MOJOK.CO – Risma, tak bisa tidak, memang harus bisa menjaga posisi sebagai menteri sosial pembantu presiden sekaligus kader PDIP.
Ketika membaca berita-berita soal sepak terjang Risma sebagai menteri sosial baru yang rajin blusukan, saya menganggap bahwa Risma sedang kurang fokus saja, alias masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Karena itu, saya menduga, transisi dari walikota berprestasi menjadi menteri sosial bakal berjalan mulus secara legal formal, namun secara sikap dan perilaku, Risma akan masih sangat terpengaruh oleh jabatan lamanya sebagai kepala daerah.
Sebagaimana diketahui, walikota, layaknya bupati, memang memiliki tingkat otonomi yang tinggi, kekuasaannya nyaris seratus persen atas daerahnya. Karena itulah kemudian sering diistilahkan dengan sebutan “raja kecil”. Dan karena itu pula tampaknya Risma masih akan berperilaku bak kepala daerah: blusukan seperti pejabat yang takut kalau-kalau kehilangan jabatan jika tak bertemu para pemilih setiap hari.
Bahkan, berbeda dengan gubernur yang satu kakinya ada di Jakarta sebagai wakil pusat dan satu kaki lagi sebagai kepala wilayah provinsial, seorang menteri, bagaimanapun, kedua kakinya adalah perwakilan dari kaki presiden. Kemana ia melangkah, kebijakan apa yang ia telurkan, akan berimplikasi pada performa seorang presiden. Karena pemahaman ini, saya akhirnya menduga bahwa Risma sedang dalam proses penyesuaian dan saat pertama kali blusukan, ia lupa kapasitasnya.
Kendati demikian, aksi blusukan yang ia lakukan itu sebenarnya juga bisa diartikan sebagai sebuah usaha kesadaran diri bahwa dirinya adalah menteri yang menjadi cerminan presiden. Risma berlaku demikian karena Risma merasa mewakili Jokowi, sehingga ia langsung menjiplak gaya lama Jokowi yang wara-wiri dari selokan ke selokan, dari gang ke gang, dari kampung ke kampung.
Ini tentu menjadi hal yang menarik. Pertanyaan selanjutnya, mengapa hanya Risma? Mengapa menteri lain, yang secara legal formal maupun secara politik, adalah juga perwakilan dari wajah Jokowi, tidak berlaku sama? Semisal menteri KKP baru yang kemudian ujuk-ujuk menyelam di laut Natuna atau ikut para nelayan melaut?
Kemudian pertanyaan atributif lainnya yang juga signifikan muncul adalah mengapa mendadak aksi Risma tersebut dihadap-hadapkan dengan Anies Baswedan, Gubernur DKI? Bukankah kurang sepadan? Bukankah mereka ada di liga berbeda?
Nah, di sinilah perkaranya saya kira, yang bisa menjadi pertanyaan yang akan mengungkap semua pertanyaan utamanya.
Dalam proyeksi politik para analis dan pengamat kelas satu Indonesia, Risma adalah calon penantang Anies agar Risma tak menjadi calon penantang Puan untuk menjadi RI1 atau RI2 di internal PDIP.
Walhasil, dengan logika proyektif demikian, aksi dan kebijakan Risma diperkirakan tidak saja untuk men-delivery semua program sosial yang telah ditelurkan dalam kapasitasnya sebagai menteri, tapi juga harus mampu menyenggol Anies Baswedan, dalam kapasitasnya sebagai bakal calon gubernur DKI di 2022. Jika perlu, senggolan-senggolan tersebut sebisa mungkin mampu mendorong Anies jatuh ke dalam aliran Kali Ciliwung, hanyut sampai ke laut, lalu terdampar di pulau reklamasi yang belum ada jembatannya ke daratan Jakarta itu.
Dengan kata lain, Anies mendadak selesai, kurang populer lagi di Jakarta, berganti dengan Risma yang lebih tenar.
Memang rasanya agak aneh. Seorang Risma yang biasa teriak-teriak bebas di Surabaya demi mulusnya pelayanan publik untuk semua kalangan, mendadak dicandra pencitraan dan penuh dengan nuansa politis. Ibarat bertemu kawan lama, yang dulunya dikenal sering membantu dengan tulus, lalu saat bertemu lagi justru mendadak penuh perhitungan dan selalu mempertanyakan feedback dari setiap bantuan yang ia tawarkan. Tapi ya memang begitulah kesan yang dipahami publik.
Saat Risma menjadi walikota, setiap aksi ciamiknya nyaris terasosiasi dengan jabatannya sebagai walikota semata. Orang-orang kurang terpengaruh untuk membawa-bawa statusnya sebagai kader PDI kala itu. Bahkan di periode kedua kepemimpinannya di Surabaya, yang otomatis tak berkesempatan lagi untuk maju, aksi-aksinya masih jarang dikait-kaitkan dengan political will dari PDIP. Semua aksinya nyaris dianggap berlangsung di dalam koridor kreativitas seorang Risma sang walikota Surabaya yang populis populer.
Dan kini, masa itu akhirnya datang juga. Status walikota Risma sudah terlepas, yang tersisa kini adalah statusnya sebagai pembantu presiden, yang mewakili jatah PDIP sebagai anggota koalisi di dalam kabinet. Jadi ada dua status sekaligus. Pembantu presiden dan kader PDIP. Satu kakinya terikat ke Jokowi dan satu lagi terikat ke Megawati dan PDIP.
Secara konstitusional, Risma bertanggung jawab kepada presiden, sedangkan secara politik, Risma bertanggung jawab kepada PDIP. Jadi di satu sisi, Risma harus bekerja ciamik agar bisa melahirkan berbagai prestasi di kementerian sosial untuk Jokowi, tapi di sisi yang lain, setiap aksi dan prestasi tersebut, bagaimanapun caranya, harus juga bisa memenuhi ekspektasi PDIP terhadap dirinya, yakni memepet Anies Baswedan, agar tak terlalu banyak mendapat tempat untuk tetap parkir di Jakarta. Sebab memang tak bisa dimungkiri, DKI1 adalah jabatan yang memang kerap dianggap sebagai RI3 secara porsi lampu sorot dan kepopuleran.
PDIP besar kemungkinan memang menginginkan Risma berhadapan dengan Anies di Pilkada 2022 nanti. Jika itu bisa diwujudkan dan ternyata menang, maka, pertama, Puan akan kehilangan satu kompetitor populer di dalam PDIP, untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden. Kedua, trah Soekarno akan tetap tak tersentuh di dalam PDIP. Dan ketiga, kaki PDIP di Jakarta kembali tertancap, yang mana tentu saja menjadi indikator dan prasyarat bagus untuk memenangkan pemilihan presiden di 2024.
Hal tersebut tentu menjadi skenario yang paling masuk akal. Tak mungkin Puan diminta untuk menghadapi Anies di 2022, yang kalau menang, kemudian mengambil sikap seperti Jokowi: dua tahun jadi gubernur lalu maju sebagai calon presiden.
Tentu efeknya akan berbeda karena konstelasi politiknya juga sudah tak sama. Setidaknya, dengan menguasai kursi ketua DPRD, lalu kursi presiden petahana yang sudah tak bisa maju lagi (Jokowi), dan kursi Gubernur Ibukota jika Risma menang, maka sinyal-sinyal kemenangan akan semakin kuat untuk PDIP, dan juga untuk Puan.
Jadi saya kira, dalam kerangka inilah pertanyaan tentang mengapa Risma mulai blusukan bak tokoh politik yang sedang dikejar target bisa dijawab. Dan tentu tak adalah masalah dengan itu. Risma, sebagai warga negara, sebagai kader partai, sebagai mantan walikota berprestasi, dan kini sebagai menteri sosial, sangat berhak untuk melanjutkan karier politiknya di Jakarta, sebagai Gubernur Ibukota DKI Jakarta. Setidaknya dalam kacamata pengamat politik Indonesia, Risma memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan untuk maju sebagai calon Gubernur DKI tahun 2022.
Hanya saja, sebagai Menteri Sosial, Risma tentu diharapkan oleh publik agar lebih fokus merealisasikan kebijakan dan program kementerian sosial, yang efeknya dirasakan oleh masyarakat Indonesia, bukan hanya masyarakat Jakarta. Karena dengan cara itulah Risma akan semakin layak untuk maju ke level politik selanjutnya di Jakarta. Dengan kata lain, level pencitraan sebaiknya dikurangi, aktualisasi kebijakan dan program kementerian sosialnya diutamakan, sebagaimana Risma mengutamakan masyarakat Surabaya selama menjadi walikota.
BACA JUGA Berislam dengan Ilmu Pengetahuan Jauh Lebih Penting Ketimbang Sekadar Berislam dengan Khilafah dan tulisan Ronny P. Sasmita lainnya.