MOJOK.CO – Jawa masih bergolak. Tepat di 200 tahun Perang Jawa, petani masih tertindas dan berdarah-darah membela martabatnya.
“Sejam kemudian sang Pangeran dan pengikutnya sempat bersalat maghrib di jalan raya dekat Sentolo. Esoknya, Kamis 21 Juli 1825, Diponegoro dan pamannya tiba di Selarong dan di sana dekat gua tempat Pangeran sering bersamadi dan tinggal berhari-hari dalam kesenyapan, mereka menancapkan panji pemberontakan. Perang Jawa pun pecahlah sudah” (Kuasa Ramalan, Jilid II, Bab X Menanti Ratu Adil, 2011, hlm. 707)Â
Apakah ada yang peduli pada datangnya warsa #200TahunPerangJawa #DwiAbadJavaOorlog?
Ada.
Birokrasi kebudayaan pusat mengingatnya. Birokrasi kebudayaan pusat merayakannya dengan sejumlah pagelaran. Di ibu kota, Galeri Nasional dan Perpustakaan Nasional mengenangnya sedemikian rupa. Mereka menampilkan semua terkait Pangeran Diponegoro.
Lembaga-lembaga yang menjadikan Diponegoro sebagai nama institusi, baik militer maupun pendidikan, turut mengenang #200TahunPerangJawa #DwiAbadJavaOorlog.Â
Walau hanya di tingkat fakultas, Universitas Diponegoro di Semarang, secara ofisial, menyelenggarakan seminar ala kadarnya demi nasionalisme dahsyat yang dikandung Perang Jawa. Demi Undip yang menjadi lokomotif perubahan dan visi akademik progresif, dan demi-demi lainnya.
Tentu saja, ini kabar baik bagi keluarga Sang Pangeran.
Merayakan Perang Jawa
Saya dan empat sejarawan muda lulusan kampus di Yogyakarta juga bermaksud merayakan datangnya #200TahunPerangJawa. Saya, Muhidin M. Dahlan, Gilang Andretti, A.S. Rimbawana, Sunardi, dan Putro Wasista Hadi turut memaknai datangnya #DwiAbadJavaOorlog ini.

Kami tidak seperti Undip yang bikin seminar. Kami sebagaimana manusia-manusia yang hidupnya berputar-putar di situ saja, Jogja, Sleman, Bantul, dan kadang agak jauhan dikit ke Gunungkidul dan Kulonprogo, berjalan menyusuri sejumlah spot berapi di mana peristiwa Perang Jawa terjadi.
Sialnya, karena kami semuanya tinggal di Yogyakarta. Sebagaimana kebanyakan warga atau mereka yang sudah bertahun-tahun tinggal dan tak berjarak dengan lokasi peristiwa #200TahunPerangJawa nyaris tidak memberi efek psikologis. Seperti menjalani hari biasa saja.
Untuk menginterupsi perasaan “menjalani hari biasa saja” itu, tepat di hari pertama Indonesia lahir sebagai negara, 18 Agustus, kami bergerak dengan berganti jaket harian yang membosankan.
Kami namai jaket itu “Kavaleri Selatan Radio Buku”. Dengan jaket itu, kami berjalan lagi dan berhenti di jalan yang yang pada hari-hari lain sering dilewati dengan perasaan itu-itu saja. Dengan jaket “Kavaleri Selatan Radio Buku”, kami dipaksa berhenti untuk peka melihat berbagai tempat di mana kronik panjang kekalahan manusia Jawa di Bumi Mataram terselenggara.
Baca halaman selanjutnya: Perang membela martabat.












