MOJOK.CO – Alumni kampus di Sudan ini cerita bagaimana Indomie di mata orang-orang Afrika. Dari dianggap makanan khas Cina sampai dikira produk orisinil negeri Sudan.
Indomie, mi instan yang merupakan penyelamat anak kos di tanggal tua bukan hanya milik orang-orang Indonesia. Sudah sejak lama Indomie juga jadi milik dunia, dan kebetulan salah satunya milik orang-orang Sudan.
Hah? Orang Sudan? Iya, Sudan yang di Afrika itu.
Sebentar, sebentar, kenapa saya bisa sampai tahu? Ya karena saya dulu kuliah di Sudan. Tepatnya di International University of Africa, Khortoum, Sudan. Dari 2013 sampai 2017.
Iya, iya, kuliah di Sudan emang terdengar indie banget yak? Di saat teman-teman saya pada ngambil beasiswa ke Mesir, Maroko, atau Arab Saudi, lah saya malah ngambilnya ke Sudan. Luar negeri sih luar negeri, tapi ya nggak Sudan juga kali.
Meski banyak yang bertanya-tanya kenapa saya kuliah di Sudan, saya sih selow aja. Soalnya saya bukan satu-satunya mahasiswa Indonesia yang nyasar ke Sudan. Setidaknya ada 300-an mahasiswa Indonesia senasib kayak saya. Yaah, paling nggak kalau saya dikatain goblok, saya nggak sendirian lah.
Nah, karena tinggal di Khortoum pula, saya jadi tahu kalau sejak tahun 2010-an, produk Indomie juga dijual di pasar dan minimarket-minimarket Sudan. Ini jelas berkah luar biasa, karena bisa ngobatin rasa kangen orang-yang-ngasal-centangin-formulir-beasiswa-kayak-saya terhadap makanan khas Indonesia Warmindo.
Perlu kamu tahu, keberadaan Indomie Sudan benar-benar membantu saya. Wabillkhusus ketika awal-awal datang di negara yang puanasnya nadzubillah setan ini. Karena bagi orang-orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke luar negeri, perbedaan cita rasa makanan di negara baru benar-benar mengganggu. Apalagi kalau negara baru itu adalah negeri kismin kayak Sudan ini.
Untungnya, Indomie hadir sebagai salah satu cara adaptasi paling saya rekomendasikan kalau kamu segoblok saya untuk ikut nyasar sampai ke Sudan. Maklum makanan khas Sudan itu cita rasanya… yaaah… begitulah. Terutama yang namanya ful, asidah, dan kroni-kroninya itu. Haduuuh.
Saya sih sebenarnya bawa juga makanan-makanan dari Indonesia, termasuk Indomie langsung dari asalnya. Namun, berapa banyak sih persediaan yang bisa dibawa sebagai mahasiswa asing? Paling-paling juga seminggu doang udah ludes semua.
Masalahnya, meski sama-sama Indomie, rasa Indomie asli Indonesia dengan Indomie Sudan itu berbeda. Mungkin ini karena selera orang-orang Sudan sih. Ya, maklum, Indomie diproduksi di Sudan (iya, di sana ada pabriknya) kan untuk ngikutin pasar masyarakat Sudan, bukan ngikutin selera mahasiswa antek-asing kayak saya begini.
Meskipun saya curiga, sebenarnya perbedaan rasa ini karena bahan-bahan untuk memproduksi Indomie yang mirip cita rasa Indonesia sangat sulit didapatkan di Sudan. Kalaupun bahan bakunya ada, harganya bisa sangat mahal.
Ya gimana, Sudan itu kan negara yang diembargo bertahun-tahun sama Amerika Serikat. ATM berlogo Master Card dan Visa aja nggak bisa dipakai di sini. Bener-bener kayak lagi terjebak di negeri antah berantah lah.
Lucunya, sebagian orang Sudan dan beberapa orang Afrika yang belajar di Sudan, Indomie yang jelas-jelas ada kata “Indo”-nya ini sering dikira sebagai makanan cina. Padahal di bungkusnya nggak ada bahasa Cina-nya blas.
FYI aja sih, orang kayak saya ini kalau di Sudan itu sering dianggap sebagai Shini atau Chinese. Kalau kebetulan kamu lebih iteman lagi dari saya kamu bakal dianggap orang Banggali (India, Bangladesh, dan sekitarnya). Tapi ya masak, hanya karena orang Indonesia di Sudan dianggap kayak orang Cina terus makanannya juga dianggap makanan khas Cina juga sih?
Lagian jelas banget bahasa yang dipakai di bungkus Indomie itu kan bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia. Secara normatif, itu kan artinya memperkenalkan bahasa Indonesia ke dunia Internasional juga to? Kok ya malah semakin nggak dikenali ki njur piye ceritane?
Parahnya, teman-teman saya yang asli Sudan sering nanya, “Hal wajadta Indomie fi biladikum Indonesia?” (apakah di negara kalian, Indonesia, ada Indomie juga?).
Meski senewen dalam hati, tapi saya mencoba mengerti. Soalnya, ada banyak orang Sudan yang kadung percaya kalau “makanan Cina” ini pabriknya di Sudan doang, nggak ada di negara lain. Jadi ya wajar kalau mereka tanya begitu.
Apalagi, Indomie juga dijual di mana-mana di Sudan. Mau kamu nyelonong ke pelosok Sudan, Indomie ada, dijual. Makanya, wajar kalau mereka makin mengimani kalau mi instan ini adalah produk asli mereka.
Namun, meski Indomie di Sudan banyak berjejer di berbagai baqalah (toko bahan makanan), namun orang Sudan tidak terlalu sering juga membelinya. Selain karena Indomie dianggap makanan mewah (iya, ini serius), makanan pokok mereka kan roti, bukan mi.
Jadi, kalau orang Indonesia makan mi instan untuk lauk nasi, orang Sudan makan mi instan buat lauk roti. Dan itu itungannya udah sultan banget kalau bisa makan pakai lauk mi instan tiap hari di sana.
Lha gimana? Harga Indomie satu bungkus di Sudan itu bisa buat beli roti satu kresek. Artinya, jika mi instan di Indonesia adalah makanan akhir bulan, mi instan di Sudan malah jadi makanan awal bulan. Jadi, yang kuat rutin beli Indomie di Sudan itu yang ya orang-orang Asia kayak saya atau orang tajir sekalian.
Kadang penjaga baqalah sampai bilang ke saya, “kulla yaum Indomie, tamam, mi’ah-mi’ah.” (Setiap hari Indomie, bagus tenan!). Iya, bagus buat situ, tapi mumet bagi saya. Soalnya saya sampai khawatir sakit usus karena kebanyakan mi. Tapi ya mau bagaimana lagi? Cuma makanan ini yang cocok dengan lidah saya selama di Sudan.
Meski begitu, selain perbedaan selera makanan, orang Sudan juga punya cara berbeda dalam memasak dan menyebut Indomie.
Hal ini saya ketahui saat sedang KKN di pelosok pojok timur Sudan. Kebetulan, teman KKN saya tahu betul kalau lidah saya ini nggak doyan sama ful (makanan khas Sudan), makanya ia ngajakin masak Indomie. Dan di saat itulah saya baru tahu cara orang Sudan memasak Indomie. Dan jujur, begitu tahu cara masak mereka saya malah jadi emosi sendiri.
Lah gimana? Orang Sudan itu kalau masak Indomie, airnya dikit banget. Mi-nya dimasukin sampai mblenyek. Entah mi itu jadi apa namanya. Mi kuah bukan, mi nyemek juga bukan. Ancur pokoknya. Jadi malah kayak bubur mi instan gitu.
Ini kalau Chef Juna sampai tahu ada masak mi model begini, teman saya ini pasti bakal digampar habis-habisan sampai Madagaskar. Namun, karena saya udah dimasakin teman saya, ya mau gimana lagi? Ya udah, siap-siap nikmatin “bubur mi” yang anti-seret itu aja lah.
Lalu di tengah masak Indomie itu, teman-teman Afrika lain (yang bukan orang Sudan) nanya, “Masak apa nih?”
Dijawab sama teman saya, “Anthomi, anthomi, tho’am ladzid.”
Saya sempet bingung mendengarnya. Hah? Apa? Anthomi? Siapa di sini yang namanya Anthomi?
Belum kelar kebingungan saya, teman saya ini bilang anthomi sambil menunjuk mi yang lagi dimasak dengan amoral itu. Oalah, ternyata yang dimaksud anthomi ini ya Indomie itu. Oalah, anthomi Sudan, anthomi Sudan.
Dalam hati saya nangis-nangis sambil mbatin, “Indomie kok jadi anthomi, eaalah, pantesan diembargo negaramu, Dan, Daaan.”
BACA JUGA Bila Para Pesohor Masak Mi tapi Bumbunya Nggak Ada atau ESAI lainnya.