Mungkin memang ini seperti kata sampeyan, ketidakbenaran. Lebih tepatnya mungkin ketidakbenaran yang dipopulerkan. Saya jadi mikir, nih, sebenarnya maksud awal sampeyan adalah hendak berbagi ketidakbenaran atau apa?
Ya, sudah. Sekarang kan sudah tambah terkenal. Walau berkorban tapi kan nambah populer. Besok-besok lagi mau pakai helm atau nggak juga terserah situ. Saya cuma mau cerita, karena sekali lagi saya yakin nggak semua orang bakal dikasih jatah untuk ketetesan darah dari kepala yang bocor akibat kecelakaan lalu lintas.
Oh, iya, saya terlalu kudet sampai-sampai baru tahu sambil browsing: ternyata sampeyan pegiat video YouTube. Baiklah, semoga Kevin Anggara, si videomaker yang saya kenal, tidak ikut-ikutan bikin heboh model begini, deh. Lagipula Kevin naiknya TransJakarta dan nggak punya jambul. Jadi pasti aman.
Terakhir, salam buat Teteh Kimberly ya!