KH Saifuddin Zuhri: Penyebaran Agama adalah Tugas Nasional

Tapi bukan dengan jalan kekerasan serta paksaan.

K.H. Saifuddin Zuhri, Penyebaran Agama adalah Tugas Nasional

MOJOK.CO – Kiai Haji Saifuddin Zuhri yang menjabat Menteri Agama ke-10 RI dari tahun 1962-1967 menuliskan esai tentang penyebaran agama yang merupakan bagian dari tugas nasional. Mengembangkan agama tidak cukup dilakukan oleh pemerintah saja, tapi juga masyarakat.  Dengan catatan  diselenggarakan untuk kesejahteraan rakyat lahir batin dan dilakukan dengan penuh ketertiban dan bukan dengan jalan kekerasan serta paksaan.

Tulisan K.H. Saifuddin Zuhri yang juga ayah dari Menteri Agama ke-22  Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin dimuat di Api Islam, Juli 1965, No. 2 Th. I, hlm. 7, 22—23.

Penyebaran Agama adalah Tugas Nasional 

Oleh K.H. Saifuddin Zuhri

 

Apa sebab usaha ini masuk tugas nasional?

Sebabnya ialah: Cukup jelas diketahui umum pendirian pemerintah bahwa agama merupakan unsur mutlak dalam usaha nation building, nation building yang meliputi segala bidang, bidang politik, ekonomi, bidang kejasmanian, bidang kemasyarakatan, bidang hubungan-hubungan internasional, dan lain-lain sebagainya. 

Pendirian pemerintah ini bukanlah sekadar satu sikap yang pasif, tetapi tegas dengan sikap yang aktif, hal mana dapat kita simpulkan dari Amanat Kepala Negara ketika melantik menteri agama pada tanggal 25 Ramadhan 1381 = 2 Maret 1962 yang antara lain ditandaskan: “Barangkali tidak banyak orang di antara tokoh-tokoh itu yang mengerti sedalam-dalamnya sebagai saudara Saifuddin Zuhri, betapa dalamnya di dalam lubuk hati Pemerintah Republik Indonesia keinginan dan usaha untuk mengembangkan kehidupan agama di dalam kalangan Rakyat Indonesia”.

Supaya sekali lagi dicamkan kalimat-kalimat di atas terutama perkataan-perkataan mana tak bisa lain kecuali harus diartikan sebagai sikap yang aktif dari pada pemerintah di dalam usaha memperkembangkan kehidupan agama di kalangan rakyat.

Tentu saja pemerintah menyadari, bahwa usaha tersebut tak mungkin hanya diselenggarakan oleh pemerintah sendiri tanpa kegotong-royongan bersama-sama dengan kalangan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip pengerahan semua modal dan kekuatan (funds and forces) di dalam negeri. Oleh sebab itu, tiap langkah dan usaha yang ditujukan ke arah memperkembang kehidupan agama di kalangan rakyat, baik datangnya dari pihak pemerintah maupun masyarakat, langkah dan usaha demikian harus dipandang sebagai tugas nasional yang wajib dibantu, sedang penggerak-penggeraknya serta pelopor-pelopornya mesti dipandang sebagai pahlawan nasional juga.

Baca Juga: Al-Quran Tulisan Tangan Berusia 200 Tahun, Saksi Penyebaran Agama Islam di Gunungkidul

Walaupun kita harus bersyukur bahwa Umat Beragama di zaman kemerdekaan ini kian mencapai prestasi-prestasi besar yang patut dibanggakan dan bahkan ada tanda-tanda bahwa kemajuan-kemajuan yang lebih besar akan dapat dicapai, namun kita tidak boleh tinggal diam menghadapi zaman perlombaan di kalangan pemeluk-pemeluk agama yang kini sudah memasuki tingkat kompetisi merebut pengaruh massa, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, yang memang dibolehkan menurut hukum di dalam negara, asal diselenggarakan untuk kesejahteraan rakyat lahir batin dan dilakukan dengan penuh ketertiban dan bukan dengan jalan kekerasan serta paksaan.

Dewasa ini memang tidak lagi kedengaran suara-suara yang tegas-tegas menentang asas negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, juga tak kedengaran suara-suara tegas menentang agama. Itu semua karena pemerintah dan negara tegas-tegas menjadikan agama unsur mutlak dalam nation building dan negara tegas-tegas berdiri di atas asas Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan saja, bahkan Undang-Undang Dasarnya dijiwai dan merupakan kesatuan dengan Piagam Jakarta yang mewajibkan kepada para pemeluk Islam menjadikan syariat agamanya. 

Suara tegas atau yang bernada menentang asas Ketuhanan Yang Maha Esa dan agama memang tidak lagi kedengaran, karena suara demikian samalah artinya dengan penentangan terhadap Manipol yang telah menjaga haluan negara, dan siapa menentang Manipol samalah artinya dengan menggali kuburan sendiri. 

Walaupun demikian, manjadilah kewajiban kita bersama untuk turut berusaha agar sikap demikian itu bukanlah satu sikap pura-pura atau sekadar suatu taktik dan alat berpolitik, karena sikap semacam ini samalah artinya dengan “mempolitik” asas negara pendirian negara dan haluan negara yaitu Manipol.

Menjadi kewajiban kita bersama untuk menjadikan orang-orang yang menerima dan menjunjung tinggi serta mengamalkan agama itu dilakukan secara kesadaran, keinsyafan dan ketaatan, sekurang-kurangnya ketaatan kepasa asas dan haluan negara.

Ummat Islam termasuk golongan yang amat berbahagia karena mempunyai ajaran agama yang dinamis, yang memerintahkan kepada pemeluknya agar secara aktif melakukan dakwah, yaitu ajakan secara aktif untuk meratakan dan memperkembang agamanya. Salah satu contoh misalnya sebagai yang tercermin pada fungsi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pengajian agung umat manusia untuk berbakti di jalan Allah, satu fungsi yang merupakan penyuluh yang menerangi umat manusia. Perhatikan firman Allah dan Al-Qur’an surat Al-Ahzab 45-46.

Artinya: “Hai Nabi Muhammad! Kami mengutus engkau untuk menjadi saksi bagi sekalian umat, untuk menjadi juru pemberi kabar gembira dan untuk menjadi juru pemberi peringatan. Kecuali itu, juga untuk melakukan tugas ajakan kepada segenap umat manusia supaya dengan izin Allah yang benar, dengan demikian engkau merupakan obor penyuluh yang menjadi penerang yang bercahaya”.

KH Saifuddin Zuhri
K.H. Saifuddin Zuhri bersama Bung Karno. (Dok. Api Islam, Juli 1965/Warung Arsip)

Dari segi bahasa, perkataan daa-ijan = dari perkataan dakwah yang berarti ajakan, cukup jelas di dalamnya mengandung unsur sifat dan sikap yang aktif positif, dan oleh sebab itu pula ia mengandung sifat dinamis. Dinamikanya mengandung daya cipta, kreasi, inisiatif, fantasi, simpati, kongkrit dan terus-menerus tanpa mengenal waktu, ruang dan keadaan.

Di dalam A-Qur’an pula, ada suatu Firman yang berbunyi:

Artinya, “Ajakan manusia ke agama Allah dengan cara-cara yang bijaksana dan dengan nasehat yang bagus, dan (kalau diperlukan bertukar pikiran) maka hendaklah engkau tolak hudjah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya”.

Biar bagaimana, Al-Qur’an telah menunjukkan jalan bahwa bahwa penyebaran agama itu mestilah dilakukan dengan tindakan aktif positif, dengan inisiatif, disamping ketekunan, kebijaksanaan, sistim dan metode yang sebaik-baiknya.

Chudj-djatul Islam Imam Ghozali didalam Ichjanya lebih memberikan perinciannya bagaimana dakwah itu mesti dilaksanakan. Beliau antara lain mengatakan dalam hadis yang artinya.

Artinya: “Wajib bagi kalian orang yang mengerti (Fakih), setelah selesai mengerjakan fardhu ‘ainya lalu beralih melakukan hal yang fardhu kifayah, yaitu keluar dari rumahnya untuk mendatangi penduduk kampung halamannya, penduduk di sekitar kotanya, penduduk asli maupun lainnya, untuk mengajar mereka dalam hal-hal yang mengenai keagamaan mereka serta kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh perintah agamanya (syariatnya)”.

Siapakah yang tergolong orang yang mengerti itu? Beliau membikin definisi demikian:

Fakullu man ta’ala masalatan wanchidatan fahua min ahlil ‘ilmi bihaa.

Artinya: “Tiap seseorang yang telah mempelajari satu masalah, ia tergolong orang yang mengerti dalam masalah itu”.

Dalam hadis lain yang artinya

Artinya: “Adapun tugas kewajiban dan lapang pekerjaan orang lain yang mengerti ialah menyampaikan (bertabligh) tentang apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. karena para orang-orang yang mengerti agama Islam (Ulama) mereka ini adalah pewaris Nabi-nabi”.

Selanjutnya Imam Ghazali memperingati lagi bagaimana kewajiban menyebarkan dan meratakan agama itu harus diselenggarakan. Maka diuraikan olehnya sebagai di bawah ini:

Dalam hadis lain yang artinya:

Artinya: “Maka selayaknyalah bagi tiap-tiap muslim memulai dengan dirinya sendiri supaya bisa menetapi kewajiban-kewajiban dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh agama. Setelah itu lalu mengerjakan tugas mengajar tentang hal-hal di atas kepada seisi rumahnya, tetangganya, lalu kepada penduduk kampung desanya, seterusnya lalu melangkah kepada penduduk kota di kanan-kirinya dan kemudian melakukan tugas tadi untuk seluruh penduduk dalam negara meliputi seluruh tanah air bahkan sampai-sampai ke seluruh penjuru dunia. Kewajiban bertabligh ini belumlah gugur dosanya (artinya belum boleh berhenti) selama di muka bumi ini masih kedapatan seorang yang belum mengetahui kewajiban-kewajiban agamanya, padahal si-orang tadi mampu berbuat untuk mendatanginya sendiri maupun dengan perantaraan lainnya (wakilnya petugasnya, organisasinya atau kekuasaannya) selaku misi untuk menunaikan tugas kewajiban tadi”.

Baca Juga: Saat Agama Menjadi Persoalan, Bukan Solusi

Pada zaman ini banyak sekai tersedia macam-macam media untuk alat bertabligh atau dakwah yang diselenggarakan dengan mempergunakan sistim dan metode, misalnya: jurnalistik, karang-mengarang, kesusastraan, seni lukis, seni drama, film dan sampai politik.

Jangan dilupakan, bahwa itu semua hanyalah sekadar alat, sedang tujuannya ialah: Menyebar Agama, supaya orang dengan kesadaran melakukan ajaran dan perintah-perintah Agama.

***

Penulis: K.H. Saifuddin Zuhri

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Amir Pasaribu tentang Musikus dan Musik Indonesia Seharusnya  Rubrik ESAI.

Exit mobile version