Akui Saja, Kita Suka Melamun soal Masa Depan daripada Mewujudkannya

Berpikir tentang masa depan memang sangat menyenangkan hingga kita kadang-kadang lebih suka melamunkannya daripada mewujudkannya.

Akui Saja, Kita Suka Melamun soal Masa Depan daripada Mewujudkannya

Akui Saja, Kita Suka Melamun soal Masa Depan daripada Mewujudkannya. (Mojok.co/Ega Fansuri).

MOJOK.COOtak kita gemar sekali membuat simulasi tentang kejadian di masa depan. Bahkan sekalipun kita sangat suka dengan masa sekarang.

Pernahkah kita bertanya mengapa ada begitu banyak orang rela mengeluarkan ongkos yang begitu besar untuk membayar orang-orang yang mereka anggap sanggup memastikan masa depan mereka, sebut saja pakar investasi, psikoterapis, penasihat spiritual, bahkan dukun atau ahli tarot?

Kita tentu tidak dapat menganggap itu sebagai tindakan main-main atau untuk kesenangan belaka. Mereka, sama seperti kita, akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa sesuatu yang mereka harapkan di masa depan akan terjadi jika mereka sekarang berbuat sesuatu untuk mempersiapkannya.

Tanpa kita sadari, otak kita gemar sekali membuat simulasi tentang kejadian di masa mendatang bahkan ketika kita secara sadar lebih menyukai berada di masa sekarang.

Ya, prestasi terbesar otak manusia adalah kemampuannya membayangkan benda-benda, kejadian-kejadian yang belum pernah ada di dunia nyata, dan kemampuan inilah yang memungkinkan kita berpikir tentang masa mendatang.

Daniel Dennet, seorang filsuf evolusioner terbesar abad ini mengatakan bahwa otak manusia adalah sebuah “mesin antisipasi”, dan menciptakan masa depan adalah prestasinya yang paling monumental.

Bahkan kemampuan ini bukan sekadar prediksi (predicting), akan tetapi kemampuan menciptakan hal-hal baru di masa depan (nexting).

Bagi generasi yang hidup di tahun 1930-an, membayangkan manusia mampu mendaratkan kaki di bulan adalah gagasan konyol. Tapi bagi kita yang hidup sekarang, akan menilai dengan cara yang sama untuk gagasan sebaliknya.

Menurut psikolog Albert Bandura, menjadi efektif dengan cara merekayasa sesuatu, mempengaruhi sesuatu, dan mengupayakan sesuatu terjadi, adalah kebutuhan mendasar manusia yang tanpa mereka minta berkembang begitu saja di otak mereka.

Sebagian besar perilaku kita, dari bayi hingga dewasa, adalah bukti tak terbantahkan dari kecenderungan ini. Karena itulah, jika Anda besok mendengar tangisan bayi pada tengah malam, singkirkan jauh-jauh dugaan bahwa ia sedang diganggu genderuwo, itu adalah cara si bayi mengendalikan keadaan karena dorongan rasa lapar.

Sebuah penelitian yang dilakukan E. Langer dan J. Rodin bertajuk “Long-Term Effect of a Control Relevant Intervention with the Institutional Aged” menyuguhkan fakta menarik.

Mereka membuat taman bunga bagi penghuni sebuah panti jompo. Kepada separuh dari partisipan (kelompok high-control), peneliti mengatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas perawatan dan pemeliharaan tanaman masing-masing.

Sebaliknya, kepada separuh partisipan lainnya (kelompok low-control), mereka mengatakan bahwa tugas pemeliharaan tanaman sudah dilimpahkan kepada petugas panti jompo. Enam bulan berselang, 30 persen penghuni panti jompo dari kelompok low-control telah meninggal, sementara dari kelompok high-control hanya 15 persen.

Apa artinya? Memiliki kemampuan memegang kendali atas apa yang dilakukan memberikan dampak positif bagi kesehatan dan kesejahteraan seseorang, sementara kehilangan semua itu berdampak sebaliknya.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa sekecil apapun, entah sejati atau ilusi, dorongan mengendalikan peristiwa di masa mendatang merupakan prediktor bagi kesehatan mental. Membayangkan kejadian-kejadian di masa mendatang selain bisa melahirkan optimisme, tindakan ini juga membentuk persepsi orang terhadap suatu tantangan.

Semakin ia mempersepsi positif sebuah tantangan, semakin yakin ia bahwa tantangan tersebut dapat dikendalikan. Sebaliknya, semakin ia takut dan berhati-hati mempersepsi sebuah tantangan, semakin nyata ia melihat tantangan tersebut sebagai ancaman.

Namun tidak semua kejadian yang bisa kita antisipasi di masa depan memberikan kita kepuasan. Kita akan mencapai kepuasan justru ketika kejadian-kejadian di masa depan tidak dapat kita pastikan sepenuhnya dari posisi kita sekarang.

Mengapa demikian? Sebab kepuasan hanya akan lahir ketika kita merasa tertantang untuk mengendalikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.

Itulah sebabnya mengapa ramalan kita bahwa esok hari matahari akan terbit dari arah Timur tidak cukup membuat kita merasa menjadi pemenang.

Kepuasan itu akan timbul dari suatu pengalaman bahwa kita sedang bergerak untuk mengendalikan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehingga kita mampu mereduksi variabel-variabel ketidakpastian.

Dengan kata lain, kita mencoba mewujudkan kepastian-kepastian di masa mendatang dari kondisi-kondisi yang tidak benar-benar pasti.

Saya berani memastikan bahwa tidak ada di antara kita yang merasa puas ketika menonton siaran tunda sebuah pertandingan sepakbola meski kita dapat memastikan klub mana yang bakal memenangkannya.

Benar, karena kita tidak merasa tertantang untuk mempengaruhi jalannya pertandingan. Kita tidak dilibatkan dalam membuat analisis tentang kekuatan masing-masing klub yang memungkinkan kita membuat prediksi tentang hasil akhir pertandingan.

Berpikir tentang masa depan memang sangat menyenangkan hingga kita kadang-kadang lebih suka melamunkannya daripada ingin segera menghadapi atau mewujudkannya.

Itulah mengapa orang-orang yang memiliki fantasi paling rumit dan dahsyat tentang rencana kencan dengan orang yang menyebabkan mereka susah tidur berpekan-pekan cenderung memilih untuk menunda-nunda peristiwa sangat mendebarkan itu ketimbang ingin segera merealisasikannya.

Membayangkan kejadian membahagiakan di masa depan memang memberikan sensasi kesenangan yang menegangkan, dan inilah yang membuat kita cenderung ingin mempertahankannya terus-menerus. Dan persis di titik ini kita akan berhadapan dengan sisi gelap imajinasi.

Mungkin kita tidak menyadari bahwa imajinasi kita bekerja lebih menyerupai seorang tukang sulap ketimbang nahkoda yang jujur. Ia mudah sekali mengecoh pikiran sadar kita dan menggiringnya untuk memperhatikan hal-hal yang menyenangkan saja dan mengabaikan hal-hal yang tidak menyenangkan.

Pikiran yang terbiaskan inilah yang membuat kita sering tergelincir dan menghasilkan prediksi-prediksi yang mentah: fiksasi bahwa kita sanggup mengendalikan kejadian-kejadian di masa mendatang.

Mengapa angka depresi, bahkan bunuh diri, orang-orang muda di banyak negara sekarang ini cukup tinggi?

Kausalitas sederhana menjelaskan bahwa mereka menyimpan banyak sekali harapan: memiliki karir bagus, menikah lebih lama, memiliki anak berbakat, tinggal di lingkungan yang tepat, panjang umur, gaji besar, liburan rutin, dan lain-lain.

Harapan yang semula menimbulkan rasa bahagia ini di kemudian hari berubah menjadi bencana ketika semuanya itu tidak terwujud.

Apakah fakta-fakta ini membuat kita jera memikirkan masa depan? Tidak!

Pada kenyataannya kita masih gemar memasang taruhan besar untuk sebuah pertandingan sepakbola ketika kita menganggap lawan kita tampak tidak kompeten, seolah-olah kita mampu mengendalikan setiap gerakan bola yang berujung pada keuntungan kita.

Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan? Tidak ada pilihan selain terus berjalan dengan berpedoman pada nasehat Bandura di atas: bayangkan, pengaruhi dan kendalikan.

Tanpa imajinasi kita hanya akan memiliki ingatan seperti mesin fotokopi, dan konsekuensinya kita yang hidup sekarang mungkin masih akan disibukkan oleh persaingan dengan mamalia-mamalia lain dalam memperebutkan sumber-sumber makanan yang tersedia di alam.

Tanpa imajinasi kita juga tidak akan memiliki apa pun yang disebut sebagai pengalaman subjektif, kondisi yang membuat kita kesulitan membayangkan lahirnya pemimpin yang lebih baik di masa mendatang dibanding—misalnya—Jokowi pada hari ini.

BACA JUGA Ketidakbahagiaan dan Harapan Spesies Kita atau tulisan Afthonul Afif lainnya.

Penulis: Afthonul Afif

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version