MOJOK.CO – Ada ancaman dari Rasulullah bagi siapa-siapa yang poligami tapi nggak mampu adil alias condong hanya ke salah satunya agar siap-siap nanti badannya akan berat sebelah di hari kiamat.
Dulu ada semacam anekdot, bahwa kalau mau ngecek asli tidaknya madu, sangat disarankan untuk membawanya ke rumah. Kalau reaksi istri biasa aja, madu itu bisa dibilang palsu. Nah kalau istri marah, bisa dipastikan madu itu asli 100%.
Jangan marah dulu, anekdot ini sebenarnya berdasar pada KBBI versi daring yang menyebut juga bahwa madu merupakan istri sah (kedua) dari seorang suami berdasarkan pandangan istri pertama.
Saya sendiri agak heran juga dengan istilah madu yang digunakan untuk menyebut istri kedua, ketiga, dan seterusnya. Masa, ya, karena menyehatkan? Kan belum tentu. Bagi suami bisa jadi iya, bagi istri? Ha ya jelas belum tentu.
Madu dalam pengertian ini setahu saya berasal dari kata padu, dengan kata kerja “memadu” seperti “pakai” jadi “memakai” atau “pukul” jadi “memukul”. Tapi masalahnya adalah, tidak seperti kata “pakai” yang “pakaian” merupakan kata bendanya, kata benda “padu” bukan “paduan” tapi malah jadi “madu”.
Yang unik adalah madu dalam bahasa Arab disebut dhorroh dalam bentuk single, sedangkan dalam bentuk plural ia disebut dhoro-ir. Asal kata dhorroh ini adalah dhorro-yadhurru alias mencelakakan atau berbahaya. Mudhorot merupakan bahasa familiarnya buat orang-orang Indonesia.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim pernah dikisahkan bahwa ada seorang istri yang memukul madunya (dhorroh-nya) yang sedang hamil dengan tiang kemah hingga meninggal. Mengomentari hadis tersebut, Imam an-Nawawi mengatakan dinamakan demikian (dhorroh) karena adanya mudhorot di antara mereka berdua, dan setiap mereka akan menyebabkan mudhorot bagi yang lainnya.
Lalu pertanyaannya, jika madu (dhorroh) menyebabkan munculnya mudhorot, kenapa poligami bisa disebut sunah? Kan kontradiktif sekali? Yang satu bicara soal kemudaratan, yang satu bicara soal anjuran.
Nah, bagi orang yang mengampanyekan praktik poligami, pandangan yang muncul adalah poligami merupakan sunah. Masalahnya, dalam kaidah antara ahli hadis dan ahli fikih terdapat perbedaan mengenai pengertian soal kata “sunah” ini.
Bagi orang-orang fikih, sunah adalah sesuatu yang dikerjakan dengan pahala sebagai alasannya, tapi kalau nggak juga, ya, nggak apa-apa. Orang-orang hadis mengatakan bahwa sunah adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah, baik ucapan, perbuatan, ketetapan, atau dari sifat-sifat beliau.
Namun apakah semua yang Rasulullah kerjakan menjadi sunah berpahala? Ya belum tentu.
Ketika Rasulullah minum air putih dan makan roti, apakah lantas minum air putih dan makan roti jadi sunah yang diganjar pahala? Lalu ketika ada gerakan boikit Equil dan Sari Roti, apakah hal ini jadi sebuah pembangkangan terhadap sunah? Ya jelas tidak, karena perkara minum dan makan adalah perkara manusiawi.
Dalam dunia hadis, suatu perbuatan mengandung sunniyah alias nilai kesunahan dikarenakan adanya dalil yang mendukung. Misal, kegiatan makan kurma ajwa tiap pagi itu Sunah Nabawiyah karena Baginda menyuruh mengerjakannya dan menggaransikan bebas sihir bagi siapa saja yang melakukannya.
Sekarang, apa poligami memiliki dalil yang mendorong atau memotivasi?
Secara khusus sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah anjuran bersifat umum tentang pernikahan. Bahkan, tidak ditemukan juga dalam perkataan sahabat dan generasi setelahnya. Dalam beberapa hal, mereka justru melarang menyebut urusan perempuan dalam majelis-majelis mereka.
Yang muncul malah semacam kecaman dan ancaman dari Rasulullah bagi siapa-siapa yang poligami tapi nggak mampu adil alias condong hanya ke salah satunya agar siap-siap nanti badannya akan berat sebelah di hari kiamat.
Siapa saja yang punya dua istri, namun ia tidak adil di antara kedua istrinya, maka ia akan datang nanti pada hari kiamat dengan keadaan badan yang miring, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Ad Darimi, Ibnu Hibban, Al Hakim. Beliau Al-Hakim bilang hadis ini sahih, begitu juga dengan Ibnu Mulaqqin.
Bahkan dalam redaksi yang lainnya, dalam Sunan Abi Dawud, dijelaskan bahwa jika dia (laki-laki) lebih condong dari salah satunya, maka balasannya sebagaimana yang disebut di atas tadi.
Sedangkan masalah nikah sendiri hukum asalnya adalah mubah alias boleh. Bisa jadi nantinya wajib, sunah, makruh, atau bahkan haram, tergantung kepada personal masing-masing. Semua ulama sepakat bahwa nikah yang nantinya hanya akan menjadi ajang siksaan baik batin maupun fisik kepada pasangannya tidak diperbolehkan dan haram hukumnya.
Syekh Utsaimin ulama besar Saudi pernah ditanya oleh seseorang:
“Ya Syekh, saya ingin menikah lagi dengan niat menjaga kehormatan wanita. Bagaimana pendapat Anda?”
Syekh Utsaimin menjawab, “Baiknya uangnya engkau berikan kepada seorang laki-laki miskin agar ia bisa menikah, maka kau dapatkan pahala dua istri.”
Dalam kitab mawsuah fiqhiah kuwaitiyyah, sebuah kitab ensiklopedi babon memuat hukum fikih 45 jilid yang disusun oleh para ahli fikih lintas negara dibahas mengenai poligami ini. Disebutkan di sana, bahwa menurut Mazhab Syafii dan Hambali, disukai (mustahab) untuk tidak menambah istri lebih dari satu jika tanpa ada faktor pendorong yang berarti.
Mazhab Hanafi memandang jika memang aman dari mudhorot, maka boleh berpoligami. Bahkan al-Hijawi, pengarang Zad al-Mustaqni’, salah satu kitab fikih hambali yang diakui, jelas mengatakan bahwa nikah satu istri hukumnya sunah.
Di sisi lain, bagi saya, pendekatan paling menarik justru hadir dari Prof. Quraisy Shihab ketika ditanya masalah poligami. Beliau bilang, poligami ibarat pintu darurat dalam sebuah pesawat terbang. Yang duduk di dekatnya adalah orang yang mempunyai kualifikasi tertentu. Membukanya juga harus dalam keadaan darurat alias terdesak.
Selain darurat, membukanya pun harus ada izin dari pilot. Pilot di sini menurut beliau adalah pemerintah. Itu makanya setiap yang mau poligami di negeri kita maka harus ada izin dari pengadilan untuk menjamin hak-hak dari tiap individu yang terlibat di dalamnya.
Nah, sekarang posisi orang-orang yang selalu ngebet memaksimalkan kuota poligami itu ada di mana? Di pintu darurat? Posisi duduknya jauh dari pintu darurat? Atau malah sebenarnya nggak ikut terbang sama sekali tapi malah kepingin buka pintu darurat?