MOJOK.CO – Bank digital sempat menjadi primadona. Namun, saat ini, ia mulai ditinggalkan karena tidak ramah saldo kecil dan isu keamanan dana.
Layanan perbankan yang hampir seluruh aktivitasnya dilakukan secara digital sempat jadi primadona. Bayangkan berapa lama populernya Jenius, produk BTPN itu. Hal ini menginspirasi pengusaha lain, termasuk yang sudah punya bank sebelumnya, mendirikan bank digital. Bank BCA memiliki anak usaha BCA Digital (Blu), CT Corp sebagai pemilik Bank Mega melahirkan Allobank, Jerry Ng selaku investor BTPN kemudian melahirkan Bank Jago bersama Goto, dan masih ada lagi tentunya.
Harga saham bank digital pun sempat melejit sampai taraf yang benar-benar tidak masuk akal, tetapi kini perlahan menurun mendekati kewarasan. Demikian pula dengan nasabah baru yang datang, juga ikut berkurang. Berikut beberapa alasannya, di luar alasan yang sudah pernah disinggung oleh Mas Hilman Azis di Terminal Mojok.
#1 Tidak bisa memakai bank digital untuk gajian
Beberapa perusahaan membatasi rekening di bank mana saja yang bisa dijadikan tujuan payroll. Jika tidak ingin ribet mengelola lebih dari satu rekening, tentu kita harus membuka rekening di bank-bank tersebut. Bisa ditebak, mereka pasti menggunakan rekening bank-bank konvensional terkemuka.
Sekalipun perusahaan memiliki rekening di bank konvensional, bukan berarti anak usahanya yang berupa bank digital bisa menjadi tujuan payroll. Hal ini terjadi ketika kedua bank berbeda entitas. Sederhananya, kalau transfer bank berbeda kode banknya. Misalnya, BCA dengan BCA Digital (blu).
Baca halaman selanjutnya: Bank digital kurang ramah untuk saldo recehan.
#2 Fasilitas kurang ramah untuk saldo rendah
Awalnya, banyak orang mengenal dan menyukai bank digital karena memiliki berbagai fasilitas. Mulai dari bebas biaya administrasi, bebas saldo minimum, bebas biaya penutupan, bebas biaya transfer ke bank lain, dan bebas biaya tarik tunai di berbagai ATM.
Sayangnya, kini, beberapa bank digital mempersyaratkan saldo tertentu untuk bisa memiliki fasilitas ini atau kita harus membayar sama seperti di bank pada umumnya. Misalnya, Digibank membuat syarat saldo minimum Rp5 juta untuk menghindari biaya administrasi Rp10 ribu per bulan. Ini lebih mahal dari biaya administrasi BCA Xpresi di Rp7.500 per bulan. Saldo Rp5 juta ini cukup besar untuk kita yang uang di rekening hanya lalu-lalang, alias gaji bulanan pas-pasan untuk hidup.
#3 Untuk orang tertentu, menggunakan bank digital malah lebih mahal
Setelah Jenius mengenakan biaya administrasi bulanan Rp10 ribu per bulan, teman kerja saya masih mau menggunakan karena ada fitur kartu debit virtual berjaringan internasional. Kartu kredit ini bisa digunakannya untuk berbelanja online di merchant luar negeri.
Hal ini terus bertahan sampai BCA beralih dari kartu debit Paspor BCA lama yang ikonik dan tidak bercip itu ke kartu bercip, di mana nasabah punya pilihan untuk memilih jaringan GPN atau Mastercard sekalipun ada di jenis tabungan Xpresi. Sekarang, bagaimana perbandingannya jika dilakukan antara BCA Xpresi dengan Blu?
Bagi mereka yang aktif menggunakan kartu Flazz dan senang mengisinya sedikit-sedikit, atau mayoritas transaksinya adalah transaksi tunai dan juga senang menarik uang sedikit-sedikit, masih lebih menguntungkan untuk menggunakan BCA Xpresi. Tarik dan setor tunai di ATM BCA kena biaya jika melebihi limit bulanan, top up Flazz kena biaya. Pengguna Blu juga dikenakan biaya lebih mahal jika ingin melakukan top up saldo OVO atau GoPay miliknya.
Bagaimana dengan bank digital lainnya? Mereka masih memiliki jaringan ATM karena aslinya dikonversi dari bank konvensional tetapi terbatas. Bertransaksi dengan mesin ATM lain bisa membuat nasabah terkena biaya. Maklum, konversi menjadi bank digital dilakukan sebagai usaha agar mereka lebih laku di pasar.
#4 Aplikasi digital bank konvensional sudah canggih
Kita bukan berada di era ketika KlikBCA sebagai layanan internet banking BCA harus menggunakan metode LLG atau RTGS untuk transfer dana ke bank lain. Sekarang adalah era di mana aplikasi mobile banking bank konvensional sudah bisa digunakan untuk membentuk rekening tabungan berjangka, deposito, sampai berinvestasi reksadana dan obligasi. Batas penggunaan rekening juga bisa diatur. Keunggulan aplikasi bank digital sudah tidak terasa lagi.
#5 Kekhawatiran atas terjaminnya dana
Kita tahu bahwa alasan menabung di bank adalah keamanan dananya sekalipun bank itu bangkrut, tetapi jika dijamin oleh LPS dan itu berarti bunganya harus wajar. Demi menarik minat nasabah, bank digital ini haruslah menawarkan suku bunga yang lebih menarik dari bank konvensional sampai-sampai bank tertentu berani menawarkan suku bunga yang berada di atas batas penjaminan LPS dan itu berarti tidak dijamin. Belum lagi, bank digital tertentu memberikan promosi tambahan seperti misalnya tiket konser gratis sampai member get member. Nah, masalah berlanjut ketika bank-bank ini harus memutar dana nasabah demi bisa meraih keuntungan.
Bertarung di segmen KPR, kredit kendaraan bermotor, dan kredit usaha akan kalah saing dengan bank konvensional ternama. Sudah bunganya lebih murah karena memang modalnya lebih murah, mereka juga lebih dikenal masyarakat karena lebih dulu ada di pasar.
Jadilah bank digital ini putar otak dengan lebih banyak mengandalkan bisnis kartu kredit, kredit tanpa agunan, sampai PayLater dengan risiko bisnis lebih besar. Ditambah lagi ini masih tergolong baru sehingga aplikasinya lebih sering bermasalah dan saldo nasabah raib tanpa kejelasan sampai harus komplain ke pihak bank. Tentu lebih aman dan tenang menaruh uang di bank konvensional yang produknya terjamin LPS dan operasionalnya stabil.
Lha, kita tahu sendiri bank konvensional berskala besar seperti BCA, Bank Mandiri, dan BSI saja tidak luput dari masalah teknologi yang berdurasi cukup panjang, tetapi bisa diselesaikan dengan baik pada akhirnya tanpa kerugian nasabah. Penerima pinjamannya jelas dan sebagian besar beragunan. Tabungan dan depositonya dijamin LPS dengan bunga yang wajar.
Alasan hype-nya semakin berkurang
Kondisi terbalik terjadi pada beberapa bank digital sampai saat tulisan ini dibuat. Misalnya, deposito SeaBank, deposito Bank Raya (BRI Digital) yaitu Saku Jaga Optimal untuk tenor minimal enam bulan, deposito Blu bertenor satu bulan untuk nilai minimal Rp500 juta, juga Kantong Terkunci dan deposito dari Bank Jago. Jika mereka berani menawarkan suku bunga deposito di kisaran 5% sampai 6% per tahun, berapa suku bunga pinjaman yang harus diberikan? Sebagai informasi, KPR BCA berani menawarkan suku bunga di bawah 7% per tahun dan tetap sepanjang periode pinjaman untuk tenor hingga delapan tahun.
Itulah alasan mengapa hype bank digital di Tanah Air berkurang. Semoga sih, bank konvensional lain tidak latah mencoba membentuk bank digital baru sebagai anaknya dan kalian yang tidak butuh-butuh amat ya tidak perlu ikut-ikutan. Kita tentu lebih berharap jika bank konvensional yang sudah ada menghemat beban dan juga menurunkan biaya layanan. Belum lagi, mereka bisa membuat sistem layanannya menjadi ala carte.
Misalnya, tidak perlu bayar biaya kartu ATM jika tidak butuh, tidak perlu biaya buku tabungan jika tidak butuh, bisa lebih murah, kan? Deposito online diberikan bunga lebih tinggi karena tidak butuh dokumen bilyet dan penarikannya juga tidak butuh bantuan fisik karyawan bank.
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 4 Alasan Orang Malas Menggunakan Bank Digital dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.