Apa Salahnya, sih, Kalau FaceApp Punya Wajah Kita?

face app

MOJOK.CO Lagi seru-serunya main FaceApp aja masih ditakut-takuti. Kenapa emangnya? Nggak rela lihat orang seneng dikit, ya?

Media-media daring ini kayaknya emang nggak pernah berhenti merusak kesenangan orang lain. Baru saja kemarin mereka mengganggu kehidupan privat Salmafina, kini mereka lagi-lagi berulah dengan menakut-nakuti warganet perihal bahaya bermain aplikasi “wajah tua” FaceApp.

Hadeh, warganet ini kan sudah akrab dengan anxiety, harga tanah yang makin mahal, gaji pas-pasan, sampai hilal jodoh yang tidak kunjung terlihat—lah kok perihal main-main saja masih ditakut-takuti?

Mengutip Kompas Tekno, aplikasi gratisan asal Rusia ini diketahui bisa menyebarkan, menyimpan, bahkan menjual foto pengguna untuk tujuan komersil meski foto tersebut telah dihapus. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam persetujuan dan ketentuan pemakaian, para pengguna yang setuju akan memberikan aplikasi FaceApp lisensi untuk mengutak-atik foto yang diunggah para pengguna, bahkan seenak jidat aplikasi tersebut, dan kita tidak bisa protes.

Jujur, membaca persetujuan dan ketentuan pemakaian memang buang-buang waktu. Lagi pula, seperti apa yang saya pelajari dulu, klausulanya memang sengaja dibuat dengan kalimat yang berputar-putar dan eksplisit sehingga membuat orang akan malas membacanya. Berdasarkan pengalaman saya yang sedikit ini, jarang sekali ada klausula yang menguntungkan konsumen, bahkan saya bisa bilang tidak ada.

Ambil contoh bisnis parkiran. Ketika saya masuk dan mengambil tiket parkir, secara tidak langsung saya sudah terikat dengan persetujuan dan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan parkir tersebut. Semua tentu paham jika bisnis parkiran memiliki klausula yang paling terkenal yakni “segala bentuk kehilangan dan kerusakan kendaraan bukan tanggung jawab pengelola”.

Kalaupun saya tidak setuju, masa saya harus putar balik dan parkir di jalanan? Wah, motor saya bisa diangkut Dishub nanti. Seperti konsumen-konsumen lainnya, tentu saya hanya bisa menggerutu dan tetap memberikan pecahan dua ribu kepada petugas parkir setiap motor saya mau keluar.

Sampai sini, setidaknya kita bisa sepakat, menjadi konsumen di era kapitalisme lanjut berarti harus siap dan rela dirugikan hanya untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Untuk konteks aplikasi “wajah tua” FaceApp, kita tentu sudah rela mengorbankan data pribadi kita untuk mendapatkan kesenangan demi menjawab rasa penasaran bagaimana bentuk wajah kita ketika tua nanti.

Lalu, bukankah data pribadi di ruang siber sudah tidak penting lagi untuk warganet Indonesia? Sebelum ramai aplikasi FaceApp, sebenarnya kita sudah terbiasa memberikan data-data pribadi kita kepada orang lain, tanpa berpikir bagaimana orang tersebut akan mengelola data kita nantinya.

Hebatnya lagi, kita bahkan dengan senang hati akan membongkar data pribadi orang lain, mengumbarnya demi kepuasan pribadi. Wow.

Ketika Dino Patti Djalal memprotes kicauan Rich Brian yang kasar dan tidak pantas ditiru, warganet berbondong-bondong untuk menggali jejak digitalnya. Ternyata setahun lalu, Dino Patti Djalal pernah berniat mengundang Rich Brian untuk hadir di suatu acara diaspora di Amerika.

Tidak hanya Dino Patti Djalal, contoh-contoh lain mengingatkan kita jika ada formula sederhana yang digunakan untuk mempermalukan orang lain di ruang siber: cari saja jejak digitalnya.

Data pribadi, jejak digital, dan privasi di ruang siber memang problematik. Di satu sisi kita tidak ingin percakapan mesum kita dibaca perusahaan WhatsApp, tetapi kita dengan senang hati memberikan alamat rumah, alamat kantor, nomor telepon, slip gaji, nomor rekening, untuk startup fintech baru yang ingin memberikan pinjaman uang dengan syarat minimal. Rene Descartes tentu bahagia karena jargon “aku berpikir, maka aku ada”-nya yang terkenal kini diganti dengan jargon “aku mengonsumsi, maka aku ada”.

Maksud saya, kita semua memahami dan mengalami jika konsep privasi di ruang siber tidak bisa dianggap lagi sebagai bangunan kaku di mana ada batasan-batasan yang jelas antara ruang privat dan ruang publik. Sebaliknya kita menganggap konsep privasi di ruang siber sebagai sesuatu hal yang cair, data pribadi ada dalam kondisi “aman”, tapi hanya dalam batas waktu dan kondisi tertentu saja.

Saya pikir, media-media daring yang memberitakan bahaya aplikasi FaceApp ini hanya buang-buang waktu. Tanpa perlu diberitakan pun, para warganet sudah terlebih dahulu pasrah akan bocornya data-data pribadi mereka.

Kalaupun kekeuh ingin tetap diberitakan, coba dong liput topik-topik kebocoran data pribadi yang lebih lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Misalnya, mengapa nomor saya sering mendapat SMS cara mudah dapat uang dan iPhone meski saya tidak kenal nomornya? Apakah nomor saya dijual lagi oleh tukang pulsa langganan saya?

Jelas, ini harus dicari dan ditelusuri karena melibatkan pulsa wong cilik!

Oh, maaf, maaf, saya lupa. Meliput fenomena viral, kan, memang lebih menguntungkan dibanding meliput fenomena yang tidak pernah dibicarakan sama sekali. Hehe.

Exit mobile version