MOJOK.CO – Tertawa bikin jarak penguasa dengan rakyat lenyap. Gus Dur pernah membuktikannya saat mengritik sebagai rakyat dan menjawab kritik sebagai Presiden.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) jauh sebelum menjadi Presiden adalah aktivis yang rajin dan kreatif membuat humor untuk menyindir penguasa. Sebagian besar lelucon itu terlihat jelas merupakan adaptasi dari lelucon serupa dari mancanegara terutama dari Eropa Timur.
Hal ini bisa dipahami, karena pada saat santri-santri NU biasanya masih tenggelam dengan tafsir, hadis, dan belajar kitab-kitab kuning lainnya, Gus Dur sudah membaca Das Kapital-nya Karl Marx, What is to be Done-nya Lenin, dan Prison Notebook-nya Gramsci.
Ketika santri-santri lain kebanyakan hanya mengenal rebana dan kasidahan, Gus Dur sudah khusyuk dalam kemerduan suara Ummi Kultsum dan kemegahan karya Bethoven dan Bach, serta entakan Janis Joplin lewat lagunya Summertime dan Me and Bobby MeGee.
Bahkan, bisa dibilang di antara presiden-presiden Indonesia yang memiliki banyak gelar doktor Honoris Causa, tampaknya hanya Gus Dur yang layak mendapat gelar doktor Humoris Causa.
Sebab, Gus Dur memang identik dengan humor. Hakikat pemikiran Gus Dur adalah humor. Karena itu, Gus Dur dan humor bagai dua sisi mata uang. Memisahkan Gus Dur dari lelucon ibarat mencoba memisahkan rasa manis dari gula atau memisahkan rasa asin dari garam.
Gus Dur piawai menciptakan, mengadaptasi, mengumpulkan, dan menyampaikan humor. Tak heran, putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid, suatu saat mengatakan, “Gus Dur itu sesungguhnya adalah komedian yang punya profesi sampingan sebagai presiden, kiai, budayawan, dan penggerak sosial.”
Jauh sebelum stand up comedy menjadi tren sekarang ini, Gus Dur telah memulai dengan ceramah-ceramah sampai pidato-pidato saat menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Dalam salah satu teori humor—humor politik lebih spesifiknya, ketika semakin tertindas suatu masyarakat, maka akan semakin kreatif pula mereka mencipta humor untuk meledek penguasa, sebab mereka tahu pasti: mengritik secara terbuka adalah bunuh diri. Hal yang—tentu saja—kerap dilakukan oleh putra dari KH. Wahid Hasyim satu ini.
Satu sindiran halus pernah disampaikan Gus Dur kepada Penguasa Orde Baru. “Kalau anak orang kaya ulang tahun atau menikah dibelikan TV. Kalau anak penguasa ulang tahun atau menikah dibelikan stasiun TV,” ujarnya.
Tentu publik mengetahui setelah TVRI, menyusul TV swasta RCTI dan TPI yang dimiliki keluarga Presiden Soeharto saat itu.
Usai Reformasi 1998, bermunculan banyak partai—termasuk partai dari kalangan warga Nahdliyin. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan satu dari sekian partai yang mengasosiasikan diri sebagai partainya NU.
Namun dengan cerdas Gus Dur mengatakan, “NU itu seperti induk ayam. Dari pantatnya keluar telur dan juga tai. Nah, PKB adalah telur yang lain tai ayamnya….”
Bagi beberapa orang kegemaran Gus Dur melontarkan lelucon saat menjabat Presiden justru dianggap sebagai kelemahan ketimbang kekuatan. Sementara itu pula banyak yang melihat justru kegemaran berhumor itu merupakan kekuatan daripada kelemahannya.
Orang yang punya kemampuan seperti itu biasanya juga bukan pelawak. Dia hanya berkata secara rileks, apa adanya, dan ketika orang lain terbahak-bahak, dia sendiri tak ikut ketawa. Gus Dur jelas termasuk jenis itu tetapi ada sedikit beda: ada kalanya beliau suka ikut ketawa lalu muncul humor-humor berikutnya.
Jaya Suprana pernah menulis dalam kata pengantar buku Humor Politik bahwa humor biasanya tumbuh di suasana yang kontradiktif dan munafik, di mana realitas tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan. Maka tak heran apabila salah satu masalah yang sering menjadi bulan-bulanan humor adalah politik.
Sebab, politik menciptakan konstelasi herarkis di stuktur kehidupan manusia, di mana ada kelompok yang berkuasa dan kelompok yang dikuasai. Kesenjangan kekuasaan itu, secara langsung atau tidak, dalam kadar tertentu, sering menimbulkan tegangan dan tekanan, terutama pada pihak yang dikuasai.
Humor merupakan salah satu cara untuk membebaskan diri dari beban tekanan tersebut. Dengan humor seolah jenjang beda kekuasaan lenyap. Tertawa memang merupakan sarana demokratisasi yang paling ampuh.
Pada kenyataanya, humor politik lebih menggebu di suasana diktatoris ketimbang suasana demokratis. Karena itu tidak heran bahwa George Orwell sampai memperingatkan:
“Hati-hati terhadap lelucon politik. Di dalam setiap lelucon politik selalu terselip sebuah revolusi kecil!”
Lelucon juga dapat berfungsi sebagai kritik terhadap keadaan tidak menyenangkan di tempat sendiri. Protes terhadap penyalahgunaan wewenang oleh tokoh-tokoh yang berkuasa sering sekali dituangkan dalam bentuk lelucon.
Selain itu, terkadang lelucon berfungsi sebagai pelepas kejengkelan orang banyak kepada penguasa yang dianggap sudah bertindak terlalu jauh membohongi dan menyakiti hati rakyat.
Di sisi lain, menurut Gus Dur, lelucon yang bagus harus memiliki unsur-unsur “humor yang mengena”. Unsur surprise atau kejutan pada akhir cerita musti ada. Juga ada sindiran halus, yang mengajukan kritik atas hal-hal yang salah dalam kehidupan, tetapi tanpa rasa kemarahan atau kepahitan hati. Tak lupa unsur rasionalitas dalam cerita dan unsur kearifan dalam penyelesaian atau semacam solusi.
Lelucon di sini kemudian diwujudkan sebagai bungkus dari protes terselubung. Meski kadang kurang efesien dalam menyampaikan ide utamanya, minimal sebuah lelucon bisa menyatukan bahasa rakyat untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan bersama-sama.
Seperti lelucon Gus Dur di bawah ini. Pada saat kampanye pemilu era Orde Baru seorang pejabat berpidato di depan ribuan massa.
“Saudara-saudara siapa yang membangun jalan dan jembatan?” tanya pejabat itu.
“Golkaaar,” jawab massa.
“Siapa yang membangun sekolah dan pasar?” tanya pejabat lagi.
“Golkaaar,” jawaban massa menggema.
“Begitu kok dibilang korupsi. Siapa yang korupsi?” gerutu pejabat itu lirih.
Lagi-lagi massa menjawab, “Golkaaaar.”
Mengutip Gus Dur pada kata pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia, rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan.
Namun, dalam komedi yang baik kemampuan untuk menertawakan diri sendiri justru menjadi petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Sebab melibatkan diri sendiri sebagai bagian dari yang dikritik merupakan teknik komedi politik yang paripurna.
Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.
Seperti contoh kisah Gus Mus, Amang Rahman, dan Zamawi Imron yang suatu kali mengadakan pameran lukisan. Mereka mengundang Gus Dur membuka pameran lukisan.
Dalam sambutannya, Gus Dur berkata, “Sudah tahu orang tidak bisa melihat, kok disuruh membuka pameran lukisan….”
Humor lain yang menertawakan diri sendiri seperti pernah diceritakan Gus Dur berikut ini.
“Pak Harto dulu presiden new order. Pak Habibie, presiden in order, boleh juga out of order. Dan Gus Dur sendiri?”
“Saya presiden no order,” katanya.
Atau yang satu ini. Saat banyak tuntutan mundur sebagai Presiden, dengan enteng Gus Dur menjawab:
“Sampeyan ini bagaimana, wong saya ini maju saja susah, harus dituntun, kok disuruh mundur.”