MOJOK.CO – Pada masa apa saja, baik dulu ketika zaman Nabi maupun sekarang, narasi merasa jadi muslim minoritas lumrah dilakukan untuk menggulirkan sebuah sikap permusuhan.
Jadi minoritas itu memang tidak ada enak-enaknya sama sekali. Jangankan mau kencing, mau makan saja susahnya naudzubillah. Serba khawatir, apakah daging yang akan dimakan ini halal atau tidak, apakah tempat salat ini suci atau tidak, atau apakah ibadah yang dilakukan ini masuk bidah atau tidak?
Pertanyaan-pertanyaan itu lumrah saja muncul bagi kita yang hati-hati ketika berada di negeri asing. Hanya saja pertanyaan ini akan jadi aneh jika kita berada di lingkungan yang mayoritas Islam. Sebuah pertanyaan yang cenderung menunjukkan bahwa ada juga dari kita yang mengenal agama melalui ketakutan-ketakutan. Sehingga merasa dunia seisinya merupakan ancaman yang perlu dilawan sampai dimusuhi.
Ayat-ayat soal kecurangan dan kejahatan yang pernah dilakukan Yahudi dan Nasrani jadi rutinitas yang dikumandangkan tiap khotbah, riwayat-riwayat nabi palsu atau aliran-aliran sesat dikuatkan secara terus-terusan dalam batin, bahkan sikap suuzan dikedepankan tanpa merasa perlu bersikap sabar lalu tabayyun terlebih dahulu.
Sikap tabayyun yang saya maksud tentu saja bukan hanya pada sebatas mencoba mencari data-data mentah lalu menafsirkannya secara serampangan juga. Sikap tabayyun seperti ini juga usaha untuk mencari data, melakukan riset, kemudian merangkum sebuah kesimpulan final sebelum memutuskan perbuatan apa yang paling bijak untuk dilakukan selanjutnya.
Memilih reaktif terhadap data mentah inilah yang kemudian membuat kita cenderung keras terhadap orang-orang yang tidak sejalan. Karena merasa apa pun yang tidak sesuai dengan pemikiran kita dianggap sebagai musuh—bahkan ketika belum ada indikasi permusuhan sekali pun, perasaan dimusuhi cukup kental sehingga menjadikan kita cenderung agresif.
Kita memang kemudian mengaku sudah bersikap tabayyun, maka tindakan agresif itu malah mendapat pembenaran. Sayangnya, sikap tabayyun seringkali hanya dimaknai sebagai ungkapan kasar semata.
Melihat secara umum, menilai tindakan lalu mengumumkan ke publik tindakan dengan buru-buru—seringnya malah mengedepankan nafsu di depan sebagai upaya untuk menunjukkan betapa besar dan pentingnya kita. Sebuah upaya yang masuk akal sebenarnya, karena ini merupakan bentuk pertahanan diri dari perasaan menjadi minoritas.
Masalahnya sikap sembrono seperti ini pernah ditunjukkan oleh Abdullah bin Ubay dan kita sebenarnya bisa mengingatnya kembali betapa berbahaya sikap suuzan dikedepankan.
Iya, Abdullah bin Ubay merupakan seorang muslim. Hanya saja, sikapnya yang sering gegabah dan selalu menaruh curiga terhadap sesama muslim membuat salah satu firman Allah soal kaum fasik dan munafik turun. Paling tidak ada tiga ayat Al-Quran dari kekacauan yang ditimbulkan Abdullah bin Ubay. An-Nuur ayat 11-12, At-Taubah ayat 80, lalu ayat 84 pada surat yang sama.
Meski seorang muslim yang taat, Abdullah bin Ubbay pernah dengan serampangan menanyakan hal yang—bisa jadi—dianggapnya merupakan kalimat kritis tapi malah berujung fitnah yang hampir tak berkesudahan. Tidak main-main, yang kena imbas adalah keharmonisan rumah tangga Nabi Muhammad.
Semua diawali dari perjalanan Nabi Muhammad ke kabilah Bani Musthaliq. Perjalanan panjang setelah 5 tahun peristiwa Hijrah. Nabi membawa Siti Aisyah dan Ummu Salamah, dua istri beliau, menggunakan unta sendiri-sendiri dengan beberapa sahabat.
Dalam perjalanan itu, pada suatu malam, Aisyah sempat turun untuk buang hajat dari unta tanpa diketahui oleh rombongan yang lain. Dalam proses itu, Aisyah memang hanya ingin sebentar saja buang hajat. Masalahnya ketika selesai hajat dan hendak mengejar rombongan, kalungnya jatuh. Aisyah pun mencari-cari kalungnya sampai membuatnya tertinggal sangat jauh.
Bisa ditebak kemudian, Aisyah tertinggal dan tidak berani menyusul karena takut salah arah dan membuatnya semakin sulit ditemukan nanti. Akhirnya Aisyah memilih menunggu di posisi dia turun dari untanya.
Sampai kemudian datanglah Shafwan bin Mu’athhal. Sahabat yang memang ditugaskan berada di posisi paling belakang untuk memastikan barang jatuh dari rombongan di depan. Betapa terkejutnya Shafwan menemukan Aisyah, istri Nabi sendirian meringkuk dalam padang pasir yang gelap. Dibawalah Aisyah menggunakan untanya, lalu Shafwan menuntun unta dengan jalan kaki.
Kejadian tersebut tidak menjadi masalah sampai kemudian Abdullah bin Ubay bertanya ke beberapa sahabat, “Kenapa Aisyah terlambat dan datang bersama Shafwan?”
Pertanyaan penuh curiga ini kemudian menyulut jadi fitnah keji. Aisyah lalu digosipkan selingkuh dengan Shafwan. Lagipula, memang tak ada saksi selain Aisyah dan Shafwan yang tahu betul kejadiannya. Masalah lebih pelik karena kebetulan Aisyah jatuh sakit setelah peristiwa tersebut, membuat gosip ini menggelinding lebih parah.
Nabi Muhammad sudah barang tentu merasa heran dengan gosip ini. Sifat cemburu jelas manusiawi, karena tidak akan ada manusia yang nyaman ketika mendengar gosip sang istri berbuat selingkuh. Uniknya, ketimbang meminta shortcut informasi langsung dari Allah, Nabi memilih tabayyun. Melakukan riset lapangan dengan bertanya kepada informan-informan terpercaya. Dari Ali bin Abu Thalib, Usamah bin Zaid, sampai Abu Bakar, yang merupakan ayah dari Siti Aisyah.
Dengan beragam informasi dan hasil verifikasi data itu pun, Nabi tak menghakimi Aisyah telah berbuat kesalahan. Padahal jika mendapati secara kasat mata, fitnah ini pun “terlihat” begitu benar. Apa urusannya Shafwan datang bersama Aisyah malam-malam?
Tapi apa yang disampaikan Nabi Muhammad? Beliau dengan lembut berkata bahwa jika Aisyah memang bersih pasti Allah akan membersihkan namanya, namun jika memang Aisyah salah, Nabi meminta istrinya untuk segera bertobat. Setelah proses ini, kemudian turunlah Surat An-Nuur ayat 11-12 yang menjadi legitimasi bahwa Aisyah sama sekali tidak bersalah.
Sikap sabar dan penuh perhitungan Nabi ini lah yang seharusnya bisa dicontoh. Bukan malah mencontoh Abdullah bin Ubay yang menggulirkan apa yang terlihat “benar” secara kasat mata ke publik dengan penuh sikap curiga tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Selain sikap ceroboh itu, beberapa tahun kemudian Abdullah bin Ubay kembali bikin rusuh dengan membangkitkan sentimen kesukuan masyarakat muslim di Madinah. Abdullah bin Ubay adalah penduduk asli Madinah, dan tidak begitu suka dengan masifnya perkembangan “pendatang”. Pendatang yang dimaksudnya adalah umat muslim Suku Quraisy yang hijrah dari kota Mekah.
“Pendatang” ini bagi Abdullah merupakan ancaman nyata. Pada masa apa saja, baik dulu mau pun sekarang, narasi ini lumrah didengungkan ketika ada pihak yang merasa inferior. Entah apa latar belakang Abdullah bin Ubay mencetuskan ide ini, yang jelas perasaan minoritasnya (padahal jelas dia berada di posisi mayoritas) membuat dirinya terancam, sehingga menggulirkan sentimen tersebut ke masyarakat.
“Mereka telah menyaingi dan mengungguli jumlah kita di negeri kita sendiri. Demi Allah, di antara kami dan orang-orang Quraisy ini seperti pepatah; ‘gemukkan anjingmu dan ia bakal menerkammu’,” ujar Abdullah menyulut sentimen tersebut.
Karena sikap ini, Umar bin Khattab berang dan sempat akan bikin perhitungan dengan Abdullah bin Ubay. Hanya saja sebelum keadaan memburuk, Nabi meminta Umar untuk bersabar. Bahkan meski sudah diperlakukan sedemikian rupa, Nabi Muhammad tetap memanggil Abdullah bin Ubay sebagai “sahabat” alih-alih “musuh Islam” atau “kaum munafik”.
Sampai ketika Abdullah bin Ubay meninggal dunia dan Nabi menyalatkan jenazahnya, turun ayat yang menunjukkan bahwa jenazah tersebut adalah orang fasik dan munafik, artinya Abdullah merupakan seorang muslim yang melakukan kerusakan dan kemaksiatan.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam posisi sebagai manusia istimewa yang menerima segala informasi langsung dari langit saja Nabi tak pernah menghakimi orang sebelum mendapat legitimasi langsung dari Allah.
Sikap yang sering tenggelam dengan kisah-kisah ketegasan beliau dalam menegakkan agama Islam ketika berada pada situasi peperangan melawan kaum yang jelas-jelas memusuhi Islam. Riwayat-riwayat yang sering digulirkan di sekitar kita belakangan ini, di mana keadaan yang damai ini dinarasikan seolah-olah kita sedang berada dalam situasi peperangan.
Membuat kita lalu merasa selalu terancam dan harus melakukan segala cara agar kita bisa kembali menegakkan Islam sesuai yang kaffah. Padahal, Islam di Indonesia memang tak pernah ke mana-mana dan baik-baik saja. Kalau memang ada yang menyeru harus kembali ke “Islam”, ya bisa jadi yang berteriaklah yang sudah ke mana-mana sehingga memang perlu untuk kembali.
Lalu bagaimana menanggulangi perasaan ingin bermusuhan seperti itu? Sederhana.
Cukup awali dengan tidak merasa jadi minoritas muslim di negeri yang mayoritas Islam seperti Indonesia ini. Karena perasaan terancam setiap saat akan memuncullkan sikap pertahanan diri yang seringnya malah berbahaya bagi umat muslim sendiri.