3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini MOJOK.CO

Ilustrasi 3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMengamati Indonesia hari ini, kita bisa memetakan 3 rupa nasionalisme. Di sana ada keluguan, posisi, hingga rasional. Mana yang sedang kamu rasakan? 

Apakah Anda pernah berpetualang? Ke mana saja, melihat Indonesia, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika sedang melakukannya, coba sambil mendengarkan lagu “Tanah Airku”. 

Saya yakin akan ada perasaan bergetar di dalam hati. Bisa saja, Anda akan menitikkan air mata karenanya.

Konon, si penulis lagu menciptakan lagu ini menggunakan air mata, perasaan kangen luar biasa, dan rasa nasionalisme yang tinggi. Sang penulis lagu bernama Saridjah Niung. Kebanyakan dari kita mengenalnya sebagai Ibu Sud

Saat itu, Ibu Sud tengah terbaring sakit. Dia melihat ke jendela yang penuh salju turun dan menangis. Lalu, lahirlah lagu “Tanah Airku”. 

Sesuatu yang diciptakan dengan air mata dan hati itu memang sulit tertolak. Bayangkan saja lirik “maut” itu. 

Tanah airku tidak kulupakan

Kan terkenang selama hidupku

Biar pun saya pergi jauh

Tidak kan hilang dari kalbu

Tanahku yang kucintai

Engkau kuhargai

Ketika menulis artikel ini, saya langsung terbayang kesyahduan dan rasa khusyuk-nya. Tak heran, bahkan para pemain naturalisasi PSSI yang baru saja hijrah jadi warga negara Indonesia tak kuasa menahan air mata. Apalagi pemain lokal yang sudah lama bermain untuk tim nasional.

Nasionalisme lugu di balik perasaan

Tapi tunggu dulu. Bisa jadi ada faktor lain di balik tangisan atau tak menangis. Bisa jadi ada yang mau nangis, tapi air matanya sudah kering. Sudah teramat sering dikecewakan oleh negeri, yang dia cintai dan mau dia tangisi. 

Mungkin, karena sudah teramat lama tahu cerita buruk dan busuk dalam negeri, nasionalisme itu terkikis menjadi rasa marah. Ujungnya bisa jadi tetap menangis, tetapi bukan karena kesyahduan, melainkan rasa muak. 

Bisakah Anda tak muak pada korupsi minyak yang tengah banyak dibicarakan publik dengan modus “setolol” itu? Dari keterangan media Kejaksaan yang dokumennya beredar, ada semacam kongkalikong untuk menolak minyak produksi dalam negeri lalu memaksa melakukan impor.

Yang diimpor adalah mutu di bawah tapi dibayar dengan harga mutu lebih atas. Lalu dilakukan “olah-mengolah” lalu terjuallah dalam bentuk Pertamax

Ada semacam kelakar bahwa salah satu bentuk kecintaan pada negeri atau rasa nasionalisme, adalah dengan ukuran pembelian di SPBU. Bahkan ada semacam heroisme ketika membeli Pertamax, yang sering dijumpai di sanubari masing-masing pembelinya. 

Baca halaman selanjutnya: Masih ada rasa nasionalisme dalam dirimu?

Merasa tidak berhak “memakan” subsidi

Ada kawan yang tak mau makan subsidi, yang dia anggap sebagai bukan haknya. Meski mobilnya cuma masuk dalam kelas bawah, dia tetap yakin harus beli yang non-subsidi. 

Baginya, subsidi hanya untuk orang yang berhak, yang kebanyakan dalam keadaan papa. Dia nggak papa-papa amat, makanya merasa tak berhak.

Kurang kisah nasionalisme dan kepahlawanan apa yang ada di situ? Bahkan ada teman PNS yang memaksa dirinya untuk selalu beli Pertamax. Katanya, dia malu. Sudah digaji oleh negara lewat pajak rakyat, masak masih mau makan subsidi rakyat pula? 

Makanya, meski hanya bermotor, tetap saja dalam hati dan kesadaran terdalamnya dia membeli Pertamax.

Bukan hanya sebagai ajang kecintaan dan heroisme 

Di sana, ada semacam pembagian kelas yang jelas antara pembeli Pertamax dan Pertalite. Lihat saja wajah penuh curiga beberapa petugas SPBU yang dengan lantang menanyakan barcode ketika orang mau beli Pertalite. Mukanya sering kayak menindas, seakan berkata kalau mau yang subsidi taatlah pada mekanisme yang ada, barcode!

Atas semua itu, eh ternyata kasus korupsi di atas menjelaskan secara mudah. Pertamax yang Anda dan kawan-kawan saya beli, ternyata kualitasnya subsidian. Kualitas kacrut, oplosan! 

Bayangkan wajah nasionalisme teman saya yang PNS itu. Ketika tahu bahwa nasionalismenya nggak berguna. Bayangkan betapa hancur hati kawan saya lainnya, yang dari dalam dirinya terpancar “kepahlawan lugu” yang dia berikan selama ini untuk negara. Ternyata, rasa kepahlawanan di dalam dirinya jadi korban keculasan.

Soal kepahlawanan yang kena keculasan, saya sekarang malah membayangkan sebaliknya. Yakni keculasan yang sok pahlawan.

Nasionalisme posisi

Ada yang pernah dengar lagu “Sontoloyo” yang dirilis di tahun 2020? Silakan berselancar di Google atau YouTube. Sambil mendengarkan lagunya, bayangkan Anda berada dalam konteks tahun 2020, ya.

Saat itu, Jokowi masih dianggap musuh oleh orang-orang tertentu dan dipuja oleh orang-orang tertentu lainnya. Lagu itu ditulis dengan rasa nasionalisme kritis pada negara, alias Jokowi, yang berlaku sontoloyo. 

Namun sekarang, orang-orang tersebut sudah bertukar kursi dan pujaan. Makanya lagu “Bayar Bayar Bayar” dianggap oleh si bapak itu sebagai potensi pelanggaran atas konsep kritik konstitusional. 

Jiwa nasionalisme si bapak menjelaskan bahwa di balik lagu itu menyimpan potensi bahaya merusak kepercayaan pada institusi negara. Dia mungkin lupa dengan lagu “Sontoloyo”-nya. 

Jawabannya mungkin sebenarnya sederhana. Bukan isi dan kritiknya yang jadi persoalan, tetapi Anda sedang berdiri di mana. Keculasan itulah yang akan membedakan konstitusionalitas suatu kritik. 

Posisi yang akan menentukan jiwa nasionalisme akan diarahkan ke mana. Nasionalisme posisional mungkin bisa jadi istilah buat yang jenis ini.

Menjelaskan nasionalisme rasional

Tetapi, nasionalisme bukan hanya soal keluguan dan posisi. Ada banyak jenis nasionalisme lainnya. Salah satunya nasionalisme rasional. 

Adalah rasional bagi seseorang merasa ada masalah di Indonesia. Dia lantas merasakan juga kesempatan di dalam negeri tak lagi sama. Apalagi ada kondisi yang menekan. Makanya, dia memilih lari ke luar negeri. 

Kejadian itu sama sekali tidak serta merta menghilangkan rasa nasionalisme. Jadi, kalau ada pejabat yang buru-buru mengatakan “kabur aja dulu” sebagai tindakan tidak nasionalis dan sekalian saja tak usah pulang, saya berharap dia mau mengucapkan itu di hadapan Pak Presiden kita. 

Kita semua ingat, beliau beserta ayahnya mendapatkan problem di dalam negeri. Kasus tersebut membuat sang ayah mengorbankan nasionalismenya dengan masuk ke hutan hingga ke daerah Jambi, dan akhirnya mampu menyeberang dari Bungo ke Singapura di tahun 60-an. 

Peristiwa yang sama menimpa Pak Prabowo juga. Kala itu, dia dihimpit oleh kasus yang melibatkan rezim Soeharto, dugaan penculikan aktivis, hingga akhirnya memilih ke Yordania. Di sana, dia mendapatkan status warga kehormatan dari Raja Yordania di Desember 1998. 

Apalah karena kejadian itu kita lantas bisa menyimpulkan bahwa Pak Prabowo tak punya semangat nasionalisme? Atau mungkin si pejabat itu mengatakan dan menjelaskan ke Pak Prabowo bahwa jangan pulang sekalian?

Menghayati perasaan masing-masing

Memang, nasionalisme itu bentukan yang terbayang. Komunitas terbayang, dalam istilah Ben Anderson. Bisa jadi, setiap orang tentu saja dapat mengkontekskan masing-masing nasionalisme-nya. 

Makanya, ketika lagu “Tanah Air” itu Anda dengarkan, silakan membayangkannya masing-masing, lantas menghayatinya lewat versi Anda. Jika ingin menangis, tak perlu ditahan. Kalian juga tidak perlu menjelaskan itu tangisan haru, muak, benci, rindu, lelah, marah, atau bangga. Toh bahtera negeri ini milik kita bersama. 

Bedanya cuma satu. Ada yang rajin membocorkan kapal dan ada yang rajin menambal kapal. Ya begitulah.

Penulis: Zainal Arifin Mochtar

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Haruskah Menjadi Nasionalis agar Humanis? Dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version