MOJOK.CO – Konsep negara kita bukan negara sosialis, bukan negara kapitalis, apalagi negara gotong-royong. Konsep negara kita adalah survival of the fittest alias hukum rimba.
Catat ini baik-baik: survival of the fittest.
Pandemi Covid-19 telah mengungkap jurang sosial dan ekonomi kita. Inilah saat-saat terbukanya dengan telanjang, semua kesenjangan yang pada zaman normal mampu kita tutup-tutupi dengan segala macam cara, kali ini tak akan bisa.
Saya bicara tentang segala macam kesenjangan. Pada awal-awal pandemi, ramai diberitakan bahwa keluarga-keluarga kaya menyewa jet-jet pribadi untuk pergi ke luar negeri. Mereka mencari tempat yang aman.
Itu mungkin bisa dimaklumi. Para crazy rich ini memakai kekuatan kekayaannya untuk menyelamatkan diri sendiri. Mohon dicatat: pakai uangnya sendiri.
Pandemi ini dengan brutal tanpa ampun mengungkapkan survival of the fittest. Baik di bidang kesehatan maupun di bidang-bidang lain.
Kalau Anda komorbid dan hidup dengan pre-existing conditions (kondisi kesehatan menahun yang sudah ada sebelumnya) maka Anda tumbang.
Kalau Anda miskin, dan Anda terinfeksi, Anda tidak punya akses ke rumah sakit, tidak punya akses ke obat-obatan, Anda juga harus tumbang.
Kemiskinan juga memaksa Anda untuk mengais rezeki di luaran. Di sini pun Anda dipaksa tumbang. Jika tidak karena virus, ya karena Anda tidak bisa bekerja, lalu tak bisa makan.
Pendek kata, pandemi ini bukan untuk orang miskin, bukan untuk orang yang tidak sehat, bukan untuk orang-orang yang tidak punya kekuatan, bukan untuk orang yang jauh dari lingkaran kekuasaan.
Pandemi ini membuat yang kuat tambah kuat. Yang berkuasa tambah berkuasa. Dan dalam banyak hal: yang kaya bertambah kaya. Lihatlah ledakan kekayaan orang-orang paling kaya di dunia dan—saya kira juga—di Indonesia.
Adakah jalan keluar dari problematika ini? Untuk saya, ada.
Jawabnya adalah: negara. Untuk itulah negara ada.
Dalam konsep negara modern, ia ada untuk melindungi yang lemah dan mengerem kekuasaan yang kuat agar tidak terlalu keblabasan berkuasa.
Tentu saja, konsep negara ini bisa diperdebatkan. Untuk kaum liberal dan neo-liberal, konsep negara bisa sebaliknya. Negara itu hadir untuk melindungi yang kuat agar bisa berkembang dan memberikan manfaat kepada yang lemah.
Bagaimana dengan kita di Indonesia? Konsep negara yang mana yang kita pegang? Sulit untuk mengetahui karena kita tidak pernah mengelaborasi konsep negara secara teoritik.
Kita mengklaim bahwa konsep negara kita adalah Pancasila. Namun di mana negara Pancasila ini berdiri? Kabarnya ini adalah negara gotong-royong, yang dibangun bersama. Tetapi yang jelas kelihatan adalah negara survival of the fittest alias siapa-yang-kuat-dia-yang-menang.
Setidaknya, itu sudah muncul dengan pola pikir seperti seorang politikus PAN, beberapa waktu lalu, yang meminta Pemerintah menyediakan Rumah Sakit Covid-19 khusus pejabat. Meski akhirnya PAN buru-buru minta maaf, tapi cara berpikir seperti itu jamak kita temui dari dulu.
Elite pejabat di Indonesia selalu ingin mendapat yang lebih baik. Kalau pernah ketahuan mencuri, masih bisa dimaafkan dengan mencalonkan diri lagi pada periode selanjutnya. Sedangkan kalau kejahatan rakyat tercatat di kepolisian, ia tak akan bisa mendapat SKCK. Daftar ASN pun jadi mustahil dilakukan.
Padahal, para elite ini, para pengurus negara ini, sudah kita bekali dengan kekuasaan dan kemuliaan. Mereka tidak kurang memiliki hak-hak istimewa (privilege). Namun tampaknya segala macam akses kekuasaan itu masih belum cukup juga.
Dan alasan itu selalu klise: demi rakyat.
Seperti politisi yang minta rumah sakit khusus itu tadi, karena mereka merasa memikirkan rakyat maka mereka harus diistimewakan. Ia sama sekali tidak sadar bahwa ia berpartisipasi dalam membuat kebijakan yang membikin kita semua berada dalam situasi seperti ini.
Imajinasi para gedibal ini, yang berpikir heroik bahwa mereka berjuang untuk rakyat ini, bukan hal yang baru. Mereka memandang dirinya sebagai pahlawan dan oleh karenanya selalu minta didahulukan.
Anda bisa lihat ini di mana saja. Mereka minta duluan di jalanan, bukan? Anda harus mengalah hanya agar mereka bisa lewat dengan nyaman.
Konsep negara kita bukan negara sosialis, bukan negara kapitalis, apalagi negara gotong-royong. Konsep negara kita adalah negara survival of the fittest. Siapa kuat, dia menang. Ini konsep negara penaklukan (subjugation).
Dan sebagaimana penaklukan di mana-mana, siapa yang membiayai keistimewaan para politisi ini? Ya, Anda-anda sekalian itu. Anda mengumpani kenyamanan mereka. Anda memberikan mereka kesehatan.
Mungkin Anda berpikir, ah tapi kan saya bayar pajak sedikit saja. Mungkin betul. Tapi Anda tidak pernah berpikir bahwa hutan-hutan yang habis mereka babat itu akan mempengaruhi hidup Anda dan anak-anak Anda di kemudian hari.
Bahwa hasil mereka mengangsir kekayaan negara ini akan berpengaruh pada pendidikan anak-anak Anda. Akan berakibat pada sistem kesehatan yang akan menjadi mahal karena negara tidak mampu mengalokasikan dana yang cukup untuk memberi Anda kesehatan.
Problem negara seperti ini bukan kemiskinan, tapi akumulasi yang tidak terkendali dari orang-orang yang punya kekuasaan tak terbatas ini.
Di masa depan, mereka akan minta hak-hak istimewa lagi karena merasa sudah berjuang “memikirkan rakyat”, dan mereka bakal pura-pura tidak tahu bahwa kita berada dalam situasi carut-marut ini karena kebijakan mereka juga sendiri.
Seperti saat mereka enggan memakai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, demi menghindari kewajiban membiayai kehidupan dasar masyarakat. Sambil tetap bersikeras menerapkan kebijakan PSBB sampai PPKM darurat itu.
Lalu bagi rakyat yang melanggar kebijakan PPKM darurat itu, bakal ditindak tegas (bayar denda) sesuai dengan Undang-undang Kekarantinaan.
Mereka memaksa rakyat memenuhi undang-undang kekarantinaan (menutup usaha rakyat cari makan) tapi Pemerintah tak mau memenuhi kewajiban yang ada di undang-undang mereka sendiri.
Lalu tiba-tiba pada akhirnya, kita yang dituding sebagai tersangkanya, sebab-musabab kegagalan negara mengatasi pandemi, rakyat kini yang jadi penjahatnya, dan pemerintah kini yang jadi pahlawannya.
Kita memang rakyat yang gagal selama pandemi. Ya, itu harus diakui. Kita gagal membuat gedibal-gedibal ini bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan brutalnya selama ini.
BACA JUGA Habis Era Orde Baru Terbitlah Era Orba Baru dan tulisan Made Supriatma lainnya.