3 Senjata Legendaris Indonesia: Keris, Bambu Runcing, dan Gunting

Dari sekian banyak senjata yang ada atau pernah ada di Nusantara ini, ada tiga senjata yang paling perlu digarisbawahi: keris empu gandring, bambu runcing, dan gunting.

MOJOK.COOkelah, senjata kayak Keris Empu Gandring punya kesaktian, bambu runcing terlalu banyak diromantisir dalam sejarah, tapi kenapa ada gunting?

Penduduk negeri kepulauan ini punya banyak memori komunal turun-temurun tentang berbagai senjata legendaris. Banyak di antaranya termasuk kategori pusaka, pun dipandang menyimpan tuah.

Isi kitab-kitab kuno, pahatan relief di berbagai candi, hingga aneka cerita rakyat turun-temurun kurang lebih menggambarkan bahwa memori tentang senjata-senjata memang hidup dalam bangsa ini.

Saking kuatnya memori komunal soal senjata dalam budaya masyarakat negeri ini, maka militer republik ini mengadopsi nama-nama senjata untuk dilekatkan sebagai baptis bagi kapal-kapal selam (kasel) dan kapal cepat rudal (KCR), hingga penyebutan bagi banyak kesatuan prajurit.

Tepatnya kapal-kapal selam dinamai Angkatan Laut memakai nama-nama pusaka tokoh-tokoh pewayangan; kapal cepat rudal dinamai memakai nama-nama senjata tradisional dari berbagai suku.

Umumnya senjata-senjata yang sedang kita bicarakan ini datang dari kategori senjata tajam: tombak, panah, pedang, hingga berbagai varian senjata tusuk semacam keris, kujang, rencong, dan seterusnya.

Di luar kategori tadi, ada pula dikenal senjata pukul semacam gada. Lalu, ada juga sejumlah meriam yang dipandang penuh hormat hingga dikeramatkan di berbagai kota. Contohnya ya Meriam Si Jagur di Jakarta, Meriam Ki Amuk di Banten, serta Meriam Nyai Setomi di Solo.

Namun, dari sekian banyak senjata yang ada atau pernah ada di Nusantara ini, rasanya ada tiga senjata yang paling perlu digarisbawahi. Ini karena tiga senjata itu memiliki tingkat keampuhan maupun kelegendarisan atau popularitas yang mengungguli senjata-senjata lainnya.

Nah, berikut merupakan list rinciannya: 

Keris Empu Gandring

Jika merujuk peta persebaran keris dalam buku The Kris karya David van Duuren, daerah-daerah yang mengenal keris selaku senjata tradisionalnya tidak cuma sebatas yang sekarang masuk teritori negara Indonesia.

Persebaran senjata tusuk ini bahkan ditemukan di Semenanjung Malaya yang sekarang menjadi bagian negara Malaysia, juga ditemukan di Kepulauan Sulu dan Pulau Mindanao yang sekarang menjadi bagian negara Filipina.

Contoh keris yang melegenda di luar Pulau Jawa adalah keris Taming Sari begitu tersohor di Malaysia dan Riau, lalu keris Siginjai yang dipusakakan oleh masyarakat di Jambi.

Namun, dari sekian banyak keris yang ada, rasanya kita tak bisa mengabaikan kelegendarisan satu keris dari abad XIII Masehi alias tahun 1200-an. Keris tersebut adalah keris Empu Gandring. Kisah tentang keris ini menghiasi kitab Pararaton yang ditaksir ditulis sekitar 1481 atau 1603.

Jika merujuk isi Pararaton, keris yang dinamai menurut nama sang empu penciptanya itu membawa kutukan yang membawa kematian tragis sejumlah anggota Wangsa Rajasa, para penguasa Kemaharajaan Tumapel-Singhasari yang eksis di Jawa Timur nyaris sepanjang abad XIII.

Kutukan maut tadi konon berasal dari ucapan Empu Gandring yang ketika masih hendak menyempurnakan proses pembuatan kerisnya justru ditusuk oleh Ken Angrok sang pemesan keris:

“Ki Angrok, kang amateni ring tembe keris iku, anak-putunira mati dening kris iku, olih ratu pipitu tembe keris iku amateni” (“Bujang Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak-cucumu akan mati oleh keris itu, tujuh orang raja akan mati oleh keris itu”).

Angrok kemudian akan naik menjadi maharaja pertama Tumapel-Singhasari sekaligus pendiri Wangsa Rajasa. Itu terjadi setelah ia membunuh atasannya sendiri, Tunggul Ametung, juga menikahi istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes.

Selama bertahun-tahun, saya tak terlalu menganggap serius kisah tentang keris Empu Gandring dan kutukannya. Pasalnya, jumlah penguasa yang mati secara tragis setelah Empu Gandring mengucap kutukannya ternyata dikisahkan Pararaton tak sampai menyentuh angka tujuh.

Namun, setahun terakhir, setelah melengkapi apa yang saya baca dari Pararaton dengan membaca beberapa versi analisis atas Prasasti Mula Malurung, rasanya saya mesti berhenti meremehkan kisah kutukan keris Empu Gandring.

Kisah dari Pararaton dan kisah dari Mula Malurung manakala disinkronisasi ternyata bisa menghasilkan list tujuh penguasa Wangsa Rajasa yang mati tragis pada abad XIII.

Cuma ada catatannya ya, sampai sekarang bentuk fisik dari keris Empu Gandring tidaklah diketahui keberadaannya.

Bambu Runcing

Senjata ini tak bisa disangkal adalah senjata yang sangat populer bagi orang Indonesia dalam ¾ abad terakhir. Ia wira-wiri dalam kepala maupun ikut muncul mewarnai pembicaraan seputar jalannya Perang Revolusi Kemerdekaan 1945 – 1949.

Monumen-monumen tentang Perang Revolusi Kemerdekaan acap dihiasi patung atau relief yang menggambarkan sosok pejuang dengan bambu runcing di tangannya. Beredar pula cerita bahwa tentara-tentara Belanda sangat jeri kepada bambu runcing, takut sekali kalau sampai harus mengalami luka menganga di badan jika sampai tertusuk olehnya.

Namun, orang Indonesia sayangnya jadi suka terlalu terbuai tentang kisah bombastis bambu runcing. Bambu runcing memang bukannya sama sekali tidak dikenal orang-orang Nusantara di masa silam. Ini tentu sesuatu yang mudah dibuat oleh para leluhur kita dari sekian abad silam.

Pertama, bambu mudah ditemukan di mana-mana. Kedua, sudah belasan hingga puluhan abad pula orang di Nusantara mengenal teknik metalurgi, yang tentunya menjadi jalan untuk menghasilkan parang, sabit, dan pisau, alat-alat yang dipakai untuk meruncingkan batang bambu menjadi bambu runcing.

Cuma ya itu tidak lantas membuat bambu runcing lantas diandalkan sebagai senjata dalam perlawanan-perlawanan bersenjata melawan Belanda di tahun-tahun 1600-an hingga 1900-an awal.

Prajurit-prajurit kerajaan lokal dahulu maupun rakyatnya kalau memerangi para serdadu Kolonial nyatanya ya lebih lazim memanfaatkan tombak, kelewang, keris dan aneka senjata tusuk lainnya, gendewa dan panah, ketapel, pistol locok, senapan lantak, dan seterusnya.

Bambu runcing mungkin lebih merupakan pilihan ke sekian sebagai senjata. Lalu ketimbang sebagai senjata, bambu runcing lebih banyak dimanfaatkan sebagai pagar pengaman perkampungan atau pembentuk sistem perbentengan sederhana.

Bambu runcing yang lantas populer bagi orang Indonesia sebagai senjata sederhana simbol perjuangan revolusi kemerdekaan sejatinya bisa bisa diyakini tumbuh dari kebijakan Tentara Pendudukan Jepang pada 1942-1945.

Semasa periode pendudukan 3,5 tahunnya, Jepang mempopulerkan penggunaan bambu runcing sebagai alat latihan beladiri dan perang-perangan bagi para pemuda Indonesia. Kan tidak perlu menyediakan bedil beneran. Solusi murah untuk menumbuhkan militansi. Dalam istilah pihak Jepang, bambu runcing dinamai sebagai takeyari.

Pemanfaatan bambu runcing sebagai alat murah latihan perang dan penumbuh militansi rakyat tetap dilanjutkan pihak Indonesia pada awal Perang Revolusi Kemerdekaan. Namun, bambu runcing nyatanya tidak pernah diandalkan dalam pertempuran riil.

Bahwa bambu runcing sebenarnya tak pernah benar-benar diandalkan militer Indonesia dalam Perang Revolusi Kemerdekaan kiranya bisa diwakili oleh sepenggal episode pada sekitar 1946 di Sumedang, Jawa Barat.

Kepala Staf Umum TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, menginspeksi satu resimen tentara yang seluruhnya bersenjata bambu runcing. Kepada Kolonel AH Nasution yang mendampinginya, Oerip berbisik sembari tersenyum kecil mengomentari pasukan yang diinspeksinya.

“Nas, kamu suruh aku periksa pagar bambu ya?”

Dalam berbagai pertempuran yang ada melawan Sekutu maupun Belanda, tentara Indonesia dan laskar-laskar pejuang nyatanya ya memang mengandalkan senjata-senjata api. Mereka memanfaatkan pula mortir serta meriam.

Menurut catatan Belanda tentang kondisi persenjataan tentara Indonesia di Jawa pada akhir 1948, ada sekitar 90.000 senapan, 5.000 senapan mesin aneka tipe, 1.000 mortir, 10.000 granat tangan, hingga 100 meriam artileri medan maupun antitank dan penangkis serangan udara.

Gunting

Soal keampuhan, keris Empu Gandring maupun bambu runcing aslinya masih kalah dari sebuah gunting. Namun, guntingnya bukan sembarang gunting.

Gunting tersebut adalah guntingnya Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan Kabinet Hatta II semasa Republik Indonesia Serikat. Gunting Sjafruddin tepatnya adalah kebijakan sanering alias pemotongan nilai uang.

Ini tepatnya diberlakukan 10 Maret 1950 hingga 9 Agustus 1950, dengan maksud mengurangi terlalu banyaknya uang kertas yang beredar dan sekaligus mengatasi tingginya inflasi.

Uang yang terkena kebijakan Gunting Sjafruddin ini adalah uang-uang yang diedarkan pihak NICA selama Perang Revolusi Kemerdekaan, dengan pecahan 5 Gulden/Rupiah ke atas.

Jadi, yang dinamakan pemotongan mata uang saat itu benar-benar dilakukan secara harfiah. Separuh sisi kiri bisa dipergunakan kembali dengan nilai setengah nila semula; separuh sisi kanan dijadikan surat obligasi yang rencananya akan dibayar Pemerintah Indonesia 30 tahun kemudian.

Sebuah solusi brilian yang sepertinya dilanjutkan dengan sedikit salah kaprah oleh Indonesia, terutama belakangan-belakangan kita. Bukan dalam bidang ekonomi tentunya, tapi bidang hukum: utamanya soal masa hukuman para koruptor di negeri ini—yang sama-sama pakai gunting.

Bedanya, dulu gunting dipakai untuk mengendalikan inflasi mata uang, sekarang “gunting” dipakai untuk mengendalikan durasi penjara bagi begundal-begundal negara.

Gunting-gunting sakti pengadilan, gunting-gunting pemotong rasa keadilan.

BACA JUGA Yang Terjadi kalau Majapahit Masih Eksis hingga Hari Ini dan tulisan Yosef Kelik lainnya.

Exit mobile version