Dari sobat kentalnya, si Martin, Moses mendapat kosa kata itu, bakondisi.
Cerita Martin, satu malam ia diajak teman lainnya ke tepi pantai untuk melakukan tugas intelijen: melakukan pengintaian melekat terhadap teman mereka yang sedang berpacaran. Tiba di pantai, mereka mengendap-ngendap layaknya pasukan khusus akan melakukan penyerangan mendadak. Dari balik semak mereka melihat pasangan itu sedang asyik masyuk. Pas si lelaki memeluk dan melakukan adegan pemerasan dengan meremas-remas dada kekasihnya, teman si Martin berteriak kepada mereka, “Wah, Pace, bakondisi (pacaran) eee!” Adegan selanjutnya adalah kabur terorganisir.
Dengan logikanya sendiri, berdasarkan laporan intelijen dari Martin itu, Moses memahami arti kata bakondisi.
Pagi masih sedikit berkabut di wilayah yang dikelilingi bukit di Papua Barat, Moses pergi ke kandang sapi milik Bapa Pastor. Ia terkejut mendapati Bapa Pastor sedang memerah susu dari satu sapi. Spontan saja Moses berkata, “Bapa Pastor sedang bakondisi ka?”
***
Cerita di atas saya dengar dari seorang teman di Papua Barat. Buat orang Papua, saling bercerita seperti itu disebut mop. Belum begitu jelas asbabun nuzul kata mop ini. Kita bisa mengusulkan agar salah satu lembaga riset politik terbaik untuk melakukan penelusuran mendalam tentang muasal kata tersebut demi memperkaya khazanah kebudayaan. Kerja budaya begini mungkin akan lebih bermanfaat daripada ngurusin pilkada.
Ada yang secara iseng mengatakan bahwa mop merupakan singkatan dari mati ketawa ala orang Papua. Diduga kuat mop berasal dari kata Belanda moppig yang berarti ‘lucu’. Belanda memang punya sejarah di Papua.
Mop yang menyerupai stand–up comedy itu sudah ada jauh sebelum kita mengenalnya di saluran-saluran TV kita. Saking membudayanya mop, kalau Anda kebetulan ke salah satu tempat di Papua dan menemukan beberapa orang berkumpul dan mendengar gelak tawa, bisa dipastikan mereka sedang melakukan ritual mop. Saya berani jamin, bila Anda sedang menyelenggarakan acara lokakarya maupun training (atau istilah LSM-nya “capacity building”) di wilayah pinggiran Papua yang mana pesertanya orang-orang biasa saja, jangan anggap remeh dua hal ini agar acara Anda bisa diikuti dengan rasa senang sekaligus serius: sediakan kaleng-kaleng kosong untuk wadah ludah sirih pinang dan sediakan break sesaat untuk saling tukar mop di antara peserta. Percayalah, sukses tidaknya acara ikut ditentukan oleh kedua hal tersebut.
Dalam sejarahnya hingga hari ini, orang Papua mengalami begitu banyak tekanan dan pengalaman hidup yang tidak enak. Sejarah politik telah memaksa mereka untuk tidak mengekspresikan secara langsung perasaan-perasaan tak enak itu agar tidak dicap OPM atau mengganggu keamanan. Boleh jadi mop adalah cara mereka melepaskan secara aman perasaan-perasaan terdalam tersebut. Dan Mop menjadi budaya populer di seluruh wilayah Papua, dari wilayah kepala burung sampai ekornya.
***
Di sebuah distrik di Jayapura, warga heboh karena ada seseorang yang mati gantung diri di pohon. Polisi segera datang ke TKP, dipimpin langsung oleh komandan polisi. Ketika sang komandan memerintahkan agar mayat tersebut diturunkan, seorang lelaki tua Papua di dekatnya berujar, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Sontak sang komandan menoleh ke arahnya.
“Eh, Pace, mengerti arti kata inna lillahi juga ka?”
“Mengerti Bapa Komandan. Itu kan artinya ‘sekali di udara tetap di udara’, to?”
Tolong, jangan buru-buru anggap itu blasphemy. Pernyataan lugu itu keluar secara spontan dan tanpa maksud menghina apa pun. Apalagi konteksnya sama sekali tidak berhubungan dengan pilkada.
Kebanyakan mop Papua atau wilayah Indonesia timur lainnya didasarkan pada pengalaman-pengalaman nyata sehari-hari. Ia juga sering diungkapkan dengan bahasa yang lugas, sebagaimana kisah seorang teman dari Suku Moi di Sorong ketika jatuh cinta pada perempuan asli Jawa yang kemudian ia nikahi. Ketika terkesima melihat kaki sang istri yang ketika itu memakai celana pendek, ia berkomentar,
“Dong pu kaki su seperti kasbi takupas!”
Kasbi adalah singkong. Silakan bayangkan seputih apa singkong yang baru dicabut dari tanah ketika dikupas.
Di kawasan Maluku, mop juga sering bersumber dari kisah nyata sehari-hari. Kegemaran orang Maluku menceritakan mop nyaris sama dengan orang Papua. Salah satu sahabat terbaik saya yang tinggal di Waipia, Pulau Seram, bercerita tentang Tete Mias (Jeremias). Tete adalah panggilan hormat untuk orang yang sudah tua atau dituakan, setaralah dengan kakek-nenek. Bila kata tete dipadukan dengan manis menjadi Tete Manis, artinya leluhur atau Yang Maha Kuasa (Tuhan).
Satu kali seorang perempuan yang sedang hamil tua belum juga bisa melahirkan. Ia lalu dibaringkan di sebuah ruangan. Seorang pendeta dipanggil untuk mendoakan agar si perempuan bisa segera melahirkan. Sang pendeta berdoa standar seperti biasanya pemuka agama berdoa, “Tuhan yang Maha Kuasa, berilah kekuatanmu dan bantulah agar nona ini bisa segera melahirkan” dan seterusnya.
Sejam berselang, belum juga ada tanda-tanda si perempuan akan melahirkan. Para tetua kemudian sepakat untuk memanggil Tete Mias untuk juga mendoakan. Tete Mias memasuki ruangan dengan tongkat penyangganya. Ia masih mendengar rapal doa sang pendeta. Tete Mias lalu meminta sang pendeta berhenti berdoa.
“Anak Pendeta e, berhenti dulu berdoa. Beta akan berdoa dolo.”
Tete Mias lalu meletakkan telapak tangannya di kening sang perempuan. “Tete Manis … tolong bantu beta pung anak dulu e. Dong mau melahirkan beta pung cucu ini.”
Sambil merapal doanya, Tete Mias menggerakkan telapak tangannya, turun dari kening ke perut si perempuan. Dari perut tangan itu merayap ke bagian bawah. Pas di atas vagina, Tete Mias berujar, “Tete Manis, tolong buka dong pung puki lebar-lebar.”
Ajaib! Tak berselang lama, sang bayi lahir. Tete Mias lalu mendekati sang pendeta dan berbisik, “Anak Pendeta e, lain kali kalau berdoa par Tete Manis, to the point sa!”
Tentu saja kesulitan utama menceritakan Mop Papua atau Maluku ialah menuliskannya. Mop akan lebih “nembak” kalau didengar langsung dari mulut orang Papua atau Maluku. Apalagi logat dan aksen juga sangat ikut menentukan kadar kelucuan.
Tapi, ada juga mop Maluku tertulis yang sangat orisinal dan berdasar kisah nyata anak laki-laki seorang sahabat yang baru jatuh cinta. Anak ini menulis puisi cinta dan mungkin puisi pertamanya sepanjang hidup. Oleh sang bapak, sahabat saya yang menjadi sekretaris desa di satu tempat di Maluku Tenggara, puisi tersebut dicetak besar-besar dan ditempel di pintu masuk rumahnya. Nah, kepada dua orang sahabat di seputaran situs ini yang baru saja jejadian, ehem, puisi cinta ini saya persembahkan.
Beta minta ko tanpa mejik (maksudnya mencintaimu tanpa ilmu gaib/magic)
Ai lop yu. Yu lop ai
Cinta beta seng seperti cinta lalat pada luka
Kalo ko tolak cinta beta, hati beta akan hancur seperti buah papaya digilas oto truk
Maaf, demi alasan keamanan dan keutuhan NKRI, nama-nama sumber cerita tidak bisa saya sebutkan.