MOJOK.CO – Sebuah konten TikTok viral karena menampilkan wawancara dengan anak-anak SD yang tidak tahu kepanjangan dari “SD”.
Bayangkan dirimu sedang telentang di atas kasur. Setelah bekerja di depan layar selama lebih dari delapan jam, akhirnya kamu punya kesempatan memejamkan mata.
Lampu yang sudah mati dan udara sejuk malam hari mendukung kesadaranmu untuk segera lelap. Tidak ada yang mengganggu, bahkan bantal yang lupa dijemur itu seolah sanggup menyangga seluruh lelah di kepalamu.
Sayangnya, baru sebentar mencoba istirahat, tiba-tiba suatu adegan muncul di benakmu bak konten FYP di TikTok.
Pop! Ada sosokmu yang masih kelas lima.
Kamu kecil menjadi bahan tertawaan teman-teman karena ketahuan salah menulis “difteri” menjadi “defitri” pada lembar ulangan ilmu pengetahuan alam.
Adegan itu jernih sekali, seolah baru terjadi kemarin. Kamu masih ingat bagaimana kamu ikut tertawa sebelum mengetahui bahwa kesalahan tulis itu adalah kesalahanmu, dan bukan milik orang lain.
Kamu dewasa, rupanya masih malu bila mengingat peristiwa itu. Sambil berharap teman-teman sekelasmu melupakannya, kamu kembali berusaha tidur. Namun, gagal sudah akibat kepalang cemas diserbu siaran-siaran memalukan lainnya dari HippocampusTV.
Oh, iya, pengalaman di atas adalah pengalaman penulis sendiri.
Waktu melakukan koreksi antar-teman (hasil kerja saling ditukar, sementara guru memberi tahu kunci jawabannya), seorang teman mengangkat tangan dan bertanya pada guru: “Kalau jawabannya ‘defitri’, salah atau benar, Bu?”
Lalu Bu Guru tertawa, diikuti oleh murid-muridnya, termasuk saya. Bu Guru bilang untuk beri skor setengah saja, dan bertanya ia mengoreksi lembar ulangan punya siapa.
“Punya Olga,” katanya.
Saya langsung mingkem. Yang lain masih tertawa, berikutnya sambil melihat saya.
Pengalaman itu sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Sejak saat itu, saya menjadi orang yang cenderung kaku dalam berbahasa; sebisa mungkin menghindari typo, mengetik sesuai EYD atau PUEBI bahkan dalam percakapan sehari-hari, dan selalu khawatir bila diksi atau tata bahasa saya membuat orang lain salah paham.
Selain itu, saya menjadi sulit diajak bercanda, apalagi bila candaannya berhubungan dengan kecerobohan atau ketidaktahuan orang lain. Saya takut “mendapat balasannya”.
Untung saja, saat saya kecil, mendokumentasikan sesuatu dan menyebarluaskannya secara digital tidak semudah sekarang. Bila iya, mungkin waktu itu akan ada teman yang mengeluarkan ponselnya di jam istirahat, lalu membuat konten TikTok: Salah tulis pas ulangan checkkk!
Zaman berubah dan inovasi di dalamnya tidak bisa dielakkan. Meski rumusnya masih sama; semakin tinggi popularitas maka semakin tinggi kesempatan untuk menjadi kaya, cara-cara yang ditawarkan kini sudah lebih kreatif. Seperti menggunakan anak di bawah umur untuk menjadi materi konten di TikTok, misalnya.
Berikan mereka pertanyaan sederhana yang kemungkinan besar diketahui jawabannya oleh orang dewasa, rekam reaksi kebingungan (sebagian kewalahan) beserta kekeliruan mereka, dan bam—netizen yang butuh hiburan di kala sarana aktualisasi dirinya tergilas pandemi merasa harga dirinya penuh kembali.
Jangan lupa, meski konten itu bisa saja dibuat dan dirilis tanpa izin dari anak-anak yang wajah, nama sekolah, serta kelasnya ditampilkan tanpa sensor; pembuat konten dapat membenarkan perbuatannya dengan mengatakan itu hanya bercanda.
Pembuat konten juga mungkin mengingatkan soal lucu dan polosnya mereka, tanpa peduli reaksi netizen yang berbondong-bondong mengecap anak di dalam konten sebagai generasi gagal, atau berasal dari orang tua yang gagal, atau diajari oleh guru yang gagal.
Menyebarkan informasi orang lain tanpa izin itu sesuatu. Namun, dengan sengaja menjadikan orang lain, masih berusia di bawah 18 tahun pula, sebagai bahan tertawaan publik demi keuntungan pribadi adalah sesuatu yang lain lagi—yang buat saya, lebih aneh.
Perundungan atau bullying, selama ini dimengerti sebagai suatu perilaku agresif yang disengaja dan dilakukan berulang oleh seseorang untuk menyebabkan rasa sakit atau tidak nyaman pada korbannya. Namun, kehadiran internet dan berbagai platform sosial di dalamnya memperluas definisi perundungan.
Di dunia maya, seseorang tidak perlu berperilaku agresif berkali-kali untuk menjadi perundung. Sebab, satu saja perilaku agresifnya (atau satu konten agresifnya) dapat dilihat oleh jutaan orang, diunduh oleh ratusan ribu orang, dibagikan kembali oleh ribuan orang, hingga direspons oleh entah berapa orang yang secara sadar atau tidak sadar berpotensi melanjutkan perundungan.
Tapi itu hanya prank! Begitu mungkin kata sebagian orang.
Kendati memiliki definisi dan motivasi yang berbeda, prank dan perundungan dipisahkan oleh sebuah garis tipis. Ketika prank berbuah menyakiti dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi korbannya, maka garis tipis itu telah dilewati. Prank berubah menjadi perundungan.
Terlebih, apabila si “prankster” sesungguhnya sadar akan dampak fisik, moral, dan/atau emosional dari prank yang dilakukannya.
Hal yang menurutmu lucu, belum tentu lucu bagi orang yang kamu jadikan bahan tertawaan.
Namun, kembali pada penelitian, seorang perundung kerap kali sesungguhnya lebih problematik dibanding yang dirundungnya. Merundung, atau prank menuju merundung, adalah cara seseorang melawan rasa rendah diri dan tidak berdaya, menunjukkan kekuatan atau kontrol yang ia (seolah-olah) miliki, serta sebagai upaya memperoleh pengakuan.
Oleh karena itu, perundung biasanya mencari korban yang tampak berada di bawahnya secara fisik, sosial, ekonomi, atau usia.
Nah, untuk kamu yang secara sengaja mencari kelengahan orang lain, menjadikannya konten, menyebarkannya, dan membiarkan penonton berlomba-lomba menunjukkan betapa payah orang di dalam konten itu serta betapa lebih baik dirinya—kamu punya masalah apa?
Memangnya, kamu dapat apa sih, dari melakukan itu?
BACA JUGA Betapa Ribetnya Nama Anak-anak Masa Kini dan tulisan Miranda Olga lainnya.