Aku Korban Pelecehan yang Dipaksa Memakai Hijab

Aku merasa bebas justru ketika menjadi ateis.

Aku Korban Pelecehan yang Dipaksa Memakai Hijab MOJOK.CO

Aku Korban Pelecehan yang Dipaksa Memakai Hijab MOJOK.CO

MOJOK.CODevina dipaksa memakai hijab oleh keluarganya yang tersohor itu. Dia menemukan “kebebasan” justru ketika menjadi ateis.

Beberapa waktu yang lalu, saya melakukan liputan pribadi. Saya melakukannya bukan untuk keperluan pekerjaan. Ada sebuah dorongan kuat untuk mengabarkan kisah yang bikin sesak ini… ketika seorang perempuan “dipaksa” memakai hijab oleh lingkungan terdekat, meski di dalam hatinya, agama sudah tak lagi bikin nyaman. Hatinya melawan, dia menjadi ateis.

Dan inilah kisahnya….

Devina, dia yang dipaksa memakai hijab, bukan nama sebenarnya. Dia tinggal di bilangan Jakarta Selatan. Usianya masih muda, 25 tahun. Devina berasal dari keluarga ekonomi mapan, bahkan keluarga besarnya tersohor di Jakarta, juga Indonesia. Paman dan bibinya biasa menghiasi layar kaca TV nasional, begitu juga ayah dan ibunya memiliki pengaruh kuat di bidang kerja masing-masing.

Semua kisah berawal dari bullying yang dialami Devina. Mohon maaf, saya tidak diizinkan menjelaskan detail perundungan yang dialami Devina semasa awal kuliah. Periode ini, meski pendek, menjadi masa-masa yang paling mengguncang bagi dirinya.

Dia yang memilih ateis ini merasakan sakit yang terama sangat di sebuah kampus di kawasan Jakarta Selatan. Devina menyimpan emosi di dada. Kondisi yang membuat nilai-nilainya hancur lebur. Padahal, saat SMP dan SMA, prestasinya luar biasa hebat, hingga menembus level nasional.

Stres berat akibat bullying itu memaksanya untuk rutin konsultasi ke psikolog klinis. Tak makin reda, hidupnya malah dipenuhi pergolakan dan tekanan batin dari luar dan dalam, terutama keluarga yang memaksanya memakai hijab. Bahkan akhirnya dia drop out dari kampus.

Devina divonis skizofrenia paranoid, untungnya belum akut. “Selalu ada suara-suara di telingaku yang mengajakku bunuh diri,“ kata Devina. Setiap minggu, dia harus mengunjungi psikiater dan mengonsumsi obat untuk meredakan tekanan yang dia rasakan.

Bakat Devina ada di menari dan melukis. Dunia artistik menjadi napas hidup Devina sejak kecil. Tapi dia sempat terperosok pada pilihan yang salah. Dia mengambil jurusan hukum yang baginya membosankan. Ini diambilnya sebagai bentuk perlawanan, yang akhirnya menjerumuskannya ke periode paling berat.

“Saya sudah mengingatkan, jiwanya itu seni, bukan menghafal pasal-pasal dalam KUHP,” sergah Romy, ayah Devina.

Pergulatan batin Devina dalam menemukan Tuhan dan keyakinan, sulit dibendung. Dia makin dekat menjadi ateis. Hal inilah yang membuat kedua orang tua Devina berang. Tak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya yang taat pakai hijab akhirnya murtad. Bagi keluarganya, Islam adalah agama paling sempurna.

Saat duduk di bangku SMP, Devina diam-diam memuji nama Yesus. Saat SMA, dia mencoba diam-diam meyakini dan masuk Kristen. Pertentangan itu tidak cuma di keluarga intinya, tapi keluarga besarnya yang tersohor.

Devina pernah dipaksa masuk pesantren khusus putri di Jakarta Selatan oleh pamannya. Devina berusaha “dibentuk” menjadi muslimah yang “benar”. Dia diajari memakai hijab yang benar, berperilaku seperti layaknya muslim yang taat. Namun, di lingkungan yang seharusnya mencerahkan, Devina mengalami pelecehan seksual di dalam lingkungan pesantren. Kisah pedih itu diceritakan pada ayah dan ibunya.

Namun, ayah dan ibunya tidak menganggap keluhan Devina secara serius. Keluhan Devina bahkan dianggap sebagai bualan dan kenakalan remaja. Sikap kedua orang tuanya ini melahirkan salah satu kekecewaan terbesar di dalam hati Devina. “Pengurus pesantren meraba pahaku, pantatku, dan bagian tubuh lainnya, tapi orang tuaku tidak percaya“ katanya.

Pelecehan seksual ketika remaja, kekecewaan kepada orang tua, peristiwa di awal kuliah yang sangat mengguncang membuat Devina seperti hidup dalam awang-awang. Sejak kecil, dia hidup dalam keterpaksaan, termasuk harus memakai hijab, yang tidak pernah bisa dia nikmati. Hidupnya berliku, perih, sampai pada suatu titik, dia memutuskan menikahi teman lelaki yang pernah ditemuinya di pesantren. Lelaki dari keluarga Betawi totok.

Perkawinan itu tidak pernah langgeng. Si suami tak menafkahi secara materi, dan Devina tak sanggup menjalankan Syariat Islam seperti yang dituntut suaminya. Hijab yang digunakan terpaksa, cuma untuk kamuflase dan jadi alat menghindari amukan kedua orang tua dan suaminya.

“Tekanan itu terus kuterima. Tapi kata mereka, posisi anak harus berbakti pada orang tua. Selagi mereka masih hidup, aku akan pakai hijab demi mereka. Aku marah sama mereka. Tapi aku nggak bisa melawan. Nggak tahu kenapa. Aku cuma bisa melawan dengan pelarian,“ ujarnya.

Berangsur Devina mulai kehilangan pegangan pada Islam maupun Kristen, tapi dia masih meyakini Tuhan, meski sudah sangat tipis. “Sebetulnya, awalnya, aku cuma nggak percaya agama.”

Retaknya perkawinan memicu perceraian. Meski baru seumur jagung, tapi Devina tetap teguh ingin bercerai dengan suaminya secara resmi. Pernikahannya dulu digelar secara Islam. Pesta yang sangat unik dan sederhana, dengan dekorasi penuh bunga dan sayur-mayur.

“Sekarang aku benar-benar tidak percaya Tuhan dan agama lagi. Bukan agnostik lagi, tapi ateis. Sampai kapan aku harus pakai hijab ini, demi mereka (orang tua) dan orang-orang itu,“ ujar Devina lesu.

Selama pandemi Covid-19, Devina bertahan hidup dari bantuan ayah dan ibunya. Suaminya tak berkontribusi lagi dalam kehidupannya. Mungkin, kenyataan ini yang membuatnya tak bisa benar-benar melawan orang tua. “Aku tak peduli dengan cibiran orang karena pilihan menjadi ateis. Aku menderita, berkali-kali mau bunuh diri. Tidak ada orang yang memahamiku, termasuk saat aku di-bully dan dilecehkan,“ katanya dengan mata berkaca-kaca. Namun, nada bicaranya justru lebih ringan dan terasa bebas ketika mengekspresikannya.

Saya yakin kejadian yang menimpa “Devina” ini banyak terjadi di tempat lain. Ketika perempuan tidak hidup dalam dunia yang dia angankan. Mereka dipaksa untuk patuh, meski harus menjadi ateis, sangat jauh dari Tuhan.

Saya tidak ingin berbagi “pesan moral” lewat tulisan ini. Saya hanya ingin menceritakan kembali, tentang sebuah kenyataan yang terjadi di sekitar kita. Tentang hubungan rumit antara orang tua dan anak, antara anak dan Tuhan, tentang hijab dan hati yang tak tentram.

Biarlah tulisan ini mengambang. Seperti perasaan Devina saat ini. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi kepada hijab yang jadi simbol tekanan dan rasa bebas justru ketika jadi ateis. Kepada kamu sekalian yang sedang berada dalam tekanan, saya doakan, kalian punya sisa kekuatan untuk bertahan hidup.

BACA JUGA Kesehatan Mental dalam Isu Pandemi Corona dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version