Bagi Saya, NU Tak Selucu Itu

(Untuk Iqbal Aji Daryono)

Antara 2009-2012 saya tinggal serumah dengan dua orang NU yang blas tak ada lucu-lucunya. Jangankan lucu, omong saja jarang.

NU kamar belakang adalah seorang penerjemah dan editor buku-buku filsafat, kadang juga buku motivasi (yang dibencinya itu); penyendiri, nyinyir kalau sudah ngomong, dan mengabdikan kupingnya sepenuh hati kepada suara Dido dan Coldplay seperti orang NU kebanyakan mengabdikan kupingnya kepada Habib Syech.

Di kampung halamannya, di ujung timur Pulau Jawa, desas-desusnya ia adalah seorang gus dari sebuah pondok pesantren besar. Saya belum pernah mampir ke rumahnya, jadi itu masih katanya. Tapi, yang bisa saya pastikan, kalau disuruh mimpin doa ia gemetaran. Jangan dibayangkan kalau ia disuruh kasih pengajian.

NU kamar tengah tak kalah suramnya. Tak banyak cakap, dan kalau bercakap suaranya pelan, karena kalau disuruh kencang ia pasti terdengar seperti sedang ngajak cekcok. Ia editor buku sejarah dan akidah akhlak yang dipecat, sempat jadi tukang sablon, belakangan jadi pengusaha cetak yang sukses, dan tetap saja tidak banyak cakap. Dan, nyaris tak pernah terdengar musik dari kamarnya.

Nahdliyin yang ini dari daerah Bagelen, senang bola, jadi dia cocok sama saya. Masalahnya, menonton sepakbola bersamanya kadang terlalu tenang. Jangankan lempar-lempar, melontar pisuhan pun enggan.

Maka, selain suara qiraah Serj Tankian dari kamar saya yang ada di depan, kadang juga Rhoma Irama dan Nasidaria, atau suara ngaji saya sendiri, rumah empat kamar yang nyaris tanpa jendela itu biasa sepi. Sedikit agak ramai kalau sesudah bangun kesiangan, kami ngobrol di beranda, dengan cangkir kopi masing-masing, dan mengejek-ngejek diri sendiri yang tak bekerja tetap, tapi terutama mengejek mereka yang bekerja tetap. Untung, kadang-kadang ejek-mengejek diri sendiri dan terutama orang lain itu bisa sampai sore, atau bahkan sampai malam. Jadi, ramainya bisa lebih lama.

Akan sedikit lebih ramai lagi kalau seorang tetangga, kali ini Muhammadiyah, ikut gabung, membawa cangkir kopinya sendiri dari rumah. Tak seperti kami yang senang kopi hitam, dan jauh dari kesan tentang dirinya yang sekarang ini ia ditonjol-tonjolkan di publik, si Muhammadiyah ini sukanya Coffemix.

Ia ini editor yang banting setir jadi penerbit, dan belakangan merasa bisa menulis, meskipun sebenarnya ia menyetir. Kata orang ia lucu. Ya, lucu sih, tapi tidak lucu-lucu amat juga—setidaknya tidak selucu yang belakangan dianggap orang.

Ia dulu tidak menulis. “Aku menerbitkan!” itu tegasnya waktu itu, dengan angkuhnya. Jadi, jelas, ia tidak melucu dengan mengejek tokoh-tokoh lewat tulisan macam sekarang. Satu-satunya tulisannya waktu itu, yang bisa saya ingat, sebuah bantahan terhadap tulisan saya tentang selera filmnya, sama sekali tidak lucu. Mana bisa lucu, wong dia sedang marah.

Dengan mulutnya yang macam beo, ia dulu biasa mengejek diri sendiri, tapi terutama mengejek teman-temannya. Dan untuk yang disebut belakangan inilah ia mendapat reputasinya. Ia suka menirukan ekspresi wajah, tingkah, dan intonasi bicara teman-temannya, mengulang-ulang kalimat konyol yang pernah didengarnya dari mereka.

“Hello, ada yang luccu?” misalnya begitu, sembari memonyongkan bibir dan menjentikkan jari, menirukan temannya yang mahasiswi HI.

Atau, “Wis dikek-i mangan, iseh protes… ae!” kali ini ia mengubah nada bicaranya jadi Jawa Timuran, dengan wajah yang diserupakan seorang mahasiwa Filsafat lugu yang sering diusilinya. Tidak lucu, kan? Sudah saya bilang.

Tapi ia memang benar-benar lucu kalau sedang menirukan suara, mimik, dan gerak tubuh seorang teman NU kami yang lain, yang karakter dan bawaannya jauh dari lucu—jauh lebih tidak lucu dibanding duo NU di rumah saya.

Rumah itu akan benar-benar sepi, sangat sepi, atau bahkan kalau perlu pura-pura sepi, apabila teman yang NU (yang sering ditirukan suaranya sama si Muhammadiyah) itu datang berkunjung. Sebab yang ini memang benar-benar tidak lucu.

Belakangan, ada satu lagi orang NU yang gabung dengan kami. Ia juga tidak lucu, meski kalau tertawa keras sekali, dan itu bikin rumah kami ramai. Ah, baiklah… ia kadang-kadang juga lucu, terutama kalau cerita yang saru-saru. Tapi memang bukan kelucuannya yang membuat saya mengingat ke-NU-annya. (Tapi ini mohon dirahasiakan, jangan sampai ia dengar.) Saat kami masih mahasiswa, ia meminjam sarung sama saya. Sampai sekarang, sarung itu tidak dikembalikannya.

Exit mobile version