RM Tirto Adhi Soerjo, yang dijuluki Bapak Pers Indonesia, pada tahun 1909 menuliskan ketidakadilan yang dialami orang kecil karena pabrik gula yang banyak didirikan saat itu. Sawah-sawah milik petani kecil disewa dengan harga murah. Padahal keuntungan yang didapat pabrik tersebut sangat tinggi. Tulisan ini dimuat di Medan Prijaji, media yang didirikan Tirto Adhi Soerjo. Selamat membaca.
Pabrik, Polisi, dan Orang Kecil
Oleh: RM Tirto Adhi Soerjo
MOJOK.CO – Bermula sebelum hamba merencanakan karangan hamba yang terbentang di sini seyogyanya lebih dulu hamba mohon diperbanyak-banyak maaf kepada sekalian tuan-tuan pembaca.
Maka ketika hamba masih kecil, yaitu kira-kira umur 6 tahun, sudahlah mendengar perkataan pabrik. Meskipun perkataan itu bukannya bahasa Bumiputera akan tetapi telah lazim dipakai kepada orang Jawa dan semua telah mengerti akan maksudnya perkataan itu.
Dalam tanah kita ini adalah berapakah banyaknya pabrik-pabrik. Hamba pun tiada tahu benar tetapi pada kira-kira pabrik yang besar-besar lebih dari 100 buah. Adapun pabrik begitu banyak itu berjenis-jenis macamanya (pabrik minyak, gula, kopi, nila, d.l.l). Di antara pabrik-pabrik itu, gulalah yang terbanyak istimewa pula tiap-tiap tahun senantiasa bertambah-tambah banyaknya, karena banyak perkumpulan tahun-tahun yang mengajukan surat request akan mendirikan pabrik-pabrik itu, dan kebanyakan terkabullah.
Maka dalam salahsatu suratkabar mengatakan bahwa dalam tahun 1909 ini adalah perkumpulan tahun-tahun yang mengajukan surat request (permohonan) hendak mendirikan 5 buah pabrik dalam Residensi Maduan. Ya! Barangkali diizinkan juga.
Syahdan, maka pembesar pabrik itu seorang kulit putih berpangkat administratur biasanya orang kebanyakan yang berdekatan pada pabrik menyebut, kanjeng tuan besar. Belanja administratur pabrik gula itu rata-rata dalam 1 bulan f 700 kecuali persen yang diterima tiap-tiap tahun.
Tambah lebar tanaman tebunya, bertambah pula banyaknya uang persen, sampai ada yang mendapat persen f 50.000 dalam setahun, bukan main! Maka punggawa Belanda lainnya itu banyak lagi, dan semuanya kecuali mendapat belanja tiap-tiap bulan, masih juga mendapat persen besar-besar pada tiap-tiap tahun.
Biasanya persen itu diberikan pada masa habis menggiling tebu, apabila sudah terhitung pendapatannya menjual gula. Menilik banyaknya persen itu, barang tentu keuntungan pabrik-pabrik gula itu besar amat.
Maka lakunya dunia, jika ada yang beruntung besar niscaya ada yang kerugian besar.
Sekarang siapakah yang rugi itu? Ialah sekalian orang kecil-kecil yang sawahnya disewa pabrik karena pabrik-pabrik gula itu, biasanya menyewa sawahnya orang-orang kecil sampai sejumlah 900 bahu, 1000 bahu ataupun lebih lagi. Dan tidak mau menyewa sawah yang kering, dipilihnya sawah yang baik-baik saja (loh?). Lain dengan pabrik minyak, kopi, nila, dan tembakau.
Ya, itu bukannya pabrik yang salah, orang yang menyewakan yang salah sendiri, karena pabrik tidak akan memaksa orang kecil, dipilih yang mau saja. Itu betul akan tetapi, maklumlah tuan-tuan apalagi perkara yang gampang itu, meskipun nyawanya jika boleh atau biasa disewakan, mereka itu dengan senang akan menyewakan juga.
Sebab bangsa kita Jawa ini, tambahan pula orang-orang kecil banyaklah yang melarat dan masih ada di dalam kebodohan, jadi tidak mengerti atau memikir dengan panjang lebar jika musimnya ada keramaian dan hari raya bagaimana geraknya orang mencari uang perlu akan dibuat makan dan sekenangan sedikit, tambahan lagi pajak bumi belum lunas, pajak patak (boofdgeld) belum dibayar semua, ini pula pajak krikil belum voldaan (terpenuhi), anaknya menangis minta itu itu, hendak pinjam tiada dipercaya sebab tidak ada hasil yang tentu. Hendak pun menggadaikan, tiada punya barang yang berharga. Sekarang mau lari di mana?
Bekerja kuli 1 hari hanya terima upah f 0,25 saja. Ah, sawahnya masih utuh, baik datang di pabrik saja, ketemu sama yang biasa menyewa, itu lebih gampang. Kejadian sawah disewa dengan murah-murah saja. Habis terima uang dalam 1, 2, atau 3 hari uangnya sudah terpegang di tangannya orang lain buat mencukupi kebutuhannya.
Sekarang dalam 18 atau 20 bulan dia tidak ada sawah lagi, tidak bisa panen padi, ubi, tinggal badan saja dan anak bini. Pajak terus ditarik negeri. Kalau si buruh datang menempuh yang amat sangat mau apa dia, ah seyogyanya bekerja malam hari. Tanpa pakai kapital lagi sekadar senjata saja dan asal berani. Na, sekarang susahnya dipilih oleh polisi. Dan bagaimana kabarnya pabrik, turutlah dia rugi? Dan Susahkah dia? Tidak peduli, asal saja kasnya penuh uang beberapa ribu.
Ya, memang sudah untungnya bangsa kita Jawa, tidak mendapat harga seperti bangsa kulit putih. Seakan-akan dianggap seperti orang perempuan, lebih rendah binatang tambah hina lagi barang dibegini-digitukan menantiasa menurut saja.
Habis sekarang bagaimna akalnya pembesar ngeri, supaya jangan terlalu sangat jatuh sengsara buat orang kecil, dan mengadakan banyak rusuh, ya, tidak lain, melainkan jangan terlalu banyak pabrik gula didirikan.
Jikalau menyewa sawah ditentukan dengan harga yang baik yakni 1 bahu f 100, dalam 18 bulan atau satu tahun. Sawah yang disewa pabrik jangan lebih dari 1/2 baku desa sebab biasanya sampai habis sama sekali, jadi desa tidak punya lagi. Kuli-kuli di pabrik ditambah lagi belanjanya, kira-kira bisa cukup dimakan anak bininya. Seringkali hamba membaca suratkabar kalau kuli-kuli di pabrik di Residensi Surakarta sampai 150 orang atau lebih beramai-ramai unjuk klacht (keluhan) sebab kurang bayaran. Meskipun demikian banyak juga yang tidak diindahkan.
Kelakuan orang-orang yang dekat atau yang menyewakan sawahnya pada pabrik itu tiada semua bekerja pekerjaan pabrik, karena telah cukup banyaknya orang yang bekerja itu, jadi dalam mereka itu tidak punya pekerjaan tentu menurut nafsunya bagaimana suka.
Penggilingan tebu itu dijatuhkan pada musim kemarau biasanya. Maka pada masa itu juga mulai menanam tebu di sawah lain. Karena bibit tebu seolah-olah seteru dengan air besar akan tetapi juga meski ada air akan menyiram dia, sebab itu maka jika kebun tebu kekurangan air buat menyiram tebunya. Siapakah yang berlari-lari sekarang? Ialah mantri irigasi, karena dialah yang berwajib membagi air. Terus menerus menjadi penjagaan tanaman tebu sampai besar musim menebang.
Banyaknya orang yang dihadapkan pada polisi karena melanggar tanaman tebu itu kemudian datang musimnya menebang itu menjadi penjagaan besar bagi polisi. Tiap-tiap hari polisi seakan-akan berdiri di atas duri supaya tebu-tebu yang di dalam tanah bawahnya lekas habis ditebang, supaya bisa tidur nyenyak dan makan enak. Karena tanaman tebu pabrik itu kepunyaan yang dipertuan, tidak boleh dikerjakan dengan mudah. Nanti jika dibikin mudah biasanya ada besluit (surat keputusan) pindah atau turun.
*)Esai ini diambil dari buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo terbitan I:BOEKOE yang dinukil dari Medan Prijaji Tahun III, 1909 halaman 607-609 dengan judul asli ‘Pabrik, Polisi, dan Orang Kecil’.
Penulis: RM Tirto Adhi Soerjo
Editor: Agung Purwandono