Buat Penjual Online kayak Kami, Pembeli via COD Emang yang Paling Rese Sih

Setelah Bok-Goblok, Ada Bocil COD Lazada. Marketplace Emang Perlu Bikin Aturan Bayar di Tempat yang Galak mojok.co

Setelah Bok-Goblok, Ada Bocil COD Lazada. Marketplace Emang Perlu Bikin Aturan Bayar di Tempat yang Galak mojok.co

MOJOK.COPembeli via COD merupakan kelompok yang paling sering merugikan penjual online. Bayar belakangan kali ya soalnya?

Sebagai salah satu seller di marketplace, saya nggak takut menyimpulkan bahwa masih banyak pembeli COD yang suka gagal paham soal alur trasaksi online, lebih spesifik lagi soal COD. Cash on delivery yang mereka sering terjemahkan sebagai complain on delivery.

Hal ini berdasar pengalaman jualan saya di komunitas jualan online. Banyak pembeli COD lebih iyikngantheli, dan suka bikin emosi daripada pembeli non-COD. Saya nggak tahu kenapa begitu.

Mereka seperti gagal paham apa itu transaksi online. Banyak di antara pembeli via COD yang seolah berpikir beli online itu seperti beli barang di pasar, bebas berubah pikiran, atau bisa seenaknya membatalkan transaksi secara sepihak.

Seperti kata William Tanuwijaya, CEO Tokopedia, bahwasanya COD adalah jenis transaksi yang tidak aman, di situ saya merasa setuju. Tapi apa daya, gara-gara “marketplace ungu” mempopulerkan COD, maka yang lain juga mau tidak mau harus ikut-ikutan.

Di satu sisi adanya fitur COD memungkinkan pembeli yang terbatas akses perbankannya bisa ikutan berbelanja online, di sisi lain ada risiko tinggi yang harus dibayar penjual kayak saya untuk melayani mereka.

Ini beberapa di antaranya.

Ngasih alamat suka nggak jelas, dikira semua orang di planet ini kenal dia

Ini hal yang cuma saya temui pada pembeli yang memilih COD, meski tidak semuanya seperti itu, tapi kejadian ini cukup sering terjadi.

Pernah saya mendapat pesanan dengan alamat cuma: Jalan Lintas Sulawesi. Sudah, gitu tok til.  Silakan bayangkan perasaan saya sebagai penjual, merasa dilematis untuk kirim atau tidak.

Belum lagi perasaan kurir yang nganter. Lama-lama bisa jadi Kogoro Mouri ini si kurir karena saking seringnya harus jadi detektif untuk cari rumah si pembeli yang ngasih alamat nggak jelas.

Ada juga yang cuma ngasih alamat: desa nganu, yang depan rumah ada pohon belimbingnya. Tanpa RT, RW, plus tanpa nomor rumah. Dikira pohon blimbing satu desa itu cuma ada di depan rumah dia aja apa yak?

Pada akhirnya sih kurir akan bekerja ekstra keras untuk menemukan si pembeli dengan alamat nggak jelas itu. Tanya sana-sini berkali-kali. Tapi plis deh, memudahkan kerjaan orang lain itu juga tindakan yang mulia juga kan, Pak, Bu, Mas, atau Dek?

Tidak menulis nama penerima

Ini banyak terjadi pada transaksi “COD si ungu”. Pembeli tidak menulis nama penerima, cuma nomor telepon saja.

Mungkin mereka pikir hal tersebut memudahkan kurir untuk menghubunginya. Padahal pada label alamat juga ada bagian nomor telepon penerima juga.

Lucunya, kadang ada yang menulis nama penerima dengan nomor HP yang berbeda dengan nomor HP di label alamat. Yang pesen siapa, yang nerima siapa, nomor yang bisa dihubungi siapa. Beda-beda gitu semuanya.

Ini mau beli paket apa ngirim santet sih sebenarnya? Kok gaib semua gitu jadinya?

Pembeli tiba-tiba tidak mau bayar

Hal ini beragam alasannya. Misalnya sedang nggak pegang duit, belum gajian, orangnya sedang keluar rumah, nggak merasa pesan, tidak bisa dihubungi, dan lain-lain.

Yang paling ngenes saat si penerima sedang meninggal dunia. Iya, sedang meninggal sesaat si kurir mengantar paket di rumah penerima sedang ada persiapan pemakaman si penerima paket. Pernah itu saya ngalamin kejadian kayak gitu.

Kok ya bisa kebetulan banget? Hiii.

Maksa bongkar paket, tidak cocok, dan mengembalikan sembrambangan

Ini juga hal yang bikin emosi. Sudah maksa harus membongkar paket untuk cek barang, merasa tidak sesuai, lalu memilih retur. Saya pribadi tidak masalah dengan retur, tapi kebanyakan pembeli goblik seperti ini tidak punya kecakapan melakukan packing ulang.

Saya cukup sering menerima returan dari pembeli goblik seperti ini dengan kondisi packing ulang asal, barang saya jadi rusak.

Mengadu ke pihak marketplace pun percuma, mereka tidak bisa memberi solusi apapun (terlebih “CS si ungu” yang kaku banget). Paling parah? Isi paket hilang berganti diisi dengan sampah.

Pernah? Pernaaah dong.

Kadang saya juga wasap pembeli COD yang menolak pesanan. Apa alasannya? Kenapa tiba-tiba ditolak?

Sebagian membalas sebagian tidak. Dari yang membalas tersebut ada beberapa yang beralasan barang tidak sesuai deskripsi. Saat saya tanya balik bagian mana yang tidak sesuai supaya bisa jadi data dan masukan, lebih sering mereka tidak membalas.

Ada juga yang ternyata nggak membaca deksripsi dan (paling parah) judul produk. Dan ini adalah yang paling ngeselin.

Pernah ada yang bilang saya penipu karena mengirim barang yang berbeda. Si pembeli lihat gambar produk saya (ada) jam tangan, tapi kok yang dikirim kaos.

Padahal judul, deskripsi dan foto produk saya memang jualan kaos. Kebetulan saja yang difoto memakai jam tangan! Duh, dek. Tobaaaat.

Dari kejadian-kejadian di atas, saya sering merasa kasihan juga sama kurir. Mereka juga jadi pihak yang paling sering dirugikan kalau perkara kayak gini. Suka diomelin sampai muncrat ke depan muka mereka.

Hal paling sering adalah ketika pembeli COD  suka emosional memilih produk tapi nggak baca deskripsi secara komplit.

Hal ini sangat beda sama pembeli online non-COD. Mungkin karena pembeli non-COD ini langsung transfer sih, jadi bisa lebih teliti membaca keterangan produk sebelum memutuskan untuk membeli.

Kalaupun kebetulan ada kendala, pembeli non-COD kebanyakan sopan dan masih enak diajak diskusi ketimbang yang COD. Udah bayarnya belakangan, kasih alamat suka nggak jelas, suka nggak baca keterangan produk lagi.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya sih percaya Indonesia memang darurat baca, cuma daruratnya—lebih spesifik lagi; Darurat baca deskripsi jual-beli online!

BACA JUGA 3 Dosa Ultimate yang Sering Dilakukan Pembeli di Marketplace dan tulisan soal jual-beli online lainnya.

Exit mobile version