MOJOK.CO – Setidaknya ada 3 kuliner Jakarta yang menyimpan cerita luar biasa dari masa lalu. Dan belum banyak orang yang mengetahui cerita ini.
Ketika gelombang reformasi marak dan terjadi demo-demo besar 1998, Enyak galau tetap berdagang atau tidak. Warung soto Betawi pinggir jalannya di Jalan Pasuruan, Menteng, Jakarta Pusat ketika itu menjadi langganan siapa saja yang terlibat demo-demo 98.
Bila melihat yang datang mahasiswa atau wartawan, Enyak akan memberi harga miring. Kalau yang datang berdasi, dia kasih harga standar.
Namun, setelah demo berkelanjutan, Enyak memutuskan untuk tidak berdagang dulu. Kenapa berhenti berdagang? Jawabannya membuat saya terkejut.
Selain bahan sembako yang ketika itu langka dan harganya naik, Enyak juga beranggapan “Kaga enak rasanye, orang lagi pade protes, Enyak malah dagang nyari untung.”
Kuliner Jakarta di Jalan Pasuruan Menteng ini, dulu, merupakan langganan keluarga mantan orang penting kedua negeri ini, Wapres ketiga, Adam Malik. Rumah Adam Malik di Jalan Diponegoro, tidak jauh dari warung Enyak.
“Kalo belanje mesti pake rantang nyang ditumpuk-tumpuk ntu. Satu rentengan rantang kan bisa berisi 3 sampe 4 rantang, tuh. Kadang ngeborong ampe dua rentengan, dua tumpukan. Pembantunye ampe ribed bawanye,” cerita Enyak mengenang dengan logat Betawi kental.
Saya memanggilnya Enyak, panggilan Betawi yang bisa berarti ibu atau nenek. Pemilik kuliner Jakarta itu adalah Bu Hajjah Syarif. Betawi turun temurun asal Kalibata-Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Warung induknya berada di halaman rumahnya di jalan Duren Tiga, di sisi utara jalan. Berjarak hanya “selemparan batu” dari komplek perwira Polisi Duren Tiga di baratnya, di mana kasus Ferdy Sambo pernah terjadi.
Kelompok musik Slank yang bermarkas di Gang Potlot Duren Tiga, sisi Timur rumah Enyak, saya berani bertaruh, pasti kenal dan pernah menjajal soto Betawi kondang yang menjadi legenda kuliner Jakarta ini.
Kuliner Jakarta di lintasan 2 tragedi
Posisi rumah dan warung Enyak di Duren Tiga berada di antara dua “peristiwa pembunuhan” sangar negeri ini. Yang mutakhir kasus Brigadir Yosua Hutabarat. Jauh bertahun-tahun sebelumnya, kawasan Duren Tiga juga ramai dengan kasus pembunuhan pesolek papan atas Dietje Budiarsih, pada 1986.
Rumah Dietje di sisi timur, tidak jauh dari rumah Enyak. Ditje dibunuh secara brutal. Lima peluru bersarang di tubuhnya. Mayatnya ditemukan di dalam mobil, di tepian kebun karet Kalibata, yang saat ini menjadi Komplek DPR.
Dietje yang masih di usia rawan geliat dan gelora, diisukan kuat punya “relasi nganu” dengan beberapa petinggi militer, pebisnis, dan yang paling berbahaya, dengan lingkaran Cendana. Mungkin karena itu Dietje harus dihabisi.
Kematiannya meninggalkan kabut misteri yang, sebetulnya, tidak pekat-pekat amat. Skenario menjadikan seorang dukun eks tentara, Pak Dhe (Muhammad Sirajuddin), tidak memuaskan.
Pak Dhe mengaku mendapat siksaan dari aparat untuk mengakuinya. Dia punya alibi kuat pada malam jahanam pembunuhan itu. Pengadilan tidak menghiraukan semua bukti. Pak Dhe mendapat hukuman seumur hidup. Baru setelah reformasi dia mendapat kebebasan. Namun, kasusnya tetap beku.
Di antara dua pembunuhan yang melibatkan para elite itulah rumah dan warung soto Betawi Enyak berada. Enyak, kendati nampaknya mengikuti berita-berita dua peristiwa itu, tak mau membicarakannya.
Ketika saya mampir makan di pusaka kuliner Jakarta itu dan penasaran bertanya ihwal kasus Dietje, Enyak menghampiri dan menutup mulut saya dengan jari telunjuknya. “Lu kerja aje yang bener. Ga usah mikirin kasus penggede. Ntar Enyak bikinin Soto yang enak ye. Enyak tambahin sandung lamur deh.”
Soto Betawi merupakan satu-satunya kuliner Jakarta dan Betawi papan atas. Terbukti banyak pengusaha kuliner meniru dan menjualnya di beberapa kota lain di luar Jakarta. Tapi, kita sulit membantah hukum kuliner. Bahwa, seenak-enaknya makan soto Betawi di luar kota, tetap lebih enak dan nampol makan soto Betawi di buminya dan yang dibuat oleh tangan-tangan pewarisnya.
Warung sotonya para pedangdut
Warung soto Betawi legendaris lain di Jakarta adalah Soto Betawi Haji Husein. Kuliner Jakarta ini berlokasi di jalan Padang Panjang, wilayah Manggarai, Jakarta Selatan. Semula, warung ini berlokasi di halaman parkir Pasar Rumput, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Haji Husein keturunan Betawi Pasar Rumput (Setiabudi). Dengan warung yang hanya sekira 3×5 meter ketika masih di Pasar Rumput itu, Soto Betawi Haji Husein kerap menjadi jujugan para pesohor musik, khususnya dangdut.
Beberapa foto musisi dan penyanyi dangdut terpampang di dinding warung. Wajah-wajah Elvi Sukaesih, Meggy Z, Jaja Miharja, Muchsin Alatas, dan lain-lain terpajang di sana.
Saking enak dan ramainya penjaja, kuliner Jakarta yang legendaris ini buka mulai pukul 7 pagi, tutup setelah pukul 1 siang. Jangan datang ke sana setelah pukul 1 siang. Kemungkinan besar Anda akan kecewa.
Saat ini ada banyak warung soto Betawi enak di Jakarta. Tapi yang punya singgungan sejarah, mungkin tidak banyak.
Gado-Gado Presiden, kuliner Jakarta yang namanya berumur pendek
Kuliner Jakarta lainnya yang kondang adalah gado-gado. Kuliner ini ada di mana-mana. Seperti kerikil jalanan. Tidak seperti kuliner-kuliner high profile yang harus ada di restoran mewah, soto Betawi dan gado-gado bisa dibilang street food. Kuliner pinggir jalan. Rekam jejak kemudian mencatat Gado-Gado Boplo sebagai salah satu yang teratas di antara lainnya.
Di masa Orde Lama, warungnya terletak di Pasar Boplo. Kini, kita mengenalnya dengan nama Pasar Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasi kuliner Jakarta ini berhadapan dengan Stasiun Kereta Gondangdia. Dari jarak sekira 1 kilometer, warung pinggir jalan Gado-Gado Boplo mungkin menjadi saksi dibangunnya Tugu Tani di Menteng Raya.
Seperti setiap kuliner enak yang dijual, selalu ada resep rahasia. Harus ada orang-orang tertentu yang membuat adonan bumbu rahasia itu. Tidak boleh orang lain.
Sedikit rahasia yang terungkap, bumbu kacang Gado-Gado Boplo adalah campuran kacang tanah dan kacang mete. Dari sanalah munculnya rasa gurih yang khas. Kendati ada juga yang bilang tanpa campuran kacang mete. Murni hanya kacang tanah. Tergantung cara mengulek kacangnya dan pakai bumbu apa. Pada akhirnya, sebuah hidangan bukan untuk diperdebatkan bagaimana membuatnya bukan? Tapi bagaimana rasanya.
Generasi awal Gado-Gado Boplo di Pasar Boplo inilah yang pernah menyandang predikat “Gado-Gado Presiden”. Setidaknya di kalangan terbatas di sekitar Boplo dan Menteng Raya.
Konon, Presiden Sukarno sangat menyukai dan kerap membeli pusaka kuliner Jakarta ini. Tapi, predikat tersebut hanya berumur pendek. Mungkin khawatir dengan operasi “bersih lingkungan” ala Orde Baru, nama Gado-Gado Boplo dikembalikan. Sejarah memang kerap menyimpan kisah-kisahnya. Ada ironi, tragedi, kadang juga komedi.
Saat ini nama Gado-Gado Boplo telah memberi inspirasi bagi warung-warung penjual kuliner Jakarta ini di sekitar kawasan Cikini. Ada yang menyandang nama Gado-Gado Boplo, ada juga Gado-Gado Cikini.
Bubur ayam Cendana
Lokasi tepatnya di Jalan Tanjung, persis sebelah Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Seperti yang lain, bubur ayam pinggir jalan ini hanya bermodal gerobak, bukan warung permanen. Puncak keramaiannya hanya pagi hari. Pukul 10 ke atas, jalan Tanjung Kembali lengang, sepi seperti kawasan Menteng paling elite lainnya.
Disebut “Bubur Ayam Cendana” lantaran letaknya memang di sebelah Jalan Cendana. Siapa yang tidak tahu para penghuni keluarga Cendana? Konon, seluruh blok rumah di Jalan Cendana yang bersebelahan dengan Jalan Tanjung itu sudah dimiliki keluarga Cendana.
Keistimewaan lain kuliner Jakarta ini adalah para pembelinya. Nyaris semua pembeli berkendaraan mewah. Mobil dan motor-motor besar macam Harley Davidson.
Yang bawa mobil mewah biasanya hanya berhenti di sekitar bubur ayam itu. Nanti para pekerjanya yang akan menghampiri menanyakan pesanan. Pesanan diantar ke kendaraan dan para pembeli itu makan di dalam kendaraan, tanpa menyentuh tanah.
Menurut seorang teman yang tinggal di Jalan Tanjung, para pembeli itu, selain sarapan, juga mau “setor muka.” Rupanya banyak dari para pembeli itu adalah kolega anak-anak Cendana. “Ya, siapa tau si Bambang, atau si Sigit, atau si Tommy nongol beli bubur ayam, kan. Mereka bisa ngobrol atau apalah,” cerita teman saya.
Agak lain memang kelakukan orang-orang ini. Tapi, bubur ayamnya memang enak sih.
Penulis: Saleh Abdullah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 11 Kuliner Legendaris di Jakarta yang Wajib Dicicipi dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.