Masyarakat Sepakat Bagus dan Jelek Itu Relatif, tapi Trailer Film Animasi Merah Putih: One For All itu Busuk Banget!

Animasi Merah Putih: One For All itu Nyatanya Busuk Banget! MOJOK.CO

Ilustrasi Animasi Merah Putih: One For All itu Nyatanya Busuk Banget! (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBagus dan jelek itu relatif. Sialnya, masyarakat ramai-ramai menilai trailer Merah Putih: One For All itu busuk banget.

Bagus dan jelek itu memang relatif. Tapi kita harus ingat bahwa kadar estetika seni juga bersifat kolektif berdasarkan konsensus masyarakat. Sialnya, masyarakat ramai-ramai menilai trailer Merah Putih: One For All itu busuk banget.

Beberapa hari belakangan ini, netizen dibuat heboh (lebih tepatnya nyinyir) dengan munculnya trailer film animasi berjudul Merah Putih: One For All. Tanpa basa-basi, mereka menyebut kualitas film animasi ini jelek!

Meskipun justifikasi ini tidak bisa dibilang adil, karena filmnya belum tayang, dan netizen juga baru menilainya dari trailer berdurasi dua menitan. Namun, dalam perkembangan pasar sinema hari ini kita sama-sama menyepakati bahwa rilisan trailer adalah representasi dari keseluruhan film yang akan diputar. 

Trailer selalu menjadi ujung tombak promosi sebuah karya sinema. Tim produser menggunakan trailer untuk memancing respons masyarakat akan produk mereka yang akan dijual. Trailer bisa menjadi mekanisme “cek ombak” pasar yang disasar.

Berdasarkan sistem tersebut, maka wajar jika masyarakat (calon konsumen) film melakukan penilaian pada “semacam brosur” produk yang akan mereka beli. Jadi masyarakat juga sudah boleh memberikan komentar terhadap trailer yang dianggap mewakili keseluruhan kualitas film Merah Putih: One For All

Tim produksi film juga harus menerima semua komentar dari potongan trailer. Ya karena pola marketing inilah yang mereka bikin sendiri. Warganet sepakat menilai kualitas animasi film Merah Putih: One For All itu jelek

Kita dapat dengan mudah mencari berbagai komentar negatif netizen mengenai film animasi Merah Putih: One For All. Dari keseluruhan riset scrolling pribadi saya di berbagai media sosial, hampir semuanya berkata film ini jelek. 

Meskipun ada beberapa akun netizen yang mencoba sok heroik membela film ini, tapi toh pada kenyataannya cercaan netizen lebih mendominasi. Dalam kasus penilaian trailer ini, masyarakat bersatu (bahkan mungkin buzzer pun tak kuasa melawan kesepakatan ini).

Bagus dan jelek itu memang relatif, tapi estetika juga kolektif

Memang kita bisa ngotot-ngototan memperdebatkan kadar estetika film Merah Putih: One For All. Melalui pendekatan filsafati, kita bahkan bisa menggiring perkara bagus-jelek sebuah karya seni dengan sudut pandang subjektivitas.

Kita bisa saja mengatakan bahwa selera seni itu bersifat individual. Apik di aku, belum tentu apik di kamu. Jelek menurutmu, bisa jadi kebalikannya menurut orang lain. Kadang diskusi mengenai estetika seni sering mentok pada dalil di atas.

Namun, banyak orang yang kadang terlewatkan satu hal lain dalam memperdebatkan karya seni. Bahwa kadar estetika seni itu juga bersifat kolektif.

Kita harus ingat, puncak manfaat seni adalah menjadi perangkat untuk memperindah kemanusiaan dalam peradaban, bukan hanya perseorangan. Dengan begitu, nilai keindahan suatu karya seni akan selalu melekat dengan kesepakatan masyarakat.

Suatu komunitas, dalam ruang dan waktu tertentu, biasanya telah menyepakati mana yang indah dan tidak indah dari sebuah karya seni. Ada konsensus masyarakat sebagai konsumen seni yang tidak bisa dihindari penilaiannya. Dan semua seniman pembuat karya mesti maklum akan hal itu. Meski konsensus itu bisa saja berubah pada tempat dan waktu lainnya.

Sialnya, dalam ruang dan waktu hari ini, mayoritas netizen Indonesia sama-sama menyepakati bahwa film animasi Merah Putih: One For All ini buruk. Setidaknya itu yang saya tangkap dari observasi sederhana di ruang media sosial beberapa hari belakangan.

Baca halaman selanjutnya: Nyatanya memang jelek.

Komentar produser Merah Putih: One For All

Yang kemudian menarik adalah respons tim produksi film ini dalam menghadapi cercaan netizen. Dikutip dari instagram @kompascom, produser film tersebut, Toto Soegriwo menulis di instagram “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga, kan? Postingan kalian jadi viral, kan?”

Saya secara pribadi menyayangkan komentar dari sang produser tersebut. Karena saya beranggapan bahwa produser itu termasuk golongan orang kreatif, paling tidak sesama kolega seniman yang memahami konsekuensi sebuah karya seni. 

Seorang seniman semestinya legawa menghadapi dinamika nilai estetika di masyarakat. Bukan malah ngeles, ngeyel, dan ndableg jika karyanya dikritik. Kecuali memang beliu ini sebenarnya bukan berangkat dari kaidah sosok kreatif. 

Tanggapan jawaban dari Toto Soegriwo itu juga riskan untuk dicap ad hominem. Dia menanggapi diskusi dengan menyerang pribadi netizen, bukan fokus pada substansi perkaranya, yaitu kualitas animasi.

Kaidah seni dan kemunculan Jumbo

Secara pribadi, sejujurnya saya mesti berhati-hati menilai sebuah karya seni. Ya karena saya juga bekerja di bidang seni yang rentan pula dengan kritik dan penilaian netizen. 

Saya perlu menyatakan bahwa beberapa penilaian di atas merupakan risalah dari berbagai kegaduhan netizen akan film Merah Putih: One For All. Namun, melihat reaksi produser film yang seolah ngotot tersebut, saya terpancing berkomentar. 

Mungkin saya tidak punya kompetensi dalam bidang animasi. Namun, sependek pengetahuan saya, ada kaidah-kaidah dalam seni rupa. Misalnya seperti komposisi, motion, warna, kualitas grafik, pemilihan font, dan detail gerak karakter. Para animator sudah menyepakati kaidah ini dan bahkan secara teknis mereka telah mengaplikasikannya dalam institusi pembelajaran seni.

Saya juga masih berpegang teguh dan berusaha netral bahwa penilaian baik dan buruk keindahan seni itu tak bisa lepas dari asumsi pribadi, keberpihakan, dan wacana yang terbangun di masyarakat. 

Tapi sekali lagi sialnya, standar animasi masyarakat Indonesia telah terbentuk belum lama ini melalui film animasi Jumbo. Memang tidak bijak membandingkan karya. Namun, harap dimengerti juga bahwa netizen telah mempunyai ukuran baru dalam menilai animasi karya anak bangsa setelah munculnya film Jumbo.

Lagi pula, kemunculan film animasi Merah Putih: One for All ini juga bertepatan dengan momentum rakyat merayakan kemerdekaan, yang jadi masa krusial untuk menilai kembali nasionalisme rakyat bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut, desas-desus juga lalu muncul di komentar netizen. Apakah ada kepentingan politis dari negara dalam mendorong kemunculan film ini? 

Meskipun sampai hari ini masih juga dipertanyakan apakah para produser Merah Putih: One For All ini netral dari kepentingan pemerintah. Keterlibatan negara dalam film ini sifatnya masih dugaan dan bahkan tuduhan. Apabila tulisan ini dianggap menjadi fitnah dan kelak tidak terbukti adanya kepentingan politik di baliknya, maka saya minta maaf sejak sekarang.

Bola liar

Namun, penilaian netizen telah menjadi bola liar yang sangat sukar dibendung lagi. Sepenangkapan saya, netizen makin tersulut emosinya karena menyangka bahwa Merah Putih: One For All ini termasuk “proyek negara” yang asal dieksekusi seperti proyek-proyek lain yang cringe dan dipaksakan. Tapi, sekali lagi hal ini masih bersifat prasangka.

Berkaitan dengan ideologi nasionalisme yang biasanya berkobar di bulan Agustus, ada yang bilang bahwa film ini tetaplah karya anak bangsa dan harus didukung terlepad dari hasilnya. 

Kosik, sebentar. Jangan terjebak dengan nasionalisme sempit seperti itu. Tidak semua karya anak bangsa harus didukung dengan gelap mata. Kalau memang tidak baik, ya harus dikritik dan dievaluasi. 

Nasionalisme bukan serta merta mendukung dan memaklumi apa saja yang dihasilkan anak bangsa. Misalnya, jika sepak bolanya jelek, ya jangan dibilang sudah bagus. Pemerintah yang korup juga jangan dimaklumi. Mosok nanti kalau ada pejabat yang gagal bekerja dengan baik, lalu kita tetap harus mengapresiasinya karena dia anak bangsa. Kan nggak begitu juga.    

Apakah ini teknik marketing Merah Putih: One For All?

Kembali lagi ke justifikasi netizen terhadap film ini. Bahwa nyinyiran ini belum adil karena kita baru menyaksikan trailernya. Masih ada peluang untuk membuktikan kebalikan dari penilaian negatif kita terhadap trailernya. Mungkin juga kan trailernya jelek tapi film Merah Putih: One For All itu ternyata bagus?

Atau bisa jadi komentar-komentar netizen ini hanyalah bagian dari strategi marketing film ini? Sebagaimana kita tahu, bad marketing is good marketing. Dan kita semua ini tanpa sadar terjebak menjadi agen promosi gratisan film ini.

Silakan nanti dibuktikan saja kualitas utuh film Merah Putih: One For All ini. Kalau Anda selo dan rela menyisihkan uang untuk membeli tiket bioskop, yang konon rilis tanggal 14 Agustus.

Penulis: Paksi Raras Alit

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Jumbo, Sebaik-baiknya Film Animasi Anak Indonesia yang Pernah Saya Tonton dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version