MOJOK.CO – Nama Boven Digoel di Papua menyiratkan kesan angker karena sejarah yang mengiringi. Namun, di balik itu semua, ada kisah yang sukses menggelitik perut.
Buat orang Papua, ada empat penjajah yang pernah menjajah Bumi Cendrawasih itu: Belanda, Indonesia (barang tentu ini versi Organisasi Papua Merdeka/OPM), dan perusahaan. Ketiga penjajah itu menguasai Papua dengan mesin-mesin kekuasaan yang ampuh. Tapi ada penjajah keempat, seorang perempuan mungil asli Maluku, bernama Mitha Talahatu, yang mampu secara efektif menjajah Papua. Bahkan juga hingga kawasan Timur Indonesia lainnya seperti Maluku dan NTT.
Khusus di Papua, jejak-jejak kekuasaan nona Mitha, bisa dilihat nyaris di setiap pelosok. Tanya ke orang Papua pertama yang Anda temui, apakah dia kenal Mitha Talahatu. Kalau ia tidak kenal, bisa dipastikan dia bukan orang Papua. Mace-pace baca dolo semua catatan perjalan ini, nanti ketemu cerita nona Mitha dorang.
Dari bandara Tanah Merah, pada jalan ke arah Sungai Digoel yang legendaris itu, kami mampir di sebuah kedai makan. Ikan nila adalah menu yang paling sering ditemui di Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven Digoel.
Ikan-ikan itu mereka tangkap dari sungai Digoel. “Selama Sungai Digoel ada airnya, ikan nila sonde ada matinya, pak. Kalo sore bapak bisa pi lihat penjual bila sungai tidak jauh dari kantor bupati ketiga,” kata Pak Kris, supir kami selama di Digoel. Kantor bupati ketiga? Baca aja terus tulisan ini.
Saya memesan nila bumbu rica yang ukurannya segede sarung tinju. Siang-siang panas, makan nila sungai Digoel bumbu rica, tuangalahee, talinga rasa putus!
“Bapa minum apa, ka?”
“Teh hangat manis, adik. Tapi gula sadiki, bole.”
“Ah, rasa manis hilang-hilang, ka?”
“Itu sudah!” (Rasa manis hilang-hilang. Istilah yang nganu sekali!)
Setelah beberapa kali ke Papua, baru kali ini akhirnya saya bisa menginjak Boven Digoel, sebuah wilayah di selatan Jayapura, yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG).
Digoel yang saya kenal sebelumnya, hanyalah sebuah tempat bekas pembuangan para tahanan politik Belanda yang dianggap berbahaya. Atau juga dari cerita-cerita yang dirangkum Pramoedya dalam Cerita Dari Digul. Seperti fantasi banyak orang tentang Papua, Digoel tak luput dari kisah-kisah berbumbu stigma menakutkan. Yang paling sering saya dengar adalah ancaman malaria.
Ya, di mana pun, hidup sering menyediakan sejumlah masalah sial dangkalan. Tapi, “you will never find a rainbow if you are looking down,” kata Charlie Chaplin.
Setelah mengunjungi Penjara Digoel yang legendaris itu, tempat di mana Mohammad Hatta, Syahrir, Mas Marco dan para pembangkang lainnya yang dianggap oleh kumpeni berbahaya ditanam, saya berkesempatan mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP) Perintis Kemerdekaan Tanah Merah.
Ada dua keunikan yang mungkin dianggap ironik atau juga satire tingkat tinggi. Pertama, tugu yang terdapat di tengah area pemakaman di sebuah altar. Kalau di kebanyakan TMP kita akan lihat patung-patung yang menyerupai Bambu Runcing, itu tidak ada di TMP Digoel. Pada tugu itu tergambar seseorang yang lebih menyerupai penyanyi rock, tapi memegang senjata.
Kedua, pada dinding sebelah kiri pintu masuk TMP, Anda akan melihat daftar 42 nama pahlawan, yang kalau dicocokkan tahun pemakaman dengan merujuk pada catatan sejarah, mayoritas mereka adalah para kader PKI (iya, Partai Komunias Indonesia) yang melakukan pemberontakan terhadap kumpeni di Banten, pada tahun 1926.
Akhirnya, pada sebuah Taman Makam Pahlawan, di Tanah Merah Boven Digoel ini, para eks pejuang PKI itu diakui sebagai pahlawan dan diberi tempat terhormat. Bayangkan kalau tempat seperti ini ada di Jawa. Mungkin akan ada pesan khotbah penggusuran dari blio yang lagi ngungsi di luar negeri itu.
“Pak Kris, Boven Digoel ini, kan, baru 15 tahun jadi kabupaten sendiri, pisah dari Merauke. Kok, kantor bupatinya ada tiga?”
“Saya juga tra tahu, pak! Saya cuma dengar dong bilang, masing-masing bupati terpilih membuat kantor barunya sendiri, karena merasa tidak cocok dengan yang su ada. Saya juga bingung, kenapa pemerintah dorang mau saja kasih uang untuk pembangunan kantor bupati berkali-kali. Saya cuma supir mobil sewa, pak.”
Pada sebuah acara resmi, ketika usai, saya melihat beberapa orang seperti melakukan salam dengan cara unik: saling menjepitkan jari telunjuk dan jari tengah, lalu menariknya hingga terdengar bunyi, klak!
Tertarik ingin tahu makna dibalik salam jepit itu, saya bertanya ke tokoh pendidikan setempat, seorang Mama kepala sekolah. “Itu memang salam khas Digoel, pak. Tra ada di tempat lain di Papua, atau mungkin juga di dunia. Itu bermakna aku ada karena kau ada, kau ada karena aku ada,” kata si Mama. Makna koeksistensial yang sangat anu.
Setiap hari saat kami bergerak dari satu tempat ke lain, kami diantar Pak Kris. Lagu-lagu yang dimainkan di tape mobilnya selalu suara merdu perempuan yang agak melengking. Pak Kris menyebut judul-judul lagu yang terdengar: Cinta Sakota (Cinta Sekota), Cuma Par Ale (Hanya Untukmu), Manyasal (Menyesal), Beta Bukan Baju, Su Jadi Abu (Sudah Jadi Abu), dan Beta Sandiri (Aku Sendiri).
“Ini penyanyi dan lagu-lagu yang kemarin, pak? Siapa penyanyinya? Banyak didengar di Digoel sini, kah?”
“Itu Mitha Talahatu, Pak. Kalau Papua ini pernah dijajah dengan cara macam-macam, Mitha Talahattu dorang su jajah semua laki-laki Digoel dan Papua pu perasaan, Pak. Nona pu mata dan suara panggil kitorang terus. Huruf habis sudah (maksudnya, tak ada kata-kata yang bisa menjelaskan). Habis-habisan cinta kitorang samua untuk Mitha Talahatu. Tinggal ampas-ampas saja ini, pak.”
“Buset. Pak Kris juga jatuh cinta dengan Mitha?”
“Cilacap, pak.”
“Kok, Cilacap?”
“Cinta lama gagal terucap, Pak.”
“Stop sebentar, pak. Saya mau keluar dulu dari mobil, 2 menit!” (Di luar saya kencing di semak-semak sambil ngakak).
“Di sini lumayan sering mati listrik ya, Pak Kris?”
“Seperti orang minum obat, Pak. Bisa tiga kali dalam satu hari. Pernah kejadian saya antar teman untuk potong rambut di salon langganannya. Ketika dipotong, baru setengah gundul, listrik mampus. Alat potong rambut pakai listrik. Tukang potong panik, teman saya juga. Tukang potong kata ada temannya yang punya salon dan punya genset. Teman saya langsung bungkus dong pu kapala dan kitorang samua pergi ke salon teman yang punya genset untuk selesaikan kapala dong satu itu.”
Kudeta Seorang Sekretaris Kampung
Dari Boven Digoel, saya menuju Manokwari Selatan. Di sebuah distrik (kecamatan), saya bertemu dengan seorang Sekretaris Kampung, Pak Reynold. Nama sebetulnya adalah Renovasi Tukon. Tapi teman-teman di kantor desa dan lainnya, selalu memanggil dia Reynold. Sementara nama yang tertera pada tanda pengenal yang selalu ia pakai, ya, Renovasi Tukon.
Kampung di mana pak Renovasi, eh Reynold bekerja sebagai Sekretaris Kampung, Kepala Kampungnya selalu berasal dari keluarga marga terbesar. Memang, ketua marga inilah yang memberikan tanah-tanahnya untuk ditempati warga, sampai akhirnya wilayah itu menjadi sebuah kampung sendiri. Atas jasa itu, warga kampung tak ada yang keberatan bila anggota keluarga kepala marga yang selalu menjadi Kepala Kampung. Daripada tanah-tanahnya diminta lagi?
Nah, terkait ihwal Kepala Kampung yang berputar di dalam marga itulah, pak Reynold pernah melakukan kudeta senyap.
“Jadi begini, Pak. Saya sudah mengalami tiga tahun menjadi Sekretaris Kampung dari Kepala Kampung dari marga ini yang buta hurup total. Tuangalah, saya harus ikut ke mana pun bapa Kepala Kampung rapat dengan pemerintah distrik atau kabupaten. Saya harus selalu ada di sebelah laki-laki dorang, untuk membacakan semua dokumen tertulis yang dibagikan. Dan itu bukan cuma sekali dua kali, Pak. Sering! Untungnya, bapa Kepala Kampung akhirnya mengundurkan diri pada tahun ketiga. Ah, lega saya.”
“Lalu, keluarga melakukan rapat untuk tentukan siapa yang jadi Kepala Kampung pengganti. Cilaka, Pak! Keluarga putuskan sepupu Kepala Kampung lama untuk menjadi Kepala Kampung baru. Sepupu ini seorang Mama yang, bukan cuma buta huruf, tapi juga tra bisa Bahasa Indonesia. Mama pu bahasa kacau-kacau, tra bisa dimengerti. Saya bayangkan, kalau kemarin saya jadi juru baca, maka nanti kalau Mama ini jadi Kepala Kampung, saya akan jadi juru baca dan juru bicara sekaligus. Mati saya! Saya cari akal keras. Tuhan kasih saya jalan, Pak.”
Pagi itu, saya dipanggil ke rumah Mama ini. Kami bicara dalam bahasa lokal.
“Reynold, ko pigi ke kantor Kampung. Tanya dorang su siap lantik saya, ka?”
“Mama. Mama serius kah mau jadi Kepala Kampung?”
“Iya, to! Rapat marga su tetapkan, sekarang giliran saya jadi Kepala Kampung. Ko keberatan parangpuang seperti saya jadi Kepala Kampung, ka?”
“Ah, tidak. Saya setuju saja. Tapi Mama tau di antara tugas seorang Kepala Kampung, ka? Setiap hari Senin Mama harus pimpin upacara penaikan bendera. Mama harus pimpin lagu Indonesia Raya. Dan Mama harus kasi pidato dalam Bahasa Indonesia. Mama hafal lagu Indonesia Raya, ka? Setiap hari Senin, Mama!”
“Hah!? Begitu, ka? Ah, tra mau saya. Cepat ko pigi ke laki-laki semua dorang di kantor. Bilang saya tra mau jadi Kepala Kampung. Minta dorang putuskan yang lain, sudah!”
Reynold meninggalkan rumah sang Mama dengan senyum dan hati lega. Ia baru saja melancarkan kudeta tak berdarah dengan hasil gemilang.