Ketika Cinta Terhalang Gelar Sarjana

MOJOK.CO – Seorang lelaki bercerita tentang kisah cinta di hidupnya yang harus berakhir karena terhalang gelar sarjana.

TANYA

Selamat malam, Mojok. Saya Jati, seorang pesakitan cinta yang sedang dalam fase quarter life crisis. Kali ini, sesuai titel yang saya sematkan, saya ingin mencurahkan yang ada di hati saya menyoal kisah percintaan yang bisa dibilang sakitnya tiada tara.

Jadi begini, saya pernah berpacaran dengan seorang perempuan sejak kami kelas 1 SMA, tepatnya selama 9 tahun. Namun, selepas lulus SMA, saya dan pacar harus LDR selama 4 tahun. Dia di Jogja, saya di Ibukota. Tentu bukan 4 tahun yang mulus. Sampai-sampai kami memutuskan untuk mencari pacar di kota masing-masing yang sifatnya sementara. Istilahnya, “Lu boleh pacaran sama siapa saja, tapi ntar nikahnya sama gue.”

Selepas dia lulus kuliah, mantan saya ini menyusul ke Ibukota untuk melanjutkan master di kampus yang sama dengan saya. Saat itu, posisi saya belum sarjana. Singkat cerita, kami pun lulus dari kampus terbaik se-Indonesia, saya sarjana dia masternya. Agak njomplang memang. Namun bukankah cinta memang tak mengenal gelar?

Setelah itu, kami tetap tinggal di ibukota dengan pekerjaan kami masing-masing Hingga suatu ketika, dia diminta pulang ke rumah oleh orangtuanya dan baru kembali sebulan kemudian. Rupanya, dia dijodohkan dengan lelaki pilihan orangtuanya bahkan tanggalnya pun sudah ditentukan. Enam bulan lagi pernikahan itu akan digelar. Mendengar itu, rasanya jiwa saya hancur seketika.

Komitmen, “Lu boleh pacaran sama siapa saja, tapi ntar nikahnya sama gue.”, terus terngiang. Hingga akhirnya, saya beranikan diri untuk menemui orangtuanya. Untuk melamarnya.

Namun, kepercayaan diri yang sudah saya bangun dengan susah payah itu, runtuh. “Mas, kamu ini cuma sarjana, mana mungkin bisa membahagiakan anak saya.” Ungkap Ibunya.

WHAT THE_____

Saya tidak dapat menjawab apa-apa. Saya hanya berterima kasih dan pamit pulang sambil menahan amarah dan tangis yang membucah tapi tak bisa tercurah. Bedebah!

Saya kembali ke rantau dan memulai kegiatan seperti biasa. Tentu saat itu saya masih berhubungan dengan dia. Pokoknya, kami memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya. Rasanya tidak ingin berpisah dengannya meski sebentar saja.

Hingga suatu ketika, saat kami sedang makan berdua, tiba-tiba adiknya datang mendatangi kami. Adiknya mendamprat saya sebagai perusak hubungan. Tak lama kemudian, Ibunya menelpon saya. Segala makian dan cacian dikeluarkan. Saya hanya bisa pasrah.

Semua berlalu begitu cepat. Dia tidak dapat menolak kemauan orangtuanya. Meski saya diundang untuk datang di pesta pernikahannya, saya memilih untuk pulang ke rumah dan menenangkan diri. Yang menggelikan, ketika itu ibu saya mengunci semua pintu rumah supaya saya tidak menghadiri resepsi pernikahan tersebut.

Tiga hari setelah resepsi, dia menelponku. Sambil berbisik, ia menanyakan kabar dan meminta maaf. “Jangan berisik, nanti Masku bangun dan aku bisa kena marah.” Katanya.

Setahun berlalu, saya mendengar kabar kalau dia sudah bercerai secara sah. Tak lama setelah kabar itu beredar, dia kembali menghubungi saja, yang tentu saja bikin saya gundah gulana tiada terkira. Saya ingin kembali, tapi dia sudah punya anak yang baru saja mbrojol.

Saya ingin kembali, tapi statusnya pasti bakal dipertanyakan oleh keluarga saya, yang dulu memberikan banyak dukungan saat ia pergi.

Saya harus gimana, Jok? Mojok?

 

JAWAB

Hai Jati yang sedang dalam pesakitan cinta. Membaca curhatanmu itu, membuat dada saya mak ketimplang ketimplung seperti bunyi sampah kaleng di luar jendela yang terkena tetesan hujan. Sungguh, dada saya ikut menangis mendengar cerita panjangmu itu—padahal cuma trenyuh sih, nggak sampai pengin nangis juga.

Saya yang pada dasarnya tidak suka dengan cerita sinetron maupun FTV—karena ceritanya saya anggap tidak masuk akal itu—lantas menjadi punya kepercayaan baru. Bahwa cerita—sinetron maupun FTV—tersebut bisa jadi memang bukan bualan belaka. Saya menjadi tidak lagi menganggap bahwa itu hanya fantasi penulis naskah. Namun juga ada hasil riset di dalamnya. Sungguh, saya merasa bersalah terhadap orang-orang yang menulis naskah sinetron. Kok bisa-bisanya saya meremehkan apa yang mereka kerjakan begitu saja.

Begini, Jati. Saya sangat mengapresiasi kamu yang sudah berkenan untuk bercerita. Pun saya juga mengapresiasi kamu yang sebelumnya telah berusaha memperjuangkan dia, semampu yang kamu bisa.

Tapi kamu itu mbok ya, paham. Dalam budaya kita, masalah menikah tidak hanya tentang dua insan yang dimabuk asmara saja. Menikah dengannya berarti juga menikah dengan keluarganya. Seperti yang pernah kamu dengar, mungkin. Dalam budaya kita, ketika orangtua akan menikahkan anaknya, maka disebut dengan, Duwe Gawe, yang artinya memiliki hajat. Ya, pernikahan itu adalah acara  dan menjadi tanggung jawab orang tua. Begitu menurut adat istiadat kita.

Meski perkara dipandang cuma dari gelar akademisnya memang menyebalkan, bagaimana pun juga, setiap orangtua pasti memiliki nilainya masing-masing, yang dia percaya merupakan keputusan terbaik bagi masa depan anaknya. Jika memang mereka percaya bahwa tingkat pendidikan formal yang semakin tinggi akan berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, kamu bisa apa?

Jika memang kamu memiliki nilai yang berbeda dengan mereka, kamu mau maksa-maksain ‘nilai’ kamu ke mereka gitu? Hadeh, yang ada mereka justru semakin illfeel. Buktinya pas kalian masih maksa ketemuan—dengan sembunyi-sembunyi. Pas ketahuan, yang keluar justru sumpah serapah kan? Jadi, yaudahlah. Toh kamu sudah berusaha memperjuangkannya.  Bener waktu itu kamu memilih mundur dan TAHU DIRI kalau kamu memang cuma sarjana dan tak bisa bahagiakan dia.

Toh dengan penerimaan dan kesabaranmu itu, sepertinya kesempatan datang lagi, kan? Secara tidak langsung, kamu seperti bilang ke saya, bahwa semesta ingin mempertemukan atau bahkan menyatukan kalian lagi. Namun, kali ini kamu tidak tahu cara menjelaskan ke orangtuamu, sebab keadaannya memang sudah tidak lagi seperti dulu. Kondisi yang berbeda ini, semacam menjadi penghalang kamu untuk mudah berkata ‘ya’ saat dia menghubungi kamu lagi.

Lantas, kamu menanyakan apa yang perlu kamu lakukan? Seriusan, kamu masih tanya juga? Hellooooowww, tanya dong ke dirimu sendiri. Apakah rasa sakit hati dianggap cuma sarjana itu masih ada? Apakah kamu sebenarnya masih sayang sama dia? Apa kamu masih ingin bersamanya lagi—meski kali ini tetap cuma sarjana? Apakah kamu—bukan orangtuamu—tidak masalah dengan dia yang janda dengan satu anak?

Gimana? Galau ya, buat jawab? Bingung harus jawab apa?

Masalah perasaan tidak yakin itu hanyalah perkara aturan, Jati. Untuk apa kita terus memikirkan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi jika kita masih diam seperti ini tanpa melakukan apapun dan tidak memperjuangkan apa-apa. Lantas jika nanti ternyata terjadi sesuatu yang tidak kamu harapkan, kamu merasa kecewa? Iya?

Udah, kamu nggak usah sok-sokan ngerasa kecewa. kekecewaan itu hanya berhak dirasakan oleh orang yang telah berjuang. Jika kamu tidak berani memperjuangkan apa-apa, kamu tidak pantas untuk kecewa.

Seperti yang Rhoma Irama katakan: berjuang sekuat tenaga, tetapi jangan lupa, perjuangan harus pula disertai doa. Jadi, daripada kamu hanya terjebak dalam kebingungan belaka, coba kamu lakukan sesuatu. Siapa tahu nanti jalannya dilancarkan. Siapa tahu, ini hanya butuh sedikit perjuangan lagi. Support ini kan, yang kamu butuhkan?

Tapi kalau memang kamu nggak bener-bener pengin balikan, YAUDAH NGGAK USAH GALAU DAN CURHAT KE MOJOK.

Exit mobile version