MOJOK.CO – Ulang tahun Indonesia, 17 Agustus, menjadi tanggal yang berwarna. Campuran antara keseruan lomba, rasa malu, dan bahagia karena hari libur tambah satu hari.
Selamat ulang tahun Indonesia. Semoga kamu selalu sehat.
Semakin usia bertambah, cara memandang upacara 17 Agustus dan peristiwa-peristiwa di sekitarnya menjadi berbeda. Sekarang, yang terpikirkan adalah hari libur, tidak bekerja, dan bisa mengaso. Hari ulang tahun Indonesia jadi sekadar tanggal merah, dengan upacara bendera dan pidato Presiden di pagi hari.
Mundur ke belakang, ketika SMA misalnya, pandangan saya kepada 17 Agustus berbeda lagi. Berangkat ke sekolah berbeda dengan hari-hari lainnya, karena hanya ada upacara bendera. Tidak ada pelajaran-pelajaran membosankan yang bikin ngantuk. Tidak ada omelan-omelan guru yang bikin sebal itu.
Waktu itu, yang terbayangkan di pagi hari 17 Agustus adalah main PS sepuasnya selepas upacara bendera. Bawa uang saku lebih untuk jajan nasi kucing ketika siang dan “saweran sewu-sewu dadi banyu” di sore harinya. Hhe hhe…
Menjelang malam, pulang dengan kepala ringan dan bau khas “minuman plastik” yang digilir banyak orang. Lupa ngerjain PR, untuk panik di pagi hari ketika nyontek punya teman yang lebih “tertib” menjalani kehidupan SMA-nya.
Hari Kemerdekaan ketika SMA menjadi sedikit menyebalkan ketika jatuh di hari Minggu. Artinya, di hari libur yang mana bangun pagi adalah siksaan tersendiri, kamu harus tetap berangkat ke sekolah. Cuma bawa topi untuk upacara, tanpa bawa tas. Setelah upacara, yang terasa cuma kehampaan. Hati ini ingin berteriak: “Kembalikan jam tidurku!”
Nah, ketika SD, cara pandang saya berbeda lagi. Saat-saat menjelang 17 Agustus adalah hari-hari yang menyenangkan, diselingi rasa getir dan kekonyolan. Pertama, banyak lomba seru yang bisa kamu ikuti.
Lomba-lomba masa kecil saya berbeda dengan masa sekarang. Dulu, lomba-lomba seperti dirancang untuk memancing penonton. Setiap lomba dibuat gereget dan penuh gengsi. Misalnya, dulu pernah ada lomba pukul guling yang dibuat di atas kolam.
Air di dalam kolam dikurangi hingga tersisa setinggi lutut. Saking banyaknya bocah yang terhantam guling dan jatuh, air kolam berpadu dengan lumpur. Siapa saja yang jatuh pasti mandi lumpur. Tidak sedikit bocah yang tak sengaja memakan lumpur karena jatuh kepala duluan.
Sekarang kolam itu sudah hilang, berganti rumah mewah. Seperti nasib banyak lahan kosong di Kota Jogja yang berubah menjadi perumahan, apartemen, hotel, dan kafe. Bangga betul saya, kota ini jadi modern, berwarna, pikuk, beberapa tempat air tanah mengering, gaji kecil.
Lomba seru kedua yang sempat saya rasakan dulu adalah lomba menembak pakai pistol plastik. Saya rasa mainan itu masih ada sampai sekarang. Pistol plastik yang pakai peluru berbentuk bulat juga terbuat dari plastik. Nggak main-main, peluru yang melesat dari pistol plastik itu terasa perih ketika menghantam kulitmu.
Saya ingat peserta lomba menembak menjelang 17 Agustus ada puluhan bocah. Sasarannya digambar serampangan di atas kertas HVS. Saya tidak ingat secara pasti jarak antara sasaran dengan penembak. Saya cukup ahli menembak, perlu saya akui sendiri. Sayangngya, saya jago nomor 3 waktu itu.
Waktu malam Tirakatan, juara ketiga masih dapat hadiah dibungkus kertas koran semacam kado silang 15 ribuan. Isinya? Wafer Tanggo rasa cokelat. Nggak elite blas. Juara 1 waktu itu dapat satu set buku tulis, sementara juara 2 dapat tempat pensil. Cuma saya yang dapat makanan. Lomba yang sungguh random dan tidak mendidik.
Jadi juara 3 tentu nggak enak di hati. Siapa sih yang mau diduain apalagi ditigain. Maunya jadi yang pertama dong. Maka, saya berlatih betul selama beberapa bulan.
Namun, menjelang 17 Agustus satu tahun kemudian, musim pistol plastik sudah usai berganti musim pistol air yang pakai dipompa dulu itu. Masak ya lomba tembak-tembakan air. Memangnya ini acara Takeshi’s Castle. Kecewa, saya onggokkan begitu saja pistol plastik dan bersumpah nggak mau ikut lomba 17 Agustus lagi.
Tapi, dasarnya bocah SD labil, ketika 17 Agustus tahun berikutnya ada lomba sepak bola. Setiap tim terdiri dari lima pemain. Semua memakai sarung. Ketika lagu dangdut mengalun dari spiker yang cempreng betul, permainan harus berhenti dan semua berjoget. Yang menarik dari lomba sepak bola adalah hadiahnya, yaitu seekor bebek.
Tim saya juara dong. Bukan karena jago main bola, tapi berani tabrak-tabrakin badan. Dua pemain berbadan bongsor dan cukup ditakuti di kampung. Ketika menjadi juara lomba sepak bola 17 Agustus, Pak RW menyerahkan hadiah itu secara langsung.
Orang-orang yang ditakuti di kampung itu ternyata punya kelemahan. Gelut saja berani, tapi maju menerima hadiah dan difoto bareng Pak RW malah nggak berani. Mentang-mentang kecil sendiri, saya didorong untuk maju.
Tapi, setelah foto, saya jadi paham kenapa para jagoan itu nggak mau difoto bareng Pak RW. Tukang foto amatir itu mengarahkan saya dan Pak RW untuk berdiri berhadap-hadapan. Kami sama-sama memegangi bebek yang tentu saja berontak.
“Ayo, sekarang gaya bebas,” kata tukang foto amatir itu. Gaya bebas ndogmu, Mas. Dari tadi dah gaya bebas. Nunggu dipipisi bebek tah?
Sudah bikin malu, saya malah nggak kebagian makan daging bebek. Entah dimasak di mana, dengan cara apa, rasanya enak apa nggak. Tidak lain, tidak bukan pasti dibawa mas-mas jagoan itu. Dinggo tambul, mas. Dobol!
Selain beberapa lomba yang absurd, 17 Agustus dalam ingatan SD saya juga soal upacara. Dulu, saya pernah menjadi protokol upacara. Tentu saja bukan karena kehendak bebas, tapi ditunjuk oleh guru. Alhasil, yang ada saya nggregeli, nggak percaya diri jadi protokol.
Nggak ada yang bisa saya ingat dari latihan. Hasilnya, sebuah kesalahan fatal saya lakukan. Seharusnya, sebelum pembacaan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, para peserta upacara mengheningkan cipta dulu.
Skip, mengheningkan cipta lupa saya sebutkan. Dirigen koor sudah mengangkat tangan siap memberi aba-aba menyanyi “Mengheningkan Cipta”. Pemimpin upacara sudah menundukkan kepala. Suasana sudah begitu hening, semakin senyap. Petugas pembaca teks Pembukaan UUD 1945 ragu-ragu. Antara melangkah maju atau tidak. Sementara saya? Merasa lega karena upacara 17 Agustus sudah separuh jalan. Map batik di tangan saya terasa lebih ringan.
Tapi tiba-tiba, godeg saya dijenggut guru. Reflek, saya mengaduh. Lantaran suasana begitu sunyi, suara saya menggema. “Heh, mengheningkan cipta dulu!” Bentak guru dengan suara lirih. Sambil menahan sakit, terbata-bata saya membacakan mengheningkan cipta. Sungguh, malunya setengah mati.
Rasa malu itu akan saya ingat selamanya. Membuat 17 Agustus menjadi sedikit berwarna. Bukan hanya soal tanggal merah dan waktu mengaso tambah satu hari lagi.
Dirgahayu, Indonesia.