Sejak naskah saya terbit di mojok, iya, naskah yang ada cempreng-cempreng asunya itu, saya bingung harus nulis tentang apalagi supaya aura asu saya hilang.
Sekarang, orang kalau nyapa saya jadi, “Eh, mbak Novi yang jadi selingkuhan sebaik-baiknya itu, ya?”
“Hahaha naskahmu ngguatheli, dek! Aku yo tau ngono!”
“Aku kok pingin kenalan sama asumu ya, Nov.”
Jingan kabeh !
Oke. Sebagai pengantar naskah, saya mau cerita sedikit tentang Bapak saya. Menurut KTP, agama Bapak saya adalah Kristen. Bahkan nama Bapak saya adalah Christian. Nama yang cukup mbois dan setil. Setidaknya tidak akan terdengar hina pas dulu masih SD waktu teman-teman ngenyeknya pakai nama bapak.
Tapi sejak saya lahir sampai saat ini, sekalipun saya tidak pernah menyaksikan sendiri Bapak saya ke gereja hari minggu, kebaktian paguyuban, apalagi doa mau makan dan doa bangun tidur.
Awalnya saya menganggap bapak saya bukan kepala rumah tangga dan ayah yang baik, hanya karena beliau sama sekali tidak melakukan aktivitas keagamaan. Namun, Bapak saya masih rutin memberikan uang belanja ke ibu saya. Tidak pernah telat kirim uang buat anak-anak perempuannya yang indekos. Tidak pernah lupa bayar listrik, pajak sepeda motor dan kontrakan rumah. Baik sama mertuanya. Bapak juga tidak pernah jadi selingkuhan yang sebaik-baiknya seperti anaknya ini. Tidak pernah menyuruh saya mencari teori yang tidak pernah ada di dunia ini untuk ditulis pada bab 2 skripsi saya, tidak pernah ngoplos LPG, juga tidak pernah sekalipun memutilasi wanita hamil.
Over all. Bapak saya adalah pria terbaik yang pernah saya temui dan saya miliki.
Pertanyaannya adalah, mengapa Bapak saya bisa berbuat baik tapi tidak mau menjalankan aktivitas keagamaannya? Bahkan apabila saya masih rajin ikut Komisi Perkumpulan Pemuda dan Mahasiswa (KPPM) dan jadi panitia acara natal atau paskah, bapak saya selalu bilang, “Melu ngono kui ki ora penting.”
Saya mbatin, bapakku ki pancene edan!
Mengapa saya begitu khawatir akan Bapak saya? Karena dalam alkitab tertulis, ”Ingat dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan… (Keluaran 20:8-10)
Intinya adalah manusia diijinkan bekerja, namun juga tidak boleh melupakan tuhannya.
Orang lain yang melihat Bapak saya pasti akan berpikir, “Kresten kok ratau nyang grejo ratau kebaktian ratau perpuluhan? Kristen KTP! Percuma keluargamu dan finansialmu aman kalau kamu lali karo Tuhan.”
Apakah ini juga termasuk rencana Tuhan? Tapi bukankah rencana Tuhan selalu baik? Di naskah ini Saya dan kalian harus sepakat memakai satu paham tentang “Apakah rencana Tuhan selalu baik? Seburuk apapun dampaknya buat kita?”
Jawabnya iya. Mengapa? Karena setelah cemas mencari teori apa yang cocok untuk menjawab pertanyaan saya, ada secercah sinar ketika saya stalking sebuah akun Facebook, nama pemiliknya adalah Tere Liye. Mengapa harus Tere Liye? Karena jumlah pengikut dan penyuka status beliau sudah bisa buat beli hunian yang dipromosikan mbak Feni Rose kalau itu berupa uang. Jumlah penyuka akun Redaktur bahkan kepala suku Mojok pun belum bisa menandingi jumlah Tere Liye Holic Indonesia. Nah kalau penyukanya saja sudah satu juta lebih, maka sudah bisa dipastikan bahwa beliau pastilah sosok yang bersahaja, kata-katanya menyejukkan bijaksana dan setara dewi kwan in.
Kalimatnya begini, “Tidak ada yang kebetulan di muka bumi. Semua adalah skenario Tuhan, pemilik rencana paling sempurna. Dengan meyakini semua adalah skenario Tuhan, kita bisa menerima kejadian apapun dengan lapang dada sambil terus memperbaiki diri, agar tiba skenario yang lebih baik lagi.”
“Menerima kejadian apapun dengan lapang dada” pada kalimat ketiga dari tulisan beliau memiliki makna implisit bahwa rencana burukpun adalah pemberian Tuhan. Kok bisa? Kejadian apa lagi yang harus diterima dengan lapang dada kalau bukan hal buruk? Iya to?
Jadi, hal buruk (seperti diselingkuhi, disuruh ganti metode penelitian padahal bab 5 sudah rampung, terjangkit gonorea padahal baru sekali ke dolly, LDR-beda agama-dan tidak direstui, Boy dan Reva yang selalu dipisahkan Adriana, gagal mencapai puncak Midoriyama dan hal-hal menyakitkan serupa) yang apabila menimpa kita, kita tetap kudu yakin dan ikhlas menjalani. Mengapa harus ikhlas? Ya karena itu skenario Tuhan. Ia adalah pemilik rencana paling sempurna kata om Tere Liye.
Baiklah. Sampai pada kalimat ini, kita semua telah sepakat bahwa Tuhan pun bisa saja dan tega saja mengijinkan hal buruk terjadi dalam hidup kita.
Saya rasa semua juga sepakat bahwa Tuhan maha tahu. Kalian nyabun ke bawah tanah pun Tuhan tahu. Iyo po iyo? Tidak ada yang bisa sembunyi dari mataNya dan mendustaiNya. Pokoknya Tuhan itu Maha Tahu, Maha Melihat.
Akhirnya terjawab sudah pertanyaan saya tadi. Mengapa bapak saya bisa dan mau berbuat baik tapi tidak mau menjalankan aktivitas keagamaan? Berarti ya memang sama Tuhan sudah direncanakan seperti itu. Kalaupun nanti Bapak saya harus diadili dan tidak dapat tiket masuk surga seperti tetangga-tetangga saya yang rajin ke gereja, saya harus tetap ikhlas dan bersyukur.
Mengapa Agus Mulyadi tidak bisa membuat mbak-mbak di depannya noleh ke wajahnya saat di atas perahu? Mengapa sandal kita di ghosob seperti kata Khadafi Ahmad? Atau bisa juga jodoh kita dighosob sama sahabat sendiri? Mengapa ada media nyinyir dan kakean cangkem seperti Mojok ini pembacanya malah kian bertambah? Mengapa Ahmad Dhani menggunakan kata “busur panah” bukan “anak panah”? Dan mengapa pula kalian masih saja selo membaca tulisan yang tidak elegan dan pating pecothot ini?
Jawabannya jelas, karena itu semua memang sudah rencana Tuhan. Pemilik skenario paling sempurna.