Kehilangan Keperawanan Membuatku Tertekan

Tanya: Assalamualaikum. Sebut saja saya Mawar, usia 20 tahun, sekarang kuliah di sebuah universitas negeri ternama di Jawa Tengah.

Langsung saja, Mas Karjo. Permasalahan saya lumayan pelik. Saya baru saja putus dengan pacar saya yang umurnya 5 tahun di atas saya. Pacar saya ini tadinya berjanji akan menikahi saya karena keluarga kami sudah saling mengenal. Saya sudah melewati masa down beberapa hari karena dia pergi begitu saja dengan alasan dia bosan.

Untuk saat ini saya baik-baik saja. Tapi, ada beberapa hal yang cukup menganggu dan membuat saya ingin dia kembali seperti dahulu kala. Oh iya, kami pacaran 3 tahun dan secara finansial dia oke. Dia juga cukup tampan.

Masalah yang cukup menganggu dan membuat saya menjadi manusia paling hina adalah dia sudah merenggut keperawanan saya. Cukup menyedihkan untuk dikisahkan sebenarnya. Cukup saya sesalkan dan saya akui saya salah dan dia juga salah. Mungkin tidak ada ketulusan dari dia sehingga kami jadi seperti ini. Tapi, pada beberapa kesempatan dia terlihat sangat bertanggung jawab. Entahlah menurut saya dia yang terbaik. Atau mungkin karena saya sudah sejauh ini sama dia.

Dan sekarang dia pergi begitu saja tanpa berpikir apa yang telah dia ambil dari saya. Untuk di zaman seperti ini, mungkin di kalangan mahasiswa sudah biasa ya. Tapi, dia adalah yang pertama bagi saya. Saya tidak bersikap biasa saja. Saya rela melakukannya karena memikirkan dia akan bersama dengan saya seterusnya, tapi nyatanya tidak. Iya saya bodoh, Karjo. Maafkan saya.

Menurut Karjo, bagaimana saya harus menjalani hidup ke depannya? Apakah seorang laki-laki tidak pernah memosisikan dirinya di posisi perempuan? Kalau orangtua saya tahu, saya mungkin akan menjadi anak paling durhaka. Untuk solusi secara fisik, saya sudah oke. Tapi, secara batin saya benar-benar tertekan dengan masalah keperawanan itu.

Jawab: Waalaikumsalam, Mba Mawar. Terus terang Karjo merasa agak sungkan menjawab curhatan Mba ini. Tadi, abis baca curhatannya Karjo sempat bengong beberapa saat karena bingung kudu jawab gimana. Tapi, karena sudah merupakan tugas Karjo untuk menjawab curhatan yang masuk ke Mojok, Karjo akan coba untuk menjawab curhatan Mba sesuai kapasitas Karjo.

Kehilangan keperawanan memang bukan hal yang mudah dihadapi perempuan. Selain aspek psikologis perempuan itu sendiri, peristiwa ini juga sangat erat kaitannya dengan budaya serta pola pikir masyarakat yang (masih) menganggap perempuan yang sudah tidak perawan berkurang “nilainya” sebagai perempuan.

Hal inilah yang menyebabkan perempuan yang kehilangan keperawanannya merasa tertekan. Setahu Karjo demikian.

Dulu Karjo punya teman perempuan yang mengalami hal serupa dengan yang Mba Mawar alami. Dia pacaran, kehilangan keperawanannya, lalu mereka putus. Waktu itu, setahun setelah dia putus dengan pacarnya, Karjo sempat ngobrol-ngobrol santai dengan teman Karjo itu di sebuah warung burjo sekitar pukul tiga pagi.

Dari obrolan kami, Karjo mengetahui jika teman Karjo ini, sebut saja Dinda, sudah tidak lagi memiliki perasaan pada mantan pacarnya. Dia juga mengaku dia baik-baik saja meski sudah kehilangan keperawanannya. Dia bilang kira-kira begini

“Waktu ngelakuin ‘itu’ juga kita udah punya kesepakatan, sih. Aku nggak ngerasa terpaksa dan aku juga udah sadar konsekuensinya bakal kayak gimana. Jadinya ya udah.”

Dinda mengaku dia sebenarnya sempat down juga selama beberapa minggu setelah kehilangan keperawanannya. Sama seperti Mba Mawar, Dinda juga merasa kotor, bersalah, dan menganggap dirinya bodoh. Dinda juga sempat mengalami kekhawatiran bagaimana jika seandainya orangtuanya mengetahui bahwa dia sudah tidak lagi perawan.

Dinda khawatir bagaimana jika nantinya tidak akan ada laki-laki yang mau menerimanya sebagai pasangan karena dia sudah tidak lagi perawan. Kekhawatiran-kekhawatiran ini sempat membuatnya sedikit merasa tertekan.

Hal pertama yang Dinda lakukan adalah berhenti menyalahkan diri sendiri. Dia berhenti menganggap dirinya bodoh, kotor, hina, dan bersalah. Dia juga berhenti menganggap mantan pacarnya ada.

“Berpikir aku tuh bodoh, hina, dan sebagainya justru bikin aku tambah down,” kata Dinda. “Nyalahin dia (mantan pacarnya) juga buat apa, toh kita ngelakuin ‘itu’ atas dasar kesepakatan bersama.”

Hal kedua yang Dinda lakukan adalah menemukan tempat bercerita yang tepat. Untungnya, Dinda memiliki seorang teman, sebut saja Rani, yang mau mendengarkannya dan bisa membuatnya merasa nyaman dan aman.

“Kamu ngasih tau orangtuamu, nggak?” tanya Karjo waktu itu.

“Aku mutusin nggak ngasih tahu. Tapi, nanti kapan-kapan mungkin aku bakal ngomong, sih,” jawab Dinda.

“Terus pacarmu yang sekarang tahu kalo kamu udah nggak perawan?”

“Tahu. Dan dia nggak keberatan, sih.”

Dari obrolan Karjo dengan Dinda itu, saran Karjo, mungkin Mba Mawar bisa mengikuti langkah yang Dinda lakukan waktu itu. Masalah bagaimana nanti jika orangtua Mba tahu, menurut Karjo hal ini kembali ke bagaimana hubungan Mba Mawar dengan orangtua dan bagaimana karakter orangtua Mba Mawar.

Jika nantinya Mba Mawar memutuskan untuk kembali menjalin hubungan dengan laki-laki lain, ada baiknya Mba terbuka dengan kondisi Mba Mawar. Jika dia tidak bisa menerima, sebaiknya Mba tidak membuang-buang waktu dengan laki-laki itu.

Rasanya segitu aja yang bisa Karjo sampein. Semoga Mba Mawar segera menemukan titik terang dari masalah yang Mba hadapi.

(Dari Karjo yang pernah nangis dan merasa takut saat kehilangan keperjakaannya.)

Anda dilanda masalah cinta? Punya problem dengan fenomena panjat sosial? Pusing menghadapi tekanan society? Atau butuh teman diskusi tentang rencana bisnis lele? Karjo, psikolog Mojok yang bukan insan tapi seekor sapi, siap menampung, menjawab, dan memberi pencerahan untuk masalah-masalah Anda. Caranya, kirimkan curhat dan cerita Anda ke redaksi@mojok.co dengan subjek Curhat Mojok. Curhat terpilih akan dijawab dan ditayangkan di Mojok.co.

Exit mobile version