Gusti Alloh memang maha asyik dan maha baik. Saya beserta keluarga masih terus diberi kesempatan untuk merayakan dan mengisi waktu akhir pekan dengan kegiatan yang baik dan luhur. Seperti hari sabtu kemarin, saat kami sekeluarga diberi kesempatan buat sowan ke toko buku. Niatnya bulat, cari buku bermutu sebagai bacaan di kala senggang. Di toko buku kami berpencar. Suami dan anak saya langsung njujug ke rak buku anak, saya: gundah. Ternyata saya sudah kehilangan genre.
Di setiap jenjang waktu dalam kehidupan saya, saya tahu persis buku macam apa yang akan saya beli. Berawal dari serial Lima Sekawan, Agatha Christie, JK Rowling di masa sekolah. Bergeser ke buku-buku desain yang isinya lebih banyak foto daripada tulisan di masa kuliah (maklum, jaman dulu belum ada Pinterest, dik). Ketika masanya menjadi pemudi galau, alih-alih membaca lelucon cowok imut macam Raditya Dika, saya justru “mencerdaskan diri” dengan membaca buku marketing ala Hermawan Kertajaya dan Budiman Hakim. Buku wisdom-wisdoman seperti Paulo Coulho dan Ajahn Brahm juga sempat jadi cemilan. Pustaka termutakhir saya adalah kumpulan esai kakak Ayu Utami yang… ah sudahlah.
Tapi Sabtu itu, Sabtu dimana niat kami bulat untuk mencari buku sebagai bacaan bermutu, semua buku dengan berbagai genre yang pernah saya gilai itu sedang tidak menarik minat saya. Hingga pada akhirnya, sampailah saya di sebuah lorong yang saya lupa kategorinya. Lorong yang terasa redup dan lembab, lorong yang tidak pernah saya hampiri sebelumnya.
Di deret paling depan di lorong tersebut, saya membaca sebuah tajuk “Sarinah”, penulisnya Ir. Soekarno.
Menarik. Saya belum pernah berpapasan dengan pemikiran Bung yang satu ini. Saya pribadi sih suka gaya berbusana Belio. Keep local and charming. Mungkin begitu kesan tentang Bung Karno di benak saya. Maka dengan semangat nasionalisme, saya borong buku “Sarinah” bersama beberapa buku yang lain.
“Sarinah” jadi buku pertama di daftar baca saya. Tebalnya 300-an halaman. Selesai saya baca dalam 1 minggu dengan mengabaikan berbagai grup WA dan tanpa mengabaikan tugas utama sebagai ibu pengantar anak sekolah yang caem. Isinya: bakalan panjang kalau saya ceritakan. Beli sendiri sana.
Yang jelas buku ini membuat saya merasa pernah ‘berbincang’ dengan Bung Karno secara empat mata. Belio menceritakan pada saya banyak sejarah, dengan gaya bahasa tempo dulu yang terdengar lucu dan melayu. Dengan banyolan segar sekaligus menggebu. Saya bahkan sempat berfikir, kalau Belio hidup di abad ini, tentu akan cocok sekali jika dipinang menjadi penulis Mojok. Tidak menutup kemungkinan Belio bakal jadi penulis Mojok yang paling digilai wanita pembaca Mojok sedunia (Mengalahkan Agus Mulyadi di urutan kedua dan Iqbal Aji Daryono di urutan ketiga)
Pemikiran Belio pada tahun ditulisnya buku itu sungguh pemikiran yang memerdekakan kaum wanita pada jamannya. Bahkan masih terasa sangat aktual meski sudah hampir 70 tahun berselang. Bagaimana tidak, lha wong Belio itu lho, di tahun 1947 bahkan sudah punya ide brilian untuk bikin laundry, dapur dan daycare kolektif, agar semua wanita punya waktu buat bekerja di masyarakat sekaligus tetap bisa berbahagia sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga.
Ealah, Bung! Kita lho, para mamah muda yang hidup di tahun 2016 dalam suasana demokrasi Pancasila pun, masih saja ribut berdialektika dalam dua peran yang muskil bersintesis: Stay at Home Mom atau Working Mom. Padahal ya Bung, hari gini, laundry sekilo cuma tiga ribu perak.
Tapi ternyata dua peran tersebut memang tetap berada dalam satu daftar jawaban terhadap pertanyaan: Ibu macam apakah Anda? Sayangnya, dewasa ini tidak ada pilihan jawaban: Dua-duanya benar. Sarinah di awal abad 21 masih berkutat dengan dua peran dilematis tersebut. Lucunya, masing-masing kubu menganggap pilihannya yang paling benar. Diperuncing dengan kumpulan album meme yang makin banyak di share di facebook. Sudahlah, Jeng. Repot amat yak jadi mamah.
Mungkin mamah muda masa kini harus lebih banyak membaca buku daripada nonton Uttaran. Pertama, karena buku, seperti kata banyak orang, adalah jendela dunia. Kedua, buku juga membantu mengembangkan imajinasi kita akan suatu kejadian, pemikiran dan karakter yang berkembang di alurnya. Tentu saja ini lebih menarik. Seorang mamah muda bisa membayangkan Nyai Ontosoroh yang sebahenol Soimah misalnya. Dan terakhir, yang paling penting di atas segalanya, jika semua mamah muda Indonesia suka membaca, maka akan semakin besar peluang generasi bangsa di masa depan menjadi generasi bangsa yang berkualitas karena mamah-mamah mereka mengajarkan budaya membaca.
Membaca buku itu seperti berbincang dengan orang asing. Kita tidak perlu tahu apapun sebelum ‘berbincang’ dengannya. Seperti ketika bertemu Bung Karno di Sarinah. Saya mulai bersemangat ketika tahu bahwa buku itu di tulis di Jogja dalam remang cahaya lampu minyak. Sungguh sebuah suasana yang sangat prihatin lagi patriotik. Belum lagi uraian Belio yang sungguh aduhai tentang wanita. Dengan mengutip banyak penulis yang belum pernah saya dengar sebelumnya, sambil sesekali berbahasa asing, Belio membuat pelajaran sejarah jadi renyah. Pun santun ketika sedikit mengutip Kitab. Jika buku itu adalah sungguh percakapan satu arah, saya membayangkan diri saya serupa mamah muda yang plonga-plongo di hadapan seorang cassanova.
Pantas jika banyak perempuan mau dimadu oleh Belio. Lha wong saya yang cuma membaca saja menemukan diri saya sekonyong-konyong koder pada Belio, Apalagi para ladies yang pernah diajak dansa.
Mungkin karena momentumnya sudah terlewat, dan Negara kita kadung berkembang dengan sejarahnya sendiri, saya kurang ‘terbeli’ dengan tulisan Belio di bab terakhir. Bukan karena saya tidak setuju dengan ide Belio tentang sosialisme… Bukan. Lha wong seandainya Belio masih hidup dan punya akun facebook (selama tidak mensyaratkan untuk menjadi kader partai), mau bagaimanapun statusnya, Belio akan tetap akan saya follow kok (kalau memang tidak bisa di add friend). Hanya saja, Sarinah masa kini memang sudah tidak lagi disembunyikan di balik tirai macam Sarinah masa lampau.
Sarinah masa kini sudah beragam perannya, dengan kemerdekaan yang beragam pula. Ada yang merdeka untuk bekerja, merdeka untuk mengasuh anak sambil jualan online, merdeka untuk menyuarakan hak-haknya dengan begitu luar biasa, bahkan kami pun sudah merdeka untuk memilih menjadi tidak merdeka.