Belajar Bahasa Inggris Adalah Tahap Awal untuk Memanusiakan Diri bagi Atlet Brain Rot seperti Saya

Belajar Bahasa Inggris Cocok untuk Atlet Brain Rot kayak Kamu MOJOK.CO

Ilustrasi Belajar Bahasa Inggris Cocok untuk Atlet Brain Rot kayak Kamu. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya yakin kalau belajar bahasa, secara spesifik, Bahasa Inggris, adalah tahap awal untuk memanusiakan diri.

Tren kursus belajar Bahasa Inggris akhir-akhir ini mulai menjamur lagi. Apalagi setelah ada dorongan kolektif manusia-manusia yang hendak menyelamatkan diri dari konsistensi regulasi negara dalam menyuburkan ketimpangan dan sistem yang tidak manusiawi. Kalaupun tidak terjadi di realitamu, setidaknya inilah yang terjadi dalam algoritma sosial media saya. 

Sebagai warga negara Indonesia yang mencoba memberi jaminan hidup kepada diri sendiri, saya melihat belajar Bahasa Inggris sebagai starting point untuk membuka kesempatan-kesempatan baru. Kesempatan yang paling muluk adalah untuk bisa hidup dan “seutuhnya dimanusiakan” dalam level negara. 

Kesempatan yang paling bare minimum adalah untuk bisa memberikan diri pilihan untuk belajar dan memperluas wawasan. Kondisi ini akhirnya bisa saya ambil setelah melewati banyak pertimbangan dan dialog diri. 

Keputusan ini sulit untuk saya karena regulasi negara ini membajak realitas saya dengan memberi narasi bahwa berharap dan bermimpi itu hal yang tidak wajar. Pendidikan adalah hak warga negara yang paling dasar, namun tidak terakomodasi dengan karena ada “kepentingan-kepentingan lain”.

Sedikit wujud kemarahan dalam diri

Saya memahami bahwa belajar Bahasa Inggris adalah wujud kemarahan saya yang perlu untuk disalurkan ke hal-hal yang lebih produktif. Saya pun yakin kalau belajar bahasa, secara spesifik, Bahasa Inggris, adalah tahap awal untuk memanusiakan diri.

Selama ini, setidaknya selama mendapat akses pendidikan formal, bahasa hanya menjadi tolak ukur kelulusan sebuah mata pelajaran. Metode menghafal selalu menjadi jalan pintas untuk lulus hingga di bangku SMA

Metode ini tidak pernah gagal untuk membuat saya culture shock setiap bertemu anak usia sekolah yang menggunakan english dalam kesehariannya. Setelah menerima bahwa saya bukan tipe yang bisa paham dengan hafalan yang dijejali selama menempuh pendidikan formal, saya mencoba untuk belajar Bahasa Inggris dengan pendekatan lain. Salah satunya melalui dialog dengan diri sendiri dan orang lain. 

Baca halaman selanjutnya: Cocok untuk atlet brain rot kayak kamu.

Pengetahuan dasar selama belajar Bahasa Inggris

Sebelum mengambil kursus belajar Bahasa Inggris, saya sudah punya bekal koleksi vocab dan phrase dari lirik lagu, dialog-dialog dalam film, podcast, bahkan konten receh TikTok. Medium tersebut saya jadikan akses gratis untuk mengenal dunia. 

Ini menjadi basic knowledge saya terhadap budaya yang membentuk struktur Bahasa Inggris. Mengenali budaya dan dialog-dialog sesama manusia yang tumbuh dari sebuah bahasa menjadi cara yang membumi dan relevan untuk saya memahami fungsi bahasa.

Dengan pertimbangan fomo ingin ikut kabur dan melampiaskan kemarahan atas sistem pendidikan, saya akhirnya memutuskan untuk mengambil kursus belajar Bahasa Inggris di IELTS. Mentor yang saya pilih adalah mentor yang mengajar writing dan speaking karena 2 area tersebut merupakan kelemahan saya.

Di awal pertemuan, kami sepakat untuk menjadikan target skor dari institusi yang saya tuju sebagai tangga pijakan pertama. Dalam perjalanannya, ternyata tidak semulus melayangkan keputusan untuk menahan mahasiswa karena membuat meme dengan bantuan AI.

Saya merasa frustasi karena ada feedback berupa koreksi yang membuat saya merasa tidak cukup dengan diri sendiri. Koreksi yang diberikan itu sebenarnya baik, namun persepsi saya menerima itu seperti ingin membentuk kesempurnaan yang ideal–yang memang selaras dengan kesepakatan kami di awal.

Semuanya dibentuk berdasarkan standar norma sosial. Kesempurnaan yang ideal ini ternyata bukan tujuan yang saya cari.

Belajar Bahasa Inggris menumbuhkan neuron baru

Belajar Bahasa Inggris sesuai standar tidak selalu menjamin saya mengerti 12 tenses dan memilih conjunction yang tepat untuk mengharmonisasikan sebuah kalimat. Namun, kebiasaan ini cukup membuat otak yang saya rewiring dan menumbuhkan neuron baru. 

Tujuan ideal belajar Bahasa Inggris itu ternyata tidak secara langsung memaksa saya melatih fokus, mengurangi serta menahan godaan distraksi, dan memproses satu hal dalam satu waktu. Sebagai atlet brain rot, perubahan signifikan yang terasa adalah kecenderungan untuk berkomunikasi yang lebih artikulatif dan selektif. Memproses informasi bahkan bisa dilakukan dalam mode latar belakang. The brain is braining, cenah.

Satu softskill yang ternyata tidak secara langsung juga terasah selama saya belajar Bahasa Inggris yaitu kemampuan menerjemahkan dan menafsirkan. Sebagai contoh, ungkapan “Nice to meet you” belum tentu berarti seseorang menyambut dengan senang hati. Itu bisa berupa ekspresi untuk menyambut seseorang di awal pertemuan dalam konteks lingkup sosial. 

“Kapan-kapan kita main lagi ya.” Merupakan ungkapan kepuasan bahwa waktu yang dihabiskan bersama sudah terpenuhi secara baik antara orang-orang yang terlibat, walaupun kita tidak tahu “kapan-kapan” itu akan datang atau tidak. Dalam struktur yang sepadan, cara ini juga bisa membantu saya untuk menafsirkan bahwa “program makan siang gratis” berupa ungkapan atas kemampuan prematur pemerintah untuk memilah urgensi masalah dan memberi instruksi tepat guna di lingkup kenegaraan yang isinya manusia hidup.

Berbahasa membantu saya melatih kelenturan dalam menafsirkan sesuatu dalam konteks yang berbeda-beda menjadi lebih fleksibel tergantung waktu, tempat, dan orang-orang yang terlibat. Dalam satu kasus, pada titik hidup pribadi saya, saya pernah kelewat gedeg (i.e: rasa jengkel, kesal, dongkol) dengan perilaku proyeksi diri.

Tentang proyeksi diri 

Kalau melihatnya dari perspektif psikologi, proyeksi mengacu pada tindakan secara tidak sadar mengambil emosi atau sifat yang tidak disukai dari diri dan mengaitkannya dengan orang lain. Pada saat itu, menurut saya, proyeksi merupakan sikap yang tidak reliable, memunculkan bias dan kesalahpahaman tafsir.

Saya pun sampai mencari tau “Kenapa seseorang bisa berperilaku seperti itu? Apa yang mereka cari dari anomali itu?”

Saya terdorong mencari cara menafsirkan perilaku yang diungkapkan dalam “bahasa” proyeksi dan mencoba untuk menerimanya. Dorongan penerimaan ini pun banyak dipengaruhi oleh keinginan diri untuk bisa hidup dengan damai berdampingan dengan manusia lain di kehidupan sosial-politik dengan spektrum yang sangat beragam. 

Selama belajar Bahasa Inggris, pendekatan keberbahasaan berhasil membuat saya melihat fenomena tersebut sebagai ungkapan ekspresi diri, alih-alih sesuatu yang janggal dan mengganggu. Perilaku proyeksi diri yang dibahasakan dengan “Lihat tuh anak tetangga udah jadi orang” saya tafsirkan sebagai ungkapan cara melindungi diri atas keterbatasan kapasitas diri dalam mengolah dan menyampaikan masalah dan kebutuhannya. 

“Kamu mah mending, kalau aku (…),” menjadi ungkapan adanya keinginan untuk meminta perhatian dan validasi dalam bentuk dialog 2 arah. Kalau “Kadang orang-orang yang terlalu pintar malah nggak jadi apa-apa”, merupakan ungkapan ekspresi diri Prabowo bahwa orang yang tidak terlalu pintar bisa jadi apa-apa. Jadi presiden, misalnya. Untuk pertama kalinya, saya nggak pernah se-relate ini dengan beliau.

Memanusiakan diri sendiri

Belajar Bahasa Inggris tidak memberi saya jaminan untuk mendapat skor IELTS yang memuaskan, namun dengan memberi power ke diri sendiri untuk mengolah dan menginterpretasikan suatu hal sepertinya sudah lebih cukup. Di situasi lain, bahasa juga memiliki power untuk mengubah narasi sejarah. 

Orang-orang yang memiliki power untuk mengubah narasi sejarah dengan membahasakan ulang pelanggaran HAM dengan tone positif bisa saja menyampaikan pelanggaran HAM dengan kesan heroik bak pahlawan nasional. Namun, koreksi-koreksi untuk mencapai kesempurnaan yang ideal itu tidak akan menahan orang-orang yang mencoba untuk memanusiakan dirinya sendiri.

Penulis: Rean Aqila 

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Belajar Bahasa Inggris Jangan Dibuat Runyam dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version