MOJOK.CO – Seorang mas-mas bercerita tentang kebingungannya yang memilih pacaran hanya karena nggak pengin kesepian. Kan nganu, ya~
TANYA
Dear Mbak Au, yang entah jawabannya nanti sesuai dengan harapan saya atau tidak.
Saya adalah mas-mas yang belum pernah pacaran dan sekalinya pacaran langsung LDR. Umur saya akan menginjak 21 tahun beberapa bulan lagi, dan saya yakin pacar saya akan menjadi orang yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Pasalnya, di keluarga saya tidak ada tradisi merayakan atau saling mengucapkan ulang tahun.
Jadi gini mbak, saat itu tidak ada angin tapi ada hujan, tiba-tiba saya ditawari oleh teman saya, mau atau tidak dikenalkan dengan temannya alias pacar saya sekarang? Sebagai perantau yang sering kesepian, tentu langsung saya terima dong tawaran tersebut. Saya diperantauan jarang main. Main pun selalu sama teman-teman yang cowok. Jadi, intensitas saya bertemu dengan lawan jenis begitu sedikit. Maka, semakin sedikit juga kesempatan saya untuk bertemu lawan jenis, sekadar menjadi teman curhat dan berbagi canda tawa.
Akhirnya, saya yang mengawali chat dengan pacar saya. Padahal dia juga sudah punya nomor saya. Begini kok bilang emansipasi wanita. Kami pun semakin dekat, kami saling bertukar tanya di dalam chat. Jadi, bukan hanya saya saja yang harus mencari bahan obrolan.
Dari situ, hampir setiap malam saya chatingan dengan dia, dan sesekali video call. Kami sudah seperti orang pacaran (walau saya belum pernah pacaran). Dia sering tanya apakah saya chat dengan wanita lain atau tidak, marah kalau bales chat dia lama, begitu perhatian dengan saya dan segala tetek bengek lainnya.
Skip-skip, waktu saya pulang kampung saya sempatkan untuk bertemu langsung dengan dia dan ngobrol ngalor-ngidul. Saya akui dia wanita yang asik, nggak cuma di chat saja. Cantik bagi saya, supel, dan yang saya suka dia bisa nggak main gadget saat kami sedang ngobrol. Kami bertemu hanya sebentar karena ada teman yang mau saya temui. Sebenarnya saya mau bertemu sekali lagi untuk memberi kepastian, karena saya merasa dia berharap dengan saya dan tidak enak jika menggantung. Tetapi saat saya ajak bertemu, dia berangkat ke luar kota dan akhirnya kita jadian via chat (iya, saya memang pria pengecut).
Saya sebenarnya biasa saja dengan dia, tidak ada perasaan kepada dia. Lebih merasa hanya sebatas teman chat agar tidak kesepian. Terlebih, saya bukan orang yang mudah untuk jatuh cinta, perlu waktu untuk benar-benar yakin bahwa saya jatuh cinta dengan seseorang.
Apakah saya jahat hanya menganggap dia sebagai pengisi saat saya sedang dilanda kesepian? Yang sebenarnya saya tak ada perasaan dengan dia. Apakah saya harus tetap berpura-pura hingga tak tau kapan berakhir? Ataukah saya harus jujur dengan dia soal hal ini? Mohon penggelapannya, eh pencerahannya.
JAWAB
Hai Mas-mas yang belum pernah pacaran. Saya akan coba menjawabnya, entah ini sesuai dengan harapan sampeyan atau tidak. Tapi kalaupun nggak sesuai harapan, ya, BODO AMAT.
Intinya, sampeyan ini deket sama seorang perempuan yang cukup menarik, nyaman, tapi belum ada perasaan. Terus, karena ngerasa nggak enak kalau dianggap nggantungin dan supaya ada teman saat dilanda kesepian, akhirnya memilih untuk jadian aja? Gitu, kan?
Oke, pertama, tentu saja kenyataan ini adalah sesuatu yang menyakitkan jika seseorang yang sekarang jadi pacar sampeyan itu tahu tentang fakta sebenarnya. Menerima realita bahwa hubungan tersebut hanya dijalani dengan alasan nggak enak dan biar nggak kesepian, jelas bikin ngilu sendiri. Apalagi, kalau ternyata, pacar sampeyan itu sungguh tulus dalam memberikan perasaannya. Dan akan lebih parah lagi, jika dia mengira, Mas punya perasaan yang—setidaknya—hampir sama.
Sampeyan ini bukan lagi pengecut, Mas. Tapi sungguh kurang ajar betul. Kok bisa-bisanya hanya karena kesepian, hati anak orang dijadikan mainan? Memangnya, nggak ada mainan lain yang sanggup dijadikan hiburan?
Begini, ya, Mas. Saya sebetulnya nggak terlalu ada masalah soal: apakah sebuah hubungan harus dilandasi cinta? Pasalnya, ada dua tipe seseorang dalam memulai hubungan. Pertama, suka dulu baru dijalani. Kedua, dijalani aja dulu dan berharap pelan-pelan bakal suka—karena terbiasa.
Nah, saya nggak tahu nih, apakah sampeyan betul-betul tipe yang kedua? Tapi yang pasti, meski memang nggak cinta, ketika sampeyan memutuskan pacaran sama dia. Ya, tetep harus berusaha menjaga komitmen tersebut. Nggak peduli gimana caranya.
Kalau ngerasa berat merawat komitmen karena memang nggak berlandaskan cinta. Ya, itu urusan sampeyan. Salah sendiri, dengan percaya dirinya macarin perempuan hanya karena kesepian.
Ehm, haruskah sampeyan jujur saja atau bertahan dalam kepura-puraan tersebut? Saya juga nggak begitu tahu, mana yang akan berdampak lebih buruk. Khususnya pada pacar sampeyan, setelah menerima kenyataaan yang sungguh bajingan itu. Tapi yang jelas, sebuah hubungan, apa pun itu. Kalau dijalani dengan kepura-puraan, hanya akan meninggalkan lara, benci, dan dendam.
Kecuali, sampeyan memang pengin pelan-pelan belajar mencintainya dengan modal kenyamanan—jalani aja dulu. Apalagi sampeyan bilang, kalau diri Mas bukanlah orang yang mudah jatuh cinta dan perlu waktu untuk betul-betul yakin sedang jatuh cinta dengan seseorang. Yaudah, dirasain dulu aja: mungkin nggak, bakalan cinta? Masalah perasaan itu, ditanyain ke dalam diri sendiri, Mas. Saya kan, nggak bisa masuk ke diri sampeyan. Lha, gimana caranya saya betul-betul tahu?
Meski kelakuan sampeyan cukup bikin saya pengin nyethol. Tapi saya juga mengapresiasi sampeyan yang menyadari, bahwa ada yang tidak beres dalam hubungan percintaan tersebut. Semangat menentukan dan semoga tidak menjadi menjadi bajingan~