Cara Kuliah di Fakultas Kedokteran tapi UKT Cuma 1,3 Juta per Bulan

MOJOK.COFakultas kedokteran bayar UKT kampus 7,5 juta per semester. Sebulan tak sampai 1,3 juta. Ini (((kedokteran))) lho!

Sejak saya baru masuk kuliah sampai mau lulus, jika ada orang yang bertanya saya kuliah di mana, secara otomatis saya akan diam dan berusaha mencari topik lainnya.

Masalahnya adalah, tetap saja selalu muncul momen ketika saya terjebak dalam situasi yang mengharuskan saya untuk menjawab jujur.

Jika itu terjadi, pertama-tama saya akan mengatakan kalau saya dari jurusan “kesehatan”. Jika orang yang bertanya tersebut masih mengejar jurusan apa, maka saya biasanya membelokan ke jurusan perawat, kesehatan masyarakat, farmasi, atau bidang-bidang lain yang pokoknya jangan jawab kedokteran dulu.

Walaupun saya sudah merasa jago menghindar dengan gesit, namun tetap saja ada saat-saat di mana saya harus menjawab jujur kalau saya dari prodi kedokteran. Misalnya ketika ada bapak dari kawan dekat saya yang bertanya saya kuliah di mana, atau ketika saudara jauh bertanya hal yang sama.

Hm, seperti dugaan Anda sekalian, ketika saya berucap bahwa saya dari fakultas kedokteran, mata lawan bicara secara misterius langsung terbelalak dan seakan tak sabar ngegas ke pertanyaan selanjutnya.

“Berapa biayanya?”

“Mahal ya?”

“Bapakmu, selain kerja di kantor itu, kerja di mana lagi?”

Dan seperti biasa, saya harus menjelaskan dengan runtut biaya kuliah saya, dan mengapa saya bisa mendapatkan nominal segitu untuk pembayarannya.

Baik, dimulai dari kisah saya dahulu.

Saya anak kedua dari tiga bersaudara, bapak saya bekerja sebagai polisi bintara di salah satu polsek di Tulungagung. Saya tekankan beliau bukan kapolsek, bukan perwira, bahkan juga bukan kepala bagian atau semacamnya. Sedangkan ibu saya adalah ibu rumah tangga.

Yawes, Anda bisa perkirakan berapa gaji beliau dengan kira-kira tunjangannya ditambah UMR di Tulungagung.

Selanjutnya, coba saya jawab dengan jujur, nominal UKT saya adalah 7,5 juta. Nominal tersebut harus keluarga kami bayar tiap enam bulan. Oh iya, saya kuliah di Unair, yang fakultas kedokteran di sana masuk top three terbaik di Indonesia.

Menurut keluarga kami, nominal tersebut tidak kecil, sehingga bapak saya berusaha menambah pendapatan dari ternak dan tani. Karena selain beban kuliah saya, juga masih ada beban sekolah adik, cicilan ini itu, listrik, dan kawan-kawannya. Belum lagi uang bulanan saya di tempat rantau.

Pertanyaan selanjutnya pun muncul.

“Kok bisa dapat nominal UKT segitu?”

“Di mana uang pangkal ratusan jutanya?”

Begini, seperti yang Anda semua ketahui, di fakultas kedokteran, ketentuan nominal UKT ya  sama dengan fakultas lainnya: sesuai kemampuan orang tua. Dalam kasus keluarga saya, saya rasa ini sudah sesuai dengan kemampuan kami.

Di lain pihak, teman saya yang kedua orang tuanya guru ASN, nominal UKT-nya dua kali lipat daripada saya.Teman saya yang orangtuanya dokter spesialis, dapat nominal dua puluh jutaan.

Pokoknya kalau dipikir secara gamblang, itu semua sudah sesuai. Belum selesai sampai di situ, teman saya juga ada yang yatim dan mendapat beasiswa bidikmisi. Sudah gratis, tiap enam bulan nerima uang pula untuk kuliah di fakultas kedokteran.

Pun kalau ketika kuliah kemudian secara tiba-tiba bapaknya meninggal, mahasiswa tersebut bisa mengajukan banding untuk meringankan UKT-nya. Pokoknya sesuai.

Lalu, bagaimana saya bisa mendapatkan nominal 7,5 juta per semester?

Ya karena saya masuk ke fakultas kedokteran lewat SNMPTN. Begitu pula dengan teman saya tadi, mereka ada yang masuk lewat SNMPTN atau SBMPTN. Kami hanya berkewajiban membayar UKT tanpa ada uang pangkal.

Biaya kuliah kami selama 11 semester ya itu saja, UKT. Yang nominalnya tidak bisa naik, tetapi malah bisa turun.

“Lho, terus yang uang pangkal itu di mana ya, Dek? Saya dengar anak teman saya yang kuliah di A bayar sekian ratus juta, anak teman saya lain yang kuliah di B juga bayar sampai M (miliar)?”

Begini, uang pangkal itu memang ada di kampus kami, tetapi itu hanya diberlakukan pada mahasiswa yang masuk melalui seleksi jalur mandiri dari pihak kampus.

Pada tahun saya masuk (2015), kuota jalur mandiri adalah 20%. Sampai terakhir di tahun 2021, kuota mandiri ditetapkan maksimal 30%. Kampus lain pun juga seperti itu, karena kuota SNMPTN dan SBMPTN diatur oleh pusat.

Kalau urusan uang pangkal di seleksi jalur mandiri, waduh saya tidak bisa menjawabnya. Hal tersebut memang sesuai dengan perkiraan Anda yang nominalnya betul fantastis. Apalagi bagi orang tua yang bekerja sebagai polisi seperti bapak saya. Jelas nggak masuk akal.

Pada kampus negeri manapun yang membuka jalur mandiri, sudah menjadi rahasia umum bahwa nominalnya memang banyak. Itu masih negeri, apalagi dengan kampus swasta, weleh-weleh bisa jatuh tersungkur saya mendengarnya.

Saya cuma mau menekankan, bahwa nggak semua mahasiswa fakultas kedokteran itu membayar nominal seperti yang Anda pikirkan.

Gampangnya, dari 37 kampus negeri dengan fakultas kedokteran di Indonesia, ada sekitar 70% mahasiswa yang membayar UKT dengan nominal yang masuk akal dengan pendapatan orang tua. Artinya, sebenarnya masih banyak kok kesempatan jadi dokter buat keluarga yang ekonominya pas-pasan.

Urusan ada kampus yang ada uang pangkal dan SPP atau UKT dengan biaya layaknya totalan semua gaji UMR-mu sampai pensiun, atau malah total gajimu nggak nyandak babar blas… ya simpel, jangan sekolahkan anak Anda di sana. Kalau merasa nggak mampu ya sudah. Lha memang sasarannya bukan Anda.

Memang, pendidikan di negara Wakanda kita tercinta ini sudah lama jadi arena ngeruk duit kan? Mereka yang kaya bisa bayar bimbel supaya tambah hebat. Sudah gitu, mereka masih bisa punya akses pilihan memilih jurusan fantastis sesuai kelebihan finansial mereka.

Sedangkan yang miskin, mereka harus berjuang keras menimba ilmu sekalian dengan cobaan himpitan ekonomi. Eh, walaupun ada dana bantuan macam-macam dari pemerintah, memangnya berapa persen masyarakat menengah ke bawah yang tersentuh bantuan pendidikan itu sih?

Kembali ke daftar pertanyaan orang-orang tadi.

Bagian yang paling menjengkelkan setelah saya jelaskan panjang lebar, adalah pertanyaan yang seperti ini: “Kalau masih minder masuk kedokteran gimana?”

Ujung bibir saya pun berbisik lirih: “Cok, lapo kawet mau takok, kesel cangkemku. Minder urusanmu dewe-dewe, Cok.

BACA JUGA Diagnosis Saya Sebagai Mahasiswa Kedokteran Tentang Penyakit yang Diderita Pejabat Wakanda dan tulisan Prima Ardiansah lainnya.

Exit mobile version