Desember 2015, Festival Belok Kiri yang sedianya digelar di Taman Ismail Marzuki dibubarkan polisi dengan alasan tidak ada izin. Faktanya, acara itu telah dipersiapkan jauh hari dengan izin, bahkan dengan proses izin yang sulit dan berbelit-belit.
Tepat beberapa jam sebelum pembukaan, beberapa anggota ormas warisan orde baru menurunkan spanduk-spanduk yang telah terpasang, berbarengan dengan puluhan bocah-bocah ingusan (ya hanya puluhan biji, mungkin anggarannya mepet) dari organisasi mahasiswa Islam tua yang berteriak bahwa rangkaian acara—yang isinya diskusi dan peluncuran buku—itu berbahaya.
Ketika itu saya masih menjadi bagian dari organisasi mahasiswa Islam tua itu, dan sejak saat itu pula saya memutuskan buat benar-benar pergi. Rasanya tidak tahan betul dengan omong kosong surat edaran atau tai kucing surat pernyataan kontra-revolusi yang selalu mereka edarkan terkait peristiwa 65 dan isu HAM.
Bagaimana bukan omong kosong jika di sekretariat-sekretariat mereka sejak komisariat hingga Pengurus Besar pernah rajin membaca buku-buku kiri dan sok-sokan jadi Marxist, buat senjata gombal ke calon kader baru, tapi ketika ada acara penting untuk meluruskan sejarah, pernyataan sikap mereka ternyata harus menuruti kehendak dan kepentingan abangda-abangda tua yang masih rajin jadi makelar politik?
Kasihan betul dedek-dedek bersemangat korban para abangda itu. Kalau Festival Belok Kiri itu memang berbahaya, atau mau rapat kudeta, kan nggak mungkin digelar terbuka, pakai konferensi pers pula, pakai undangan pula, dan di TIM pula.
Acara yang digelar terbuka itu, Dek, artinya, semua orang boleh datang, biar bisa berdiskusi dan duduk bersama, dan kalaupun kau tak sepakat, kau boleh sanggah di acara itu langsung dan sampaikan keberatanmu.
Buku yang diluncurkan pada acara Festival Belok Kiri yang akhirnya diselenggarakan secara sederhana di LBH Jakarta itu berjudul Sejarah Gerakan Kiri Untuk Pemula. Bukunya bagus sekali. Kerja-kerja perbukuan yang niat. Dikerjakan rombongan. Isinya berimbang, tidak berbahaya sama sekali. Tokoh Islam cendekia banyak disebut di dalamnya. Saya sempat mengajukan masukan kepada Bilven Sandalista, ada beberapa pengantar artikel yang seharusnya bisa dijelaskan lebih rinci. Kata Bilven, fokus utama pembuatan buku itu adalah kerja barengan dan solidaritasnya. Apapun hasilnya, itu prestasi yang layak diapresiasi.
Beberapa bulan setelah itu, Maret 2016, pementasan teater monolog “Saya Rusa Berbulu Merah” yang ditulis Ahda Imran juga dibubarkan pementasannya di beberapa kota besar. Di Bandung, salah satu kota tempat pementasan, acara akhirnya digelar dengan jaminan langsung dari Ridwan Kamil meskipun harus diawasi secara ketat oleh 200-an personel polisi.
Alamak, cuma pementasan monolog sunyi, dijaga begitu ketat. Itu banyak banget demonstrasi yang teriak-teriak bunuh dan pakai pentungan pula. Polisi ke mana?
Sebelum dan sebelumnya lagi, tak terhitung acara-acara serupa dibubarkan. Pemutaran film Senyap, Pameran lukisan Wiji Thukul yang dikuratori Andreas Iswinarto, sampai kejadian hari ini, Seminar Pelurusan Sejarah 65, yang diadakan di LBH Jakarta, dibubarkan polisi. Jelas-jelas acara di dalam gedung kok dibubarkan dengan dalih nggak ada izin. Lak yo pekok, to?
Ndilalah, salah satu organiasi yang menuntut pembubabaran itu kok katanya PMII. Ealah, jebul kok sama saja dengan organisasi sebelahnya. Gus Dur itu dulu sudah menyerukan biar kita saling memaafkan. Sayangnya, beliau keburu dicurangi sebelum sempat bikin lembaga rekonsiliasi korban 65.
Sampai kapan begini?
Sayang sekali, jawabannya belum pasti. Ormas-ormas ngeselin warisan orde baru akan tetap dungu, bersama barisan orang tua nggak sadar umur yang serakah dan enggan sadar bahwa zaman bukan lagi milik mereka.
Ya, kita cuma bisa geleng-geleng kepala, sambil bertanya-tanya: apa sih gunanya mereka itu? Sudah nggak mau bersuara membela para petani yang lahannya dicaplok, mingkem melihat alam dirusak, tapi rajin betul datang dan merusuhi acara-acara diskusi, tanpa bisa bikin cara protes yang lebih elegan dan bermartabat.
Kita sabar saja, sambil terus bergerak semampunya buat bikin melek anak-anak muda yang masih mau diajak berpikir dan membaca.
Semua acara itu sudah benar, tapi salahnya hanya satu: nggak ada istilah Eslam-nya.
Saya usul, lain kali, anak-anak yang peduli pelurusan sejarah bangsa dan masa depan republik ini, kalau bikin acara, jangan pakai judul yang ada kata “Kiri”, “65”, atau “Merah” dong! Sekali-sekali, coba pakai saja judul-judul ini:
Halaqah Pelurusan Sejarah Kebangsaan.
Zikir Kebangkitan Kesadaran Rakjat.
Tafakur Perjalanan Negeri Merdeka.
Tabayun Sejarah Bangsaku.
Pakailah unsur-unsur yang santun lagi mengilhami pencerahan dan tidak provokatif. Insya Allah aman.
Mau lebih aman lagi? Masukkan istilah-istilah Inggris atau pakai kosakata suku Pintupi atau Korowai atau Surma atau Nukak Maku. Pokoknya yang ormas-ormas itu nggak ngertilah.
Jangan lupa, ganti juga tema-tema sesi di spanduk. Kalau perlu, kasih kalimat-kalimat aduhai macam “One Juz One Pelurusan Sejarah”, “Manajemen Qalbu untuk Mengungkap Kejahatan Orde Baru”, atau “Cara Kilat Dapat Istri 4 Memahami Perilaku Soeharto”.
Oh, ya, Pak Presiden Jokowi, buat apa gedung perpustakaan tertinggi di dunia kalau alat negara juga parno dengan diskusi?