4 Alasan Pentingnya Memberi Penghargaan untuk Bu Komisioner KPK

Dikasih Kalpataru misalnya. Soalnya blio itu sudah membantu membersihkan lingkungan para koruptor.

4 Alasan Pentingnya Memberi Penghargaan untuk Bu Komisioner KPK MOJOK.CO

4 Alasan Pentingnya Memberi Penghargaan untuk Bu Komisioner KPK MOJOK.CO

MOJOK.COIni adalah alasan kenapa Bu Komisioner KPK yang melakukan pelanggaran perlu diapresiasi, bahkan kalau perlu diberi penghargaan.

Salah satu ajaran klasik yang kita tahu dan kerap kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari adalah prinsip reward and punishment. Siapa yang berprestasi mendapat hadiah, siapa yang melakukan kesalahan mendapat hukuman.

Sedikit mirip dengan sistem “stick” and “carrot”, siapa yang baik akan mendapatkan wortel (hadiah) dan yang tidak baik akan mendapatkan pentung (hukuman). Ajaran ini dipegang dari dulu hingga sekarang. Tak perlulah rasanya kita bedah hingga filsafat penghukuman.

Apakah hukuman itu bersifat rasional seperti perbuatan baik itu rasional, atau yang lebih sosiologis karena perbuatan itu dipuji-puji masyarakat, karena toh perbuatan baik juga merupakan bentuk kesepakatan masyarakat.

Mengukur hukuman pun berbeda, antara yang percaya hukuman adalah konteks sosial, biarkan hukuman itu datang dari konsepsi sosial. Logika hakim yang menyidangkan Juliari “Bansos” misalnya, kira-kira juga memakai prinsip itu.

Bahwa dalam logika hakim kasus “Bansos” tersebut, hukuman sosial itu bisa dipakai sebagai sarana mengurangi hukuman yang seharusnya. Menjadi sesuatu yang meringankan.

Nah, dalam konteks tersebut, ada baiknya kita mengikuti logika hakim kasus “Bansos”. Agar kita bisa memahami bahwa Bu Komisioner KPK yang melakukan pelanggaran dan mendapatkan hukuman etik atas perbuatannya tidak dicaci-maki lagi. Bahkan, saya kira, kita semua perlu untuk mengapresiasinya.

Pertama, apa yang dilakukan si Ibu Komisioner KPK adalah mendekati orang yang sedang diproses hukum lalu meminta hal tertentu. Ada intensi untuk mendekati, bahkan ada upaya untuk memfasilitasi.

Bukan cuma itu, patut diduga si ibu malah mencoba melakukan sesuatu dengan imbalan sesuatu. Saya tidak membayangkan itu sebagai suatu pelanggaran biasa. Itu adalah “kebaikan” yang sesuai dengan tren pemerintahan saat ini.

Anda pasti masih ingat politisi yang pernah jadi Wakil Ketua DPR, yang secara gegap gempita mengatakan harusnya KPK yang baik itu adalah menegur jika ada kesalahan sehingga pihak yang ditegur bisa memperbaiki dulu. Baru ketika pihak yang ditegur ngeyel, maka proses penangkapan dilakukan.

Si wakil rakyat itu mengistilahkan, KPK harus ingatkan tatkala ada lubang, supaya koruptor bisa menghindar. Saya yakin Anda belum lupa. Itu lho, yang sekarang pindah partai dan bikin partai baru yang nama partainya mirip nama stadion di Jakarta. Tapi sungguh, bukan hanya dia, Presiden sendiri pernah meminta hal yang kurang lebih sama.

Makanya, sebenarnya yang dilakukan Bu Komisioner KPK hanyalah melanjutkan gaya pemberantasan korupsi gaya yang sesuai dengan ide-ide tersebut.

Ide bahwa koruptor itu baiknya jangan buru-buru ditangkap. Jalin komunikasi lah, jalin pembicaraan yang baik lah, dan jaga sikap saling pengertian dengan para koruptor.

Bahwa dalam kasus Bu Komisioner KPK, dia meminta sesuatu dari sang koruptor tentu saja itu persoalan lain. Tapi janganlah langsung musuhi koruptor, tetaplah jalin komunikasi agar saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang, bukan?

Toh, dengan menjadi sayang ke terduga koruptor, maka akan muncul perasaan segan untuk menghukum keras. Dan dengan tak ada hukuman keras, terduga koruptor bakalan jadi penyintas yang pantas jadi pengkhotbah anti-korupsi ke depannya.

Tampaknya, Bu Komisioner KPK sangat paham untuk persoalan satu ini. Bahwa untuk memahami korupsi, kadang-kadang kita memang perlu sedikit mendekati tindakan-tindakan yang koruptif.

Kedua, dalam berita lain dikatakan bahwa ada kemungkinan jalinan komunikasi yang dilakukan oleh Bu Komisioner KPK itu juga terjadi di beberapa kasus lain.

Yah, yang namanya dugaan, tentu saja butuh verifikasi. Tapi jangan Anda curigai itu sebagai sifat koruptif dan tindakan pidana. Meskipun ada aturan di UU lembaga itu yang masih ada sampai saat ini soalan dilarang bertemu dengan pihak yang sedang berperkara. Bahkan ada ancaman pidananya.

Ta-tapi tunggu dulu, Anda terlalu berprasangka buruk kalau menganggap dia layak dipidana. Bukankah perintah kitab suci mengatakan dan mewajibkan orang-orang yang beriman agar menjauhi kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa?

Jadi, Anda harap paham, Bu Komisioner KPK itu sedang menyampaikan salah satu doktrin penting dalam prinsip Aparatur Sipil Negara, yakni “pelayanan prima”.

Bu Komisioner KPK sedang melakukan tugas mulia untuk melakukan pelayanan prima. Pelayanan yang menyasar siapa saja, tanpa terkecuali, khususnya yang menjadi pelanggan atas pelayanan publik lembaga itu melalui pemberantasan korupsi.

Dalam pelayanan itu, Bu Komisioner KPK menemui orang yang berperkara. Ada semangat yang membara di dalam hati Bu Komisioner untuk profesional dan melayani dengan baik.

UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) memerintahkan itu. Dan memang, lembaga itu  sekarang sudah menjadi ASN dan harus berbirokrasi gaya ASN. Makanya, lembaga itu pun harus memiliki jiwa pelayanan prima dan menjadikannya salah satu “password” wajib.

Dalam pemberantasan korupsi, sekali lagi jika benar dia menjalin komunikasi di beberapa perkara lain, maka sangat mungkin di benak Bu Komisioner bahwa itu adalah bagian dari tugas suci pelayanan prima ala ASN. Wabilkhusus terhadap orang-orang yang sedang berperkara di KPK.

Ketiga, tindakan Bu Komisioner KPK itu telah melalui sidang etik.

Dia sudah dijatuhkan sanksi. Peduli apa dengan kemungkinan bahwa dia harus diberhentikan atau harus menyatakan mundur dan yang lainnya? Toh, sanksi “berat” juga sudah dijatuhkan.

Pemotongan gaji sebesar 40%. Bayangkan, jauh melebihi zakat yang hanya 2,5%. Perkara itu hanya gaji pokok yang setelah dihitung ternyata take home pay-nya masih sangat besar dan ternyata potongan 40% hanya berpengarhuh kurang dari 2% (alias di bawah rate zakat) atas pendapat keseluruhan, itu soal lain.

Tidak boleh ada yang namanya dobel sanksi. Bahwa peraturan memberikan kata pilihan atau akumulasi misalnya dengan merekomendasikan pengunduran diri, sekali lagi itu soalan lain.

Kita tak boleh kejam dengan Bu Komisioner KPK yang sudah bahu-membahu dengan komisioner lain terkhusus ketua dalam upaya suci memberantas pemberantasan korupsi, eh, maksud saya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Keempat, Bu Komisioner KPK sudah menunjukkan suri teladan dengan kesabaran.

Bayangkan, dia sama sekali tak menyesal dengan semua perbuatannya. Dia rela dirinya dihujat demi menyelamatkan jabatan, maksud saya menyelamatkan wajah lembaga. Bu Komisioner KPK rela menjadi lilin yang meleleh demi menerangi sekelilingnya.

Saya pun terharu menuliskan ini. Seakan ada irisan bawangnya. Tapi sungguh, pengorbanan Bu Komisioner melebihi pengorbanan guru yang biasanya disebut tanpa tanda jasa itu.

Atau guru honorer yang demi alasan politik pemilu dijanjikan akan diangkat menjadi ASN dan hingga sekarang tak kunjung terlaksana karena tahun politiknya sudah selesai dan silakan tunggu lagi janji manis itu di tahun 2024. Bu Komisioner lebih dari itu semua. Salut buat beliau.

Nah, melihat kebaikan-kebaikan dari Bu Komisioner itu, saya pikir sudah selayaknya Bu Komisioner tidak dihukum, tapi sebaliknya, harus diberi penghargaan.

Dia harus diganjar dengan beberapa penghargaan. Alasannya mudah untuk dicari. Saya kepikiran dia layak mendapat Piala Oscar atau sekurang-kurangnya Piala Citra untuk peran pembantu.

Mungkin bisa juga Kalpataru, bagi sosok tertentu yang sudah membantu membersihkan lingkungan. Setidaknya, lingkungan para koruptor di negeri ini bisa jadi makin bersih dari usaha penegakan hukum.

Atau bisa jadi, Nobel Perdamaian. Terutama dalam upayanya mendamaikan koruptor dengan usaha pemberantasan korupsi di negeri ini.

BACA JUGA Putusan Sidang Kode Etik Wakil Ketua KPK: Mengharap Rasa Malu dalam Drama yang Belum Berlalu dan tulisan Zainal Arifin Mochtar lainnya.

Exit mobile version