Berhenti Merokok
Atinggola adalah satu kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Kecamatan itu merupakan batas antara Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara. Oleh karena perbatasan, di sana terdapat pos DLLAJ yang memungut pajak dari kendaraan yang melintasi jalur tersebut.
Di pos DLLAJ, ada seorang pegawai bernama Kolobi. Ia perokok superaktif. Setiap minggu ia harus pergi ke pasar untuk membeli rokok satu slop yang dia nikmati sendiri. Merek kesukaannya Gudang Garam Surya yang terkenal karena menendang keras di dada.
Pada suatu hari Kolobi memutuskan berhenti merokok karena merasa boros. Aktivitas membeli rokok satu slop di pasar ia ganti dengan membeli permen. Satu pak permen setiap minggu.
Dua bulan ia berhenti merokok. Suatu ketika, saat melihat temannya sedang merokok Surya, ia ingin menguji imannya. Ia mintalah satu batang Surya kepada si teman, dan dihabiskannya. Apalah daya, ternyata imannya goyah dan setelah mengisap sebatang Surya itu, ia kembali merokok rutin. Sejak itu, saban minggu ia harus membeli rokok satu slop dan permen satu pak.
Badan Tahan Hujan, Rokok Tidak
Selain menjadi penjaga pos DLLAJ, Kolobi bertani. Ia punya kebun tak jauh dari rumahnya. Jaraknya sepuluh menit saja dengan jalan kaki.
Jika Kolobi menjalani tugas di malam hari, paginya ia libur. Waktu libur itulah yang dimanfaatkannya untuk berkebun.
Mengenakan pakaian compang-camping ala petani, hari itu ia pergi ke kebun jagung. Membersihkan rerumputan dan menyemprot tanaman agar sehat. Namun, saat itu alam tak bersahabat. Hujan lebat turun sehingga Kolobi harus berlari ke pondok.
Di pondok ia bukannya mengambil baju hujan, melainkan selembar daun yang pohonnya tumbuh di samping pondok. Lebar daun itu setelapak tangan, ia manfaatkan untuk memayungi rokok yang terselip di bibirnya dengan satu tangan. Dengan rokoknya dipayungi daun itu, ia kembali membersihkan rerumputan dengan satu tangan.
Mandi Cara Begini Tak Bisa Sambil Berenang
Hujan berhenti dan hari telah sore. Kolobi kembali ke rumah untuk mengambil peralatan mandi. Ia kemudian menuju ke sungai di belakang rumahnya.
Baju dan celana ia lepaskan satu per satu. Sambil merokok, Kolobi melakukan aktivitas pelepasan pakaian. Jika tangan kanan beraktivitas, tangan kiri memegang rokok. Jika kedua tangan dipakai, rokok Surya ia jepitkan di bibir.
Kolobi menyisakan celana dalam lalu perlahan berjalan ke bagian sungai yang tak dalam airnya. Di posisi air sampai di pusar, berhentilah Kolobi.
Meski Kolobi telah mencapai sungai, ia tak kunjung melepas rokok yang masih setengah batang. Jika ia membasuh badan, salah satu tangan yang memegang rokok. Jika ia menggunakan sabun, rokok diselipkan di bibir. Begitu seterusnya hingga ia selesai mandi. Jika rokok habis, ditambah lagi. Terus menyala sampai ia kembali ke rumah.
Haram Ditambah Halal Sama dengan Halal
Paginya Kolobi kembali menjaga pos DLLAJ. Ia dibantu dua rekannya. Sebagai penjaga paling senior, Kolobi tak lagi berdiri di jalan menunggu mobil lewat. Ia hanya duduk di pos saja.
Menjelang siang, ia meminta izin kepada dua rekannya untuk keluar sebentar karena ada satu urusan. Ia akan kembali saat pergantian piket jaga. Sebelum berlalu ada satu pesan yang ia titipkan kepada dua rekannya, “Uang pungutan dari mobil yang muat babi dan anjing dipisah dari mobil yang muat penumpang.”
Uang hasil pungutan pos itu memang dibagi dua, setengah untuk pemasukan daerah, setengah lainnya untuk dibagi kepada yang berjaga. Kolobi menganggap uang hasil pungutan dari mobil yang muat babi dan anjing haram baginya, karena itulah ia mengingatkan kedua rekannya dengan tegas.
Sore telah tiba, Kolobi sudah balik ke pos penjagaan. Sesampainya di sana, ia menanyakan uang hasil jaga.
“Uang dari mobil babi dan anjing ini, dari mobil penumpang itu,” ucap salah seorang rekannya sembari menunjukan letak uang.
Uang dari mobil penumpang hanya 20 ribu, hasil dari mobil babi dan anjing 200 ribu. Dengan keadaan seperti itu, tentu Kolobi akan mendapat hasil bagi yang minimalis.
“Hiii! Kalau begitu campur saja!” Kolobi mengatakan itu sambil mencampur uang itu segera.
Bapak Anak Sama Saja
Seminggu sebelum Idul Fitri, penduduk desa biasanya membersihkan rumah dan mengecat rumah. Begitu pula Kolobi.
Hari itu, saat sedang mengecat, seorang debt collector datang ke rumahnya. Tak lain dan tak bukan untuk menagih utang Kolobi yang sudah tiga bulan ditunggak. Permasalahannya (bagi si kolektor, bukan Kolobi), ini pertama kali dia akan menjumpai Kolobi. Sebelumnya, dia tak pernah tahu macam apa rupa si Kolobi.
Di muka rumah, si kolektor mengucap salam dan bertanya sopan.
“Permisi, Pak Kolobi adakah?”
Kolobi langsung pasang muka datar dan menjawab cepat, “Sedang tidak ada.” Tak jauh dari situ, anak Kolobi sedang bermain, agar lebih meyakinkan Kolobi bertanya kepada si anak.
“Bella, Papa di mana?”
“Papa sedang di luar.”
Kolektor itu pun meninggalkan rumah dengan tangan kosong.