MOJOK.CO – Penjual angkringan di Jogja seharusnya sudah berhak membuat mazab yang diikuti banyak umat. Ilmu ikhlas mereka itu tanpa tanding.
Angkringan dengan similaritas bentuk dan tata letak interiornya, ternyata membentuk karakter hubungan sosial antara penjual dan pelanggan. Bukan sekadar pembeli, tapi pelanggan.
Sudah saya niati sejak beberapa tahun yang lalu, setiap pagi sehabis ibadah mu’amalah, mengantar anak ke sekolah, untuk Tour D’angkringan. Karena saya ini orang Bantul, maka garis start juga dari selatan Jogja.
Anda yang di utara mungkin nggak terlalu relate. Karakteristik kidul (Bantul) dan lor (Sleman) itu agak berbeda. Kidul didominasi pekerja keras gulung koming. Sedangkan demografi Lor lebih banyak kaum hedon dan kos-kosan bebas.
Setelah pengamatan singkat, saya melihat pelanggan dengan jenis ojol Oren dan Hijau lebih sering ke angkringan yang singup (teduh, sejuk, gelap karena sinar matahari tak kuasa menembus). Angkringan jenis begini berdiri bersahaja dilindungi sang hyang wit Talok.
Sampah daun Talok berserakan. Terpal merek obat yang sudah lusuh. Gorengannya kebanyakan lemah gemulai klemar-klemer walaupun masih pagi. Pelanggan suka duduk berjejal tak peduli pandemi.
“Wis pira?”
“Lagi metu, Mas, aku.”
“Tok-né njaba pa njero?”
Itu kelakar standar ojol jomblo ngenes yang kebanyakan asupan akun alter. Tidak apa-apa. Saya menikmatinya. Menikmati suasananya, bukan akunnya.
Mas-mas ini seringnya lebih rapi dari saya. Rambut klimis produk jelantah gorengan kemarin sore, jaket rapi berbunyi kresek-kresek yang menandakan baru saja dibebaskan dari dalam lemari. Mereka bersemangat sekali menyambut pyur-pyur rezeki dari Gusti Allah sepagi itu.
Jenis lain adalah pelanggan dengan seragam tipikal, perlente nan sangar. Mereka adalah debt collector.
Biasanya, beliau-beliau ini bercokol di angkringan yang punya extension kursi. Ada menu tambahan rames dan Indomie. Gorengannya panas kalau pagi. Biar kalau habis makan itu makin berani nagih utang konstituen.
Mereka suka bicara agak keras. Cerita menggebu-gebu. Padahal yang diceritakan adalah kegagalan menagih utang. Notabene, mereka ini suka menertawakan diri sendiri, menganggap kegagalan itu snack hidup saja. Hanya sufi yang bisa memaknai hidup seenteng ini.
Anda masih sering sambat kalau yang ditemui adalah kegagalan. Jadi, Anda ini mau membanggakan hidup yang sebelah mana? Wong dengan UMKM debt collector saja kalah jeru.
“Pak, teh anget!”
“Tempene kok rung teka jam yahmene??! Piye ki?!”
Sahutan-sahutan keras seperti itu sudah biasa saya dengar. Istilah “pelanggan adalah raja” benar-benar dihayati dan diamalkan oleh mas-mas berjaket hitam kulit sintetis ini. Makan dengan gesture menteri ditunggu rapat kabinet. Cepat-cepat. Apa itu sopan? Nggak ada! Nggak pakai sopan-sopanan. Itu negara mereka. Bebas. Kalau tidak kuat memandang atau kalau Anda makannya sedakep, minggato wae.
Mereka-mereka ini boleh kecap kalo makan. Boleh bunyi sampai mendekati toa masjid yang diatur Mas Menag. Boleh jégang. Boleh multitasking ngunyah mendoan 33 kali disambi WA nagih kreditan motor gen-Z kelas UMR. Sedangkan gerobak angkringannya tidak harus di bawah pohon. Bisa langsung di bawah Arsy Allah SWT. MasyaAllah.
Ada lagi angkringan di Jogja yang berusaha merebut status quo boba-bobanya ngabers. Berdiri mengangkangi sibuknya pekerja memindah gigi motor di sela-sela bangsatnya mbak-mbak mahasiswa dan ibu-ibu matik di jalan.
Angkringan jenis ini sering tak punya pelanggan, tapi jangan salah, selalu penuh! Pembeli datang silih berganti memberi arti. Mereka akan mampir kalau sempat saja. Kalau nggak sempat, akan mereka sempatkan.
Angkringan yang seperti ini biasanya punya terpal cerah. Oranye dan biru cerah. Kursi dan meja bersih. Ngabers nggak suka ada pletikan minyak atau kecap di sela-sela serat kayu meja mereka.
Mereka ditempa pendidikan higienis nan resikan. Maka masuk akal kalau mereka adalah fans mas-mas Tupperware. Jenis makanan yang disediakan di sini sudah digital. Bukan analog seperti layaknya yang disebut angkringan. Ada martabak magak, donat yg bentuknya seperti evolusi bumi, ayam krispi KW 19, cakwe, roti-roti partikelir, pisang rasa yang rasanya sama sekali nggak ada pisangnya, dan lain sebagainya. Penjualnya ngerti siapa yang makan. Merespons kahanan.
Angkringan di Jogja yang beruntung adalah yang punya lapak dan menjadi gupala di pusat keramaian. Di pasar misalnya. Merkeka berjualan di pusat transaksi yang setiap jam pagi sekali hebohnya melebihi pembukaan IHSG Jakarta. Dol-tinuku adalah pekerjaan sunnah manusia.
Kita ini makhluk transaksional.
Segala harus nyang-nyangan. Kita gemar menawar segala. Kita bisa dibeli sekaligus suka menjual. Maka saya tidak setuju kalimat manusia adalah makhluk sosial. Nyatanya kita ini jauh dari semantik apa itu sosial. Jelas kita ini adalah mahkluk nyang-nyangan. Bukan yang-yangan.
Penjual di angkringan yang terletak di kawasan segitiga industri ini (pasar-parkiran-jajanan) biasanya nggak peduli manner. Ngedoli wedang sambil ududan. Memamerkan product knowledge dengan saliva yang dibagi adil ke setiap keranjang makanan. Menyenangkan. Pembeli tidak peduli karena tipe pembelinya adalah yang sibuk disambi bekerja. Maunya cepat. Sat-set. Mereka juga harus konsentrasi lapaknya sendiri di dalam pasar.
Plusnya dari penjual jenis angkringan ini adalah mau nyambi “GoFood intra pasar”. Mereka tidak sambat mengantar hanya satu teh hangat ke pojokan pasar yang terjauh. Jadi, gerobak sering kosong ditinggal “direktur marketing”. Kita bebas-bebas saja. Mau dihitung atau tidak tergantung seberapa takut Anda dengan Roqib dan Atid. Penjual jenis ini juga sudah mencapai level sufi tertentu. Mereka percaya rezeki benar-benar di tangan Tuhan, bukan di tangan Anda.
Tapi yang saya buru adalah angkringan jenis hidden gems di Jogja agar saya bisa healing ketika overthinking. Yang ini tidak kasat mata. Kalau Anda wisatawan luar jogja, peluang menemukan angkringan jenis ini agak mendekati nol persen karena lokasinya terselip di tanah nganggur, nylempit di antara jalan-jalan kampung, di balik tembok-tembok tua.
Pelanggannya adalah petani-petani yang kondur matun, pedagang kreditan Tupperware seperti punya istriku yang aku hilangkan itu, dan simbah-simbah pensiunan sarungan. Menyenangkan sekali berada di antara mereka.
Obrolannya sekadar tanduran, ngrasani pelanggan bandel, yang mangkir cicilan rantang, lintingan, pamer sakit sekaligus sehat. Mereka nggak kenal Ganjar Pranowo dan Omnibus Law. Mereka nggak peduli selebgram dan nggak ngerti yang duduk di antara beliau-beliau ini adalah gitaris andal band kondang kaloka. Ya Allah, pemerintah berdosa besar kalau sampai membuat mereka sambat.
Yang sama dari sekian jenis angkringan di Jogja adalah raihan spiritual yang dipunyai penjualnya. Cara memperlakukan sendok-sendok bekas kegiatan pengunyahan pelanggan misalnya. Cukup dimasukkan ke dalam dua ember dengan kekentalan saliva yang berbeda. Semacam neraka level satu dan dua. Kalau sudah lulus level satu, maka dimasukkan ke level dua yang menurut mereka lebih bersih.
Higienis itu apa? Itu hanya berhala bikinan WHO yang bertujuan menakut-nakuti imun kita yang terbukti sudah kuat. Saya tidak pernah melihat tokoh wayang pakai jaket atau jumper. Mereka sehat-sehat saja. Bahkan menyelesaikan Bharatayudha sampai khatam. Para pelanggan cuek saja dengan itu. Sukarela menyerahkan nasib sel-sel darah putih tubuh mereka bekerja keras sesudahnya.
Ikhlas dengan pelanggan yang kere yang beralasan tidak bawa uang kecil, adalah fakta lain bahwa penjual angkringan seharusnya sudah berhak membuat mazab yang diikuti banyak umat. Ilmu ikhlas mereka tanpa tanding.
Mereka biasa saja untuk bilang, “Pun, benjing mawon mas. Gampil.”
Besok dibayar beneran atau tidak, mereka nggak ngurus. Mereka kaya. Kaya hati, kaya sodaqoh. Kata gampil yang berarti ‘gampang’ ini password untuk shortcut merebut rida Allah secara instan. Anda nggak mungkin punya. Anda ini tukang nggrundhel di belakang. Ikhlas di mulut saja.
Melihat aneka warna angkringan, sejenak membuat saya lupa kalau UMR masih rendah dan sedang punya hajat mengganti tanah alun-alun. Semoga semua lancar, ya.
BACA JUGA 6 Angkringan Kota Jogja yang Paling Enak dan Nyaman dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Agus Riyono
Editor: Yamadipati Seno