MOJOK.CO – Pendekar silat, terutama yg berkelana, kerjanya apa ya? Mereka dapat bayaran dari mana? Kok bisa hidup kemana-mana tanpa beban?
Saban mendengar sandiwara radio, entah Tutur Tinular atau Saur Sepuh, kegiatan paling menyenangkan adalah membayangkan ekspresi para pelakonnya. Bagaimana Brama Kumbara menyerang musuh? Bagaimana muka Arya Kamandanu ketika ditikung saudara kandungnya sendiri? Tentang adu silat yang menegangkan. Dan lain sebagainya.
Barangkali, imajinasi seperti ini yang membuat kisah-kisah kolosal tadi diingat dan dikenang. Bahkan puluhan tahun setelah lewat masa tayangnya. Ada beberapa hal dari kisah-kisah persilatan yang membuat saya jatuh cinta. Pertama, tentang imaji para jagoan yang mengalahkan bandit. Kedua, intrik politik dalam upaya membangun kekuasaan. Ketiga, kisah percintaan dari para pendekar silat yang ada.
Belakangan buku-buku silat seperti Senopati Pamungkas, Wiro Sableng, Api di Bukit Menoreh, Nagasasra dan Sabukinten, hingga yang paling mutakhir Nagabumi, membuat kecintaan saya pada cerita silat jadi hangat lagi. Maklum, dulu ketika radio masih lebih populer daripada televisi, sandiwara radio menjadi satu-satunya hal yang bisa jadi hiburan sebelum TVRI masuk dan mengganti hiburan kita dengan serial Oshin.
Berbagai pertanyaan tentang pendekar silat
Sekarang saya dibuat kembali berpikir tentang kisah-kisah kolosal para pendekar di Indonesia karena sebuah pertanyaan. “Pendekar silat, terutama yg berkelana, kerjanya apa ya? How do they make money?” Mungkin banyak yang mikir, pendekar silat dapat bayaran dari mana? Kok bisa hidup kemana-mana tanpa beban? Hal ini bikin saya memeriksa lagi ingatan, membaca ulang beberapa cerita, juga melihat bagaimana para pendekar hidup.
Dari yang saya ingat dan baca, kebanyakan pendekar silat di Indonesia yang berlatar cerita zaman kerajaan, kebanyakan berasal dari anggota kerajaan. Entah pewaris takhta kerajaan, mantan pejabat, atau prajurit yang memang dilatih secara khusus. Ilmu silat, seperti juga kemampuan membaca, adalah privilege yang nggak semua orang punya. Cuma orang kaya, ningrat, dan spesial saja yang bisa mengakses.
Darimana pendekar silat mendapat uang?
Kalau dari cerita-cerita, uang itu bukan tujuan utama pendekar. Lalu kok banyak cerita pendekar silat datang ke warung buat makan? Nah duitnya bisa dari upah menolong orang, menangkap buronan penjahat, atau mengambil jarahan dari bandit.
Jenis yang yang dipakai adalah yang kepeng, keping atau pitis; pis bolong, picis, pitjes, atau gobok. Kalau pertanyaanya diganti jadi dari mana mereka makan? Jawabannya bisa dari berburu dan mengumpulkan makanan. Di buku-buku silat, kaya Wiro Sableng, Nagabumi, atau Raden Mandasia, pendekar tidak segan mencuri buat makan, atau ya makan apa saja yang ada.
Kebanyakan pendekar silat di Indonesia itu kalangan berada. Brama Kumbara pewaris takhta kerajaan Madangkara, Arya Kamandanu anak empu, Wiro Sableng anak pejabat desa, Barda Mandrawata anak kepala sekolah, Upasara Wulung lulusan sekolah elite kerajaan, Untara prajurit wira tamtama dari Jipang. Jadi kalau soal duit atau makan sebenarnya gampang.
Tetapi, pendekar golongan putih punya seperangkat aturan moral yang ketat. Mereka menolak mencuri, merampok, atau merebut uang sembarangan. Jadi, untuk bertahan hidup, ya memanfaatkan ilmunya untuk berburu entah rusa atau kelinci. Soalnya lebih gampang dengan ilmu meringankan tubuh atau dengan tenaga dalam untuk mencari hewan buruan.
Baca halaman selanjutnya
Beberapa sumber uang yang biasa ada di cerita kolosal…
Beberapa sumber uang yang biasa ada di cerita kolosal
Di cerita silat Indonesia, pendekar biasanya mendapatkan uang dari beberapa sumber. Misalnya dari upah untuk menjalankan misi. Pendekar sering disewa oleh individu atau kelompok untuk menjalankan misi tertentu. Misi ini bisa berupa melindungi seseorang, mengambil kembali harta yang dirampas, atau menghadapi musuh-musuh yang jahat. Sebagai imbalan, mereka menerima honor atau upah sesuai dengan tingkat kesulitan dan risiko misi tersebut.
Pendekar butuh makan itu pasti, butuh duit? Belum tentu. Dalam cerita silat, pendekar dan penjahat kerap lebih pusing memperebutkan pusaka daripada harta. Mulai dari Pedang Naga Puspa hingga Keris Pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. Mahesa Jenar, tokoh utama dalam cerita itu bekerja sebagai prajurit pengawal raja. Jelas duit bukan masalah.
Selain itu, di beberapa kisah saat pendekar silat membantu orang-orang yang lemah atau teraniaya, mereka kadang-kadang diberikan hadiah atau imbalan sebagai ungkapan terima kasih. Orang-orang yang mereka tolong bisa memberikan uang, perhiasan, atau barang berharga lainnya sebagai tanda penghargaan atas jasa baik pendekar.
Nah, cara yang paling sering dan paling banyak itu berasal dari harta rampasan musuh. Saat pendekar menghadapi musuh-musuh yang jahat atau penjahat, mereka dapat mengambil harta rampasan setelah mengalahkan mereka. Harta rampasan ini bisa berupa uang, perhiasan, senjata keramat, kitab silat, atau barang berharga lainnya yang dimiliki oleh musuh mereka. Pendekar menggunakan harta rampasan ini sebagai sumber penghasilan tambahan.
Sisi lain yang tak kalah menarik
Para bandit dan bromocorah dalam cerita-cerita silat juga kerap digambarkan sebagai orang urakan yang kejam. Kecuali dalam kisah Api di Bukit Menoreh, di mana karakter para pelarian Pajang yang dipimpin Tohpati, sebenarnya merupakan pejabat yang kemudian dianggap pemberontak. Mereka ini bisanya merebut harta rakyat, atau kalau tidak, ya merampok dari orang lain.
Saya sih berharap jika ada cerita silat Indonesia, akan ada usaha untuk melihat kehidupan orang-orang di luar tokoh pendekar. Bagaimana kehidupan para petani? Pengrajin tembikar? Tukang kayu, atau bahkan para empu pembuat senjata. Kebanyakan para empu hanya jadi tokoh sempalan, yang dihadirkan hanya untuk membuat senjata tapi tidak dijelaskan bagaimana mereka hidup, bergaul, dan berinteraksi. Atau mungkin bagi pembaca, cerita silat tanpa silat, tidak ada gunanya?
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jago Silat Kagak, Jago Cari Musuh Iya. Kayak Gitu Pendekar? dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.