MOJOK.CO – Orang tua kerap menuntut anaknya. Jika tidak mau, dicap anak durhaka. Jika gagal, akan dicela dan dibandingkan dengan saudara-saudaranya.
Aku tumbuh dengan membenci Ibu. Nyaris setiap hari, sepanjang aku ingat, saat SMP-SMA Ibu membandingkanku dengan kakak yang jadi sarjana di IPB.
“Kakakmu itu selalu ranking, kamu kenapa tidak bisa seperti dia?”
Kata-kata itu selalu diucapkan saat ibu mengambil rapot dan kadang dengan tatapan memelas. Mengasihani, kenapa aku jadi bodoh atau tidak sepintar anaknya yang lain.
Saat ini hubunganku dan Ibu sudah jauh lebih baik. Kami tak lagi bicara dengan nada yang merendahkan, disispi Amarah, atau kebencian. Aku sayang ibuku tapi kadang ada beberapa luka yang tak bisa disembuhkan waktu dan hanya bisa diterima sebagai keadaan apa boleh bikin.
Dalam keluarga, dinamika relasi orang tua dan anak-anaknya bisa sangat panas. Anak dituntut memenuhi ekspektasi yang ajaib, sesuatu yang kadang tak masuk akal dan tidak boleh gagal kalau tidak mau dianggap lingkungan sebagai anak durhaka.
Orang tuaku gemar menekan anaknya untuk selalu jadi lebih baik. Lebih baik dari siapapun kecuali dirinya sendiri. Kami dibandingkan, membentak, dituntut untuk jadi lebih baik, dengan kondisi seadanya.
Aku dituntut untuk lebih baik dari kakakku, adikku dituntut lebih baik dariku, sementara ibu dan bapak begitu saja dari dulu. Toxic dan gemar melakukan gaslighting.
Waduh, mohon maaf nih pembaca sekalian, bukan aku ingin jadi anak durhaka. Jelek-jelekin orang tua di media. Tapi kadang nggak semua orang tua layak dihormati dan kadang beberapa orang tua yang brengsek, bisa taubat dan jadi rekan yang baik bagi anak-anaknya.
Nggak percaya? Coba baca aja berita tentang conservatorship yang dialami oleh Britney Spears. Penyanyi itu diekspolitasi, dibatasi, dan dikendalikan ayahnya dengan mengerikan.
Tidak semua orang tua toxic, tapi banyak orang tua yang tak sadar dirinya toxic. Mereka menganggap apa yang dilakukan adalah kebaikan, sementara kita berpikir yang mereka lakukan adalah kejahatan.
Satu-satunya cara agar bisa menemukan jalan tengah adalah dengan bicara baik-baik. Kondisi ini mungkin tak ideal. Orang tuaku tumbuh dengan bagaimana orang tua mereka mendidik, yang mungkin dengan standar saat ini jadi problematik. Tapi apa iya kita harus terus mengalah?
Orang tua kadang tak menyadari apa yang ia lakukan menyakitkan atau membuat anaknya sedih. Ini mengapa saat Dea Anugerah di Twitter bercerita tentang pengalaman dan hubungannya dengan sang adik, aku merasa tidak sendiri.
Dunia yang kita tinggali ini tidak memberikan kesempatan yg setara kepada setiap orang, sekalipun orang-orang itu berasal dari rumah dan keluarga yg sama. Jadi, jangan pernah percaya fafifu meritokrasi kerja keras american dream tai kucing, ya, teman-teman.
— Dea Anugrah | Sudah Divaksin (@wildwestraven) June 23, 2021
Ibuku yang gemar membanding-bandingkan anaknya, secara tidak langsung membuat kepercayaan diri kami hancur berantakan. Aku ingat kakakku menyerah tak lagi melanjutkan kuliah, karena mengalah pada adiknya. “Kamu lebih pintar dariku, jadi aku berhenti saja,” katanya.
Kakakku adalah orang yang baik. Ia lembut, sosok yang selalu ada bagi kami adik-adiknya. Pintar menggambar dan sangat mudah mengingat lagu.
Ia hanya butuh sekali mendengar sebuah lagu untuk bisa memainkan nadanya dengan gitar. Ia jelas tak pandai soal matematika, fisika, atau kimia. Tapi jika orang tua kami mengizinkan ia jadi pelukis atau musisi, mungkin ia akan jadi sosok yang lebih sukses.
Sayangnya banyak orang tua mengukur kesuksesan anak berdasarkan angka dalam rapot, bukan bagaimana ia jadi manusia di masyarakat.
Kakakku yang mengalah itu kemudian hanya lulusan SMA belaka. Dibandingkan dengan saudaraku lain yang kuliah, sarjana, dan bekerja di kantor-kantor tinggi di Jakarta.
Padahal saat tetangga kami susah, saudara jauh butuh bantuan, kakakku yang lulusan SMA itu yang paling depan membantu. Kami yang sarjana ini, hanya bisa mengirim uang, tak lebih. Tapi kadang nilai nominal uang itu dianggap lebih berharga, lebih penting, daripada keberadaan kakak yang selalu membantu itu.
Aku pikir kakakku tak sendiri. Di kolom komentar Dea Anugerah, banyak orang yang mengaku harus mengalah. Mereka yang dipaksa mundur karena harus memberikan kesempatan pada saudaranya yang lain.
Beberapa mengalah dengan kesadaran sendiri, mengakui bahwa kesempatan untuk sukses akan lebih mungkin dicapai oleh saudaranya. Tapi berapa banyak yang dipaksa mundur karena rasa hina, rasa malu, dibikin tidak percaya diri oleh orang tuanya.
Kadang kita lupa betapa keji dan celaka kata-kata. Bertahun-tahun dibandingkan, dibikin percaya kalau kita tidak layak, bukan Tidak mungkin kita percaya sugesti itu. Tumbuh rendah diri, membenci hidup, tak percaya pujian, hingga mengorbankan diri untuk orang lain.
Baru bertahun-tahun kemudian, setelah konseling, upaya untuk selalu mengorbankan diri adalah trauma respons. Kita adalah produk gagal pendidikan orang tua yang mengharuskan diri berkorban untuk bisa punya makna.
Mungkin apa yang aku tulis ini akan membuat orang memikirkan ulang tentang konsep durhaka, patuh pada orang tua, dan segala yang ada di antaranya. Kita ditodong dan disandera dengan nilai-nilai didikan zaman jahiliah yang menganggap orang tua tak bisa salah, sementara anak tak pernah tua.
Kita dipaksa untuk harus patuh, tunduk, dan diminta berkorban. Karena lahir adalah anugerah, maka orang tua berhak melakukan apapun pada anaknya. Tapi mungkin kita lupa, bahwa tak ada anak yang diajak rembuk dan bersepakat tentang hidup.
Orang tua menentukan apa yang baik dan benar, memaksakan nilai yang menurut mereka paling benar. Sementara jika gagal, anak kerap dianggap durhaka, tapi tidak pernah bagi orang tua.
BACA JUGA Menuntut Anak Macam-macam Padahal Jadi Orang Tua aja Nggak Becus dan tulisan Arman Dhani lainnya.