MOJOK.CO – “Mari cek apakah hitung-hitungan menabung lewat berhenti merokok itu masuk akal.”
Setiap awal tahun, pasti ada saja resolusi tahun baru. Selain tentu saja ramalan bintang dan shio, tidak lupa aneka kiat dan siasat, mulai dari hidup sehat sampai hidup hemat.
Salah satu yang kerap terjadi adalah kiat hidup hemat pangkal kaya dengan cara berhenti merokok. Kalau untuk tema kesehatan, okelah masih bisa diperdebatkan. Tapi, kalau soal bisa kaya karena berhenti merokok, mari kita uji secara rasional dan kritis.
Berhenti merokok bisa kaya karena misalnya sehari pengeluaran seseorang untuk merokok seharga 20.000 rupiah, kali sebulan: 600.000 rupiah. Kalikan setahun? Sebesar 7.200.000. Kalikan 10 tahun? Jadilah angka 72.000.000 rupiah. Besar sekali ya? Oya? Benarkah?
Mari kita ambil contoh seorang penulis seperti Iqbal Aji Daryono. Satu esainya yang dimuat di sebuah media onlen nasional diberi honorarium minimal 1 juta rupiah. Untuk membuat esai itu, dia hanya butuh menghabiskan setengah bungkus rokok. Itu artinya, dengan asumsi sebungkus rokok seharga 20.000 rupiah, maka Iqbal hanya dengan modal 10.000 rupiah, dalam waktu kurang dari 2 jam, melipatgandakan modal tersebut menjadi 1 juta rupiah. Berapa kali lipat? Seratus kali lipat.
Itu baru Iqbal. Belum Agus Noor, dengan modal sekira 5 bungkus rokok, dia bisa menyelesaikan satu naskah drama yang konon harganya belasan juta bahkan lebih.
Itu dari sisi penulis. Saya ambil contoh yang lain. Desainer grafis seperti Ega Fansuri atau Azka Maula, misalnya. Harga desain sampul buku mereka berdua 750.000 rupiah. Sekali mendesain buku, paling tidak habis setengah bungkus rokok. Kalau sehari mereka menghabiskan sebungkus rokok untuk mendesain 2 sampul buku, maka hanya dengan modal 20.000 mereka meraup uang 1,5 juta.
Kalau saya paparkan lagi ke profesi lain, Anda bisa lebih menjerit lagi. Misalnya, perupa yang anggaplah menyelesaikan lukisannya dengan ukuran 2 x 3 meter. Anggaplah diselesaikan dalam waktu 10 hari. Sehari katakanlah habis 2 bungkus rokok. Berarti selama 10 hari habis 20 bungkus rokok. Artinya uang yang dikeluarkan untuk merokok sebesar 400.000 rupiah.
Kalau perupa itu masih tahap pemula, lukisan seukuran itu dihargai antara 30 s.d. 40 juta. Kalau lumayan terkenal, bisa sampai 100-an juta. Kalau terkenal, yah 200-an juta. Kalau terkenal banget, bisa di atas semiliar!
Kok hitung-hitungannya disimplifikasi hanya rokok saja? Kenapa kreativitasnya tidak diperhitungkan?
Lha kan yang memulai menghitung dengan cara simplifikasi itu yang duluan ngasih kiat kaya dengan cara berhenti merokok, bukan? Mereka melepaskan rokok dari sekian konteks lain. Seakan merokok merupakan perbuatan paling sia-sia dan tak berguna.
Itu pun belum jika saya hitung harga lain yang harus dibayar orang jika berhenti merokok. Ini berdasarkan riset kecil-kecilan saya.
Beberapa teman saya berhenti merokok, tapi ngemil sebagai gantinya: ngemil. Harga rokoknya 20.000 rupiah, ngemilnya habis 25.000 rupiah. Malah tekor, kan?
Tapi, yang sangat jarang dilihat oleh banyak orang adalah efek rekreatifnya. Bayangkan, Anda seorang pekerja kasar. Sehari membawa pulang uang 75.000 rupiah. Pulang. Capek. Penat. Lungkrah. Masak sih menghadiahi diri dengan merokok setengah bungkus saja tidak boleh? Padahal besok harus bekerja keras lagi. Mereka juga perlu menghadiahi diri sendiri. Terkadang, para aktivis antirokok yang kebanyakan kelas menengah ngehek itu, sering mengkritik: “Sudah miskin, merokok!”
Mereka belum pernah dibentak balik, “Ini duitku sendiri, hasil kerja kerasku sendiri, mau kupakai untuk ngerokok atau makan sate, ya suka-suka aku. Asal bukan untuk melakban mulutmu!”
Mereka sih enak, capek kerja pergi ke kafe, kalau nggak ya nonton film ke bioskop.
“Tapi kan lebih baik uang itu dipakai untuk membelikan lauk dan susu anak?” sergah kaum antirokok.
Jawabannya juga bisa tak kalah galak, “Kau pikir aku nggak ngasih anakku makan? Mana ada orangtua yang tega anaknya kelaparan sementara kami udad-udud? Memangnya kami sebejat itu?!”
“Tapi kan merokok mengganggu kesehatan?”
Nah kan, perdebatannya mulai dibelokkan. Kalah debat kok ngepot. Kalau debatnya soal itu, beda lagi kamar debatnya. Katanya kritis kok nggak tahu semesta perdebatan. Ini kamar debat untuk menguji benarkah berhenti merokok bisa membuat kita kaya? Paham, kan?
Kenapa hal ini layak dibantah? Karena penyakit simplifikasi itu tak baik buat otak kita.
Nggak suka merokok silakan. Nggak suka orang merokok juga silakan. Tapi, kalau mulai mengeluarkan argumen, ya mari kita beradu kekuatan pikiran.
Simplifikasi seperti itu mirip seorang ustad yang gemar sekali menyindir orang merokok. “Giliran nyumbang kotak mesjid, 2.000 rupiah. Tapi sekali merokok habis 20.000 rupiah.” Sungguh ini pernyataan yang aneh.
Si ustad kenapa nggak berpikir, orang yang membeli rokok sebungkus 20.000 rupiah, justru ketika menyumbang masjid ya makin banyak. Bisa 100.000, bisa 200.000, bisa sejuta. Dan kenapa dia bisa punya kesimpulan seperti itu? Seakan yang tidak merokok lalu menyumbang lebih banyak dari yang merokok. Padahal bisa jadi pas kotak sumbangan lewat di depannya, hanya digeser begitu saja.
Simplifikasi, hitam-putih dalam memandang hidup dan perilaku manusia, memang kerap mengganggu akal sehat kita.
Ngomong-ngomong, tulisan ini dibuat dengan hanya menghabiskan dua batang rokok saja.