LDR, Nggak Disukai Camer, Posesif, Nggak Diperjuangkan: Haruskah Bertahan?

LDR, Nggak Disukai Camer, Posesif, Nggak Diperjuangkan MOJOK.CO

MOJOK.CO Seorang perempuan menceritakan hubungan ribetnya dengan si pacar. Selain LDR, nggak disukai camer, dan posesif, ia juga merasa tidak diperjuangkan.

TANYA

Assalamu’alaikum. Hai, Kak. Perkenalkan nama aku Risky.

Langsung aja, ya! Aku mau minta pendapat nih~

Aku punya cowok, kita lagi LDR karena dia kerja di salah satu bank yang ada di Jakarta (nggak usah disebutin, ya). Aku sayang sama dia, tapi aku sakit atas perlakuan dia karna dia orangnya terlalu posesif menurutku. Dia awalnya sangat romantis dan perhatian, tapi semakin lama menjadi egois dan sangat pencemburu. Padahal aku selalu jujur sama dia. Kadang aku suka kesel dengan sikap dia yang selalu curiga itu.

Kita udah lama pacaran, cuma aku bingung atas sikap ortunya karena sama sekali nggak menyukai aku. Waktu itu, aku nggak sengaja membaca xmx dari ibunya yang menyuruh tuk menjauhi aku. Waktu aku tanya, kenapa ibunya begitu? Dia bilang ibunya nggak suka aku ke rumahnya.

Aku tuh sebenarnya bingung, Kak, mau bertahan atau berhenti sama dia?

Waktu aku tanya soal menikah, dia selalu marah. Dia bilang gini, “Kamu tunggu aku. Kalau nggak, kamu bisa cari yang lain.” Aku jadi merasa nggak diperjuangkan. Padahal, selama ini aku memperjuangkan dia tuk meyakinkan orang tua aku dari sebelum dia dapat pekerjaan.

Menurut Kak Au, aku harus gimana? Yang bikin aku nggak suka, dia juga terlalu memprioritaskan ortunya. Dia nggak pernah mikirin perasaanku, padahal dia tahu ortunya nggak suka sama aku. Selain itu, ortunya bakal izinin dia nikah kalau dia udah mapan dan punya pekerjaan tetap. Sedangkan sekarang kan cari pekerjaan itu sulit. Tapi dia kekeuh dengan prinsip ortunya, aku kan jadi bingung. Aku sendiri sih, pengin segera menikah. Tapi dianya kayak gitu.

Menurut Kak Au, pantas nggak orang kayak gitu diperjuangin?

JAWAB

Hai Mbak Risky yang curhat dengan penuh kebimbangan. Sebetulnya, saya nggak terlalu dapat memberikan pendapat. Pasalnya, seluruh hal yang sampeyan ceritakan tersebut hanya fokus pada ketidaknyamanan dan ketidakmungkinan hubungan tersebut untuk dilanjutkan. Sama sekali nggak ada cerita soal peluang dari hubungan sampeyan supaya bisa dipertahankan.

Bisa jadi memang sudah nggak ada lagi peluang. Atau, sampeyan yang nggak lagi melihat dan bodo amat dengan peluang di dalamnya. Mungkin diri sampeyan sedang diliputi emosi negatif yang membuat susah untuk mencerna kembali yang sebetulnya telah terjadi di antara kalian.

Begini, Mbak. Saya pengin sampeyan tahu, prinsip dalam sebuah hubungan adalah ketersalingan. Itu artinya, segala hal yang tengah kalian jalani, harus diusahakan bersama-sama. Bukan salah satu orang saja.

Kalau memang di tengah hubungan tersebut, ada perbedaan misi yang mesti dijalani dan diprioritaskan dulu. Nggak masalah, sih. Asalkan visi kalian harus sama. Misalnya: pengin hidup bersama.

Jadi ketika ada banyak “halangan”—ya soal orang tualah, soal LDR, ataupun soal pekerjaan yang harus tetap dan mapan dulu, tidak menjadikan hal-hal semacam tersebut sebagai “halangan” tapi “tantangan”. Lagi-lagi dengan syarat, kalian memang sama-sama pengin barengan sehidup sesurga nanti~

Akan tetapi, kalau ternyata selain misi yang harus dijalani berbeda, sampeyan juga merasa sama sekali tidak lagi diperjuangkan olehnya. Ya, monggo, manut sampeyan saja. Kalau memang sampeyan merasa sudah berusaha keras hingga mati-matian supaya hubungan tersebut dapat terus berjalan, sementara sampeyan melihat dia tidak menunjukkan usaha yang sama. Ya, buat apa?

Namun, saran saya sih, daripada kesimpulan itu hanya datang dari dugaan-dugaan semata pas lagi emosi. Bukankah lebih baik kalau sampeyan mengajaknya berdiskusi dulu perihal rencana ke depan. Sekalian sambil mencocok-cocokkan lagi, benarkah tujuan kalian sebetulnya sama? Atau jangan-jangan, memang sudah ada perbedaan dalam perjalanannya?

Intinya sih, yang terpenting adalah komunikasi dan berdiskusi terlebih dulu. Terserah mau diskusi macam apa. Mau diskusi panel, kek. FGD, kek. Senja, kek. T e r s e r a h. Senyaman kalian saja. Yang terpenting, ngobrol dong! Ngobrol.  Dan keputusan yang sampeyan ambil bukan sekadar berasal dari prasangka. Toh, hubungan yang kalian jalani ini sudah berjalan cukup lama, kan?

Oh ya, supaya nanti diskusinya lebih terarah, nggak mblara-mblara. Serta nggak mudah terpancing emosi terus malah ngambekan sehingga menjadikan diskusi tidak berjalan optimal. Saya mau urun usul, saat diskusi disempatkan untuk bawa kertas plano gede dan spidol. Fungsinya buat mempermudah bikin catatan analisis SWOT untuk masa depan hubungan kalian ke depan. Ya siapa tahu, kalau situasinya lebih serius obrolannya nggak cuma ngandelin perasaan, tapi juga logika. Lantas, bisa menemukan titik temu yang rancak.

Semoga segera menemukan waktu untuk bertemu di antara LDR kalian, ya~

Exit mobile version