Kampus dan Ekspektasi Orang Tua Membuat Saya Depresi

curhat 7.OKT.17

curhat 7.OKT.17

Tanya

Selamat pagi atau siang atau malam, Kak Agus dan Kak Prim. Saya ingin curhat, tapi hehe hehe hehe gitu.

Saya sudah setahun depresi. Sudah ke psikiater. Diagnosisnya menyeramkan dan obatnya malah memperburuk keadaan (sayanya yang memperburuk diri sendiri, tapi betulan, efek sampingnya menyebalkan). Mungkin panjenengan mau saya repoti dalam rangka psikoterapi. Kalau nggak mau ya nggak papa. Sebelumnya saya minta maaf kalau cerita saya nggak runut dan ngalor ngidul dan memusingkan karena saya ini bodoh betulan dan belakangan ini semakin linglung.

Begini, anggap saja nama saya Ampas, saya berumur delapan belas tahun dan sedang bingung sekali sama hidup. Ya, saya sudah sering dibilang, “Masih muda kok sambat sekali,” tapi ya memang saya yang ampas ini sering merumit-rumitkan masalah.

Jadi, saya sekarang mahasiswi. Ayah saya pengusaha di bidang penukar panas dan saya masuk mesin karena berharap bisa meneruskan usaha ayah yang sudah menurun, pun karena saya anak pertama dan dulu saya lumayan suka pelajaran Matematika dan Fisika ketika SMA. Kuliah dimulai, dan saya yang ampas sesuai nama saya ini memang sulit beradaptasi dan miskin rasa percaya diri.

Pasti panjenengan sudah tahu kalau perempuan jadi minoritas di jurusan ini. Memang yang cantik-cantik digandrungi, tapi kalau tidak cantik setidaknya harus bisa haha hihi dan lucu untuk menarik, dan saya tidak cantik maupun asyik. Saya tidak punya apa-apa yang bisa ditawarkan maupun dibanggakan di sini. Membosankan, iya, pintar pun tidak, cantik apalagi. Saya hanya bisa menaikkan kepercayaan diri di akun Instagram karena orang-orang suka gambar dan kreasi saya yang lainnya. Di kehidupan nyata, saya ampas seampas-ampasnya.

Jadi, begitulah. Semester satu, saya mengisolasi diri. Saya kira saya akan terbiasa dengan kesepian ini, tapi lama-lama atmosfer di kampus rasanya menekan sekali. Ya, kampus saya memang begitulah, bisa dibilang hawanya ambisius dalam akademik maupun kegiatan kemahasiswaan. Akhirnya saya tidak ikut unit kegiatan mahasiswa dan teman yang sejalan karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing ketika saya sibuk melawan pikiran negatif saya sendiri.

Saya kuliah pulang-kuliah pulang, bukan untuk belajar, tapi merenung dan menangis, sebuah label bagi mahasiswa yang bisa dibilang sering dipandang rendah atau mungkin saya yang kebanyakan memandang rendah diri saya sendiri. IP saya 3,28 dan orang tua saya berharap IP saya 3,5. Mungkin bagi orang-orang itu sudah cukup tinggi, tapi tahun pertama di kampus saya kurikulumnya itu mendalami pelajaran SMA, jadi kebanyakan orang di atas 3,5.

Semester dua, keadaan saya makin memburuk. Eating dan sleeping disorder saya semakin parah. Saat kuliah, boro-boro mencatat, mendengarkan dosen pun tidak. Hanya menggambar, menggambar, dan menggambar yang menjadi pelarian saya. Saya punya banyak kenalan seniman muda, tapi saya semakin merasa ampas. Saya berulang kali memikirkan untuk pindah ke ISI, tapi orang tua tidak setuju karena mereka religius: tidak suka gambar saya (karena katanya dosa besar) dan lingkungan saya kalau terlalu berkecimpung di seni (mereka bilang anak seni kebanyakan ateis).

Di semester dua ini IP saya menurun dan orang tua kecewa. Saya sembunyi-sembunyi ujian lagi di PTN di Yogyakarta dan diterima. Awalnya saya kira saya bisa me-restart kehidupan kuliah saya. Tapi, kalau dipikir-pikir, saya ini memang ampas dan bukan lingkungan saya yang menyebalkan. Karena dilarang orang tua juga, akhirnya saya tetap di Bandung.

Di kampus keadaan saya jauh lebih buruk akhirnya, melihat kenalan di jurusan saja saya takut. Saya semakin banyak menangis saat kuliah sembunyi-sembunyi, merasa beban bagi orang tua dan teman-teman.

Self harm saya kambuh. Sampai saya mencoba bunuh diri dengan overdosis obat yang diberikan dokter, saya minum 18 tablet, tapi saya tidak mati. Saya bolos kuliah sampai hari ini karena saya takut, entah takut apa. Saya kesal dan bingung sendiri. Teman-teman ada, mereka baik, bisa diandalkan, tapi saya yang tidak bisa diandalkan balik. Saya semakin merasa jadi beban dan selalu merepoti orang, dan ujung-ujungnya ingin mati saja daripada menghabiskan uang orang tua, udara agak bersih, dan air bersih. Lebih baik saya menghilang saja.

Selain masalah kuliah, masalah orang tua juga jauh lebih rumit dan rasanya saya bingung menjelaskannya. Mereka berubah menjadi muslim garis keras ketika saya kecil, saya sendiri belum bisa menerima dan merasa seolah kehilangan sosok orang tua yang dulu saya sayangi, dan mungkin itu berdampak ke diri saya sekarang.

Saya jadi takut menjalin pertemanan, terlalu sensitif, dan semakin ampas. Saya depresi begini, selalu diceramahi padahal saya hanya butuh orang yang mengerti. Saya surem begini, malah dirukiah dan jujur, tidak ada efek apa-apa yang berarti. Saya sedang menjalani kontrak dengan seseorang untuk tidak mencoba bunuh diri lagi sampai akhir September, entah bagaimana selanjutnya. Saya ini ampas, kecil, kecil sekecil-kecilnya, dibanding galaksi Bimasakti dan lainnya. Kalau saya tidak ada, hidup tetap berjalan, dan matahari tetap terbit dari timur kecuali memang sudah waktunya kiamat.

Apakah saya lebih baik memperpanjang kontrak atau bagaimana? Kemungkinan besar jawabnya adalah iya, tapi saya tetap merasa, kalau saja saya bisa menghilang dan menghapus semua memori orang-orang tentang keberadaan saya, pasti akan saya lakukan sekarang juga.

Salam hangat karena saya sedang di Bekasi dan Bekasi itu panas dan rasa terima kasih satu gerobak karena sudah mau saya repoti.

Jawab

Halo, Ampas, saya ingin kamu tahu: kamu berharga, kamu penting, dan kamu berhak merasa sedih. Sedih adalah hal yang wajar, kamu tak perlu malu akan hal ini, saya kira menangis adalah upaya manusiawi dan wajar dari tubuh kita untuk merespons kondisi yang tak bisa kita kendalikan. Kamu bukan ampas, kukira kita mulai dari sini. Kamu bukan sesuatu yang layak dibuang, bukan sampah dan yang jelas kamu bukan sesuatu yang buruk.

Bagaimana jika kami memanggilmu dengan Amp saja?

Amp yang baik, Prima, Agus, dan seluruh kawan-kawan di Mojok peduli padamu. Kami minta maaf karena telat membalas pesanmu. Kami tak tahu bagaimana harus merespons, kami tak ingin terjebak jadi orang yang sok tahu, memberimu khotbah yang tak kamu butuhkan, sementara kami percaya kesedihan, beban, serta penderitaan adalah kesunyian masing-masing. Kami hanya bisa berharap kamu akan terhibur dengan tulisan ini.

Amp yang baik, kami kira kamu tidak bodoh. Setiap manusia yang sedang resah, saya kira akan berusaha untuk mencari bantuan, ini bukan tindakan yang pengecut untuk menyadari dirinya daif, lemah, dan butuh orang lain. Arman Dhani, misalnya, pernah merasa depresi dan butuh waktu lama untuk bisa memaafkan dirinya sendiri akibat putus dengan pacarnya. Dia butuh waktu untuk menyadari kesalahannya sendiri, bertemu dengan mantannya, sebelum akhirnya bisa menghadapi hidup.

Amp yang baik, dalam hidup orang akan melihatmu dari apa yang kamu tampakkan. Ini memang menyebalkan, kamu tahu. Seolah-olah orang melulu diukur dari seberapa cantik dan seberapa menarik tampilan visualnya. Kami memang tak bisa merasakan apa yang kamu rasakan, tapi kami sangat senang mengetahui bahwa kamu suka menggambar, bolehkah kami tahu kreasimu?

Setiap orang punya satu hal yang bisa membuat mereka merasa terpuruk dan tak berharga, tapi kami di Mojok belajar untuk menertawakan kekurangan kami. Agus, misalnya, merasa sangat rendah diri karena miskin, giginya mancung, dan tak pernah kuliah. Ia belajar untuk menyadari bahwa rasa hormat, kepercayaan, dan integritas diraih dari proses belajar. Saat naskah ini ditulis ia dengan congkak berkata.

“Sekarang apa yang aku nggak punya? Harta, kekuasaan, semua aku punya!” kata Agus.

Lalu seseorang di kantor bertanya, kalau masa depan?

“Ambyar,” jawabnya.

Amp yang baik, kami tak ingin membandingkan penderitaanmu dengan masa lalu Agus. Kami ingin kamu terhibur, tertawa, dan syukur-syukur merasa lebih baik. Eh, iya, selamat kamu bisa kuliah di jurusan teknik, kukira ini bukan perkara keberuntungan. Kamu pintar, IPK tiga bukan perkara mudah, apalagi seperti yang kamu bilang, jadi mahasiswi perempuan di jurusan Teknik adalah hal yang jarang, kerap kamu merasa jadi minoritas.

Menghadapi depresi memang tidak pernah mudah. Apalagi jika kamu sendiri dan memiliki tanggung jawab untuk mengurus hal di luar dirimu. Jangan takut disebut sensitif, baper, atau manja, ini adalah hal yang manusiawi. Tentu berat menghadapi depresi saat kamu harus kuliah, kerja, dan berinteraksi. Kami ingin sekali bisa membantumu, tapi kami sadar kami bukan orang profesional, tapi jika berkenan, kami berharap apa yang kami tulis di Mojok akan menghiburmu.

Hei, Amp, apakah ada hal yang gemar kamu lakukan? Bagaimana jika kita membahas hal-hal yang kamu sukai, menggambar, misalnya. Kami tak bisa menggambar, kecuali Ega dan Ali, tapi kami percaya, menggambar adalah bentuk terapi dan ekspresi diri yang baik. Dosa atau tidak, itu hal yang lain, kami kira, jika menggambar membuatmu lebih tenang, bahagia, dan lebih baik mengapa tak kamu teruskan? Lebih dari itu, mbok gambar buat Mojok. Gimana?

Amp yang baik, kamu tahu? Kadang orang tua menunjukkan rasa sayang dan cinta dengan cara yang salah. Kami tak ingin kamu membenci orang tuamu, meski kami percaya bahwa apa yang orang tuamu lakukan punya andil dalam masalahmu hari ini. Kami berharap kalian bisa menemukan jalan untuk bicara terbuka, melibatkan pihak lain yang bisa jadi penengah, yang jelas kesehatan dan kebahagiaanmu adalah hal yang penting.

Soal rukiah, Agus juga trauma rukiah. Dia itu bilang pernah baca bahwa orang yang dirukiah nggak akan masuk surga. Ini statement ngasal, ra mashok, tur bodo yang pernah kami dengar. Tapi, ia menceritakannya dengan bangga. Awalnya Agus merasa ia dirasuki jin karena saat wudu ia bisa menghabiskan waktu dua jam. Bener, dua jam. Setelah itu ia direkomendasikan untuk rukiah, bukan sembuh, ia malah takut. Ya gimana, Agus ini kan manifestasi jin dalam bentuk manusia.

Agama semestinya membuat manusia jadi lebih baik. Sayangnya banyak orang merasa dirinya lebih baik dari yang lain karena beragama. Ini dua hal yang berbeda, kami berharap kamu bisa menyadari bahwa kadang ada orang yang menggunakan agama untuk keburukan, tapi ada orang yang mendalami agama untuk  menyebarkan kebaikan. Di sini, kami berharap kamu akan menemukan jalan terbaik untuk berkompromi.

Amp yang baik, kamu itu penting, kamu itu berharga, dan kukira kamu punya banyak alasan untuk hidup. Kalau kamu mati, nanti kamu nggak akan sempat lihat Liverpool memenangi liga Inggris, rugi bukan. Untuk itu Amp yang baik, jika kamu berkenan dan mau, yuk perpanjang kontrak itu. Gimana kalo kamu tetap hidup sampai Agnez Mo beneran go international, Papua merdeka, Liverpool menang Liga Inggris, atau The Smiths reuni?

Amp yang baik, kami tak bisa memberikan komitmen untuk selalu ada buatmu, tapi kami berharap jawaban kami ini bisa membuatmu lebih baik. Oh iya kami ingin kamu tahu, saat rasa sesak dan keinginan bunuh diri itu muncul lagi, kamu menghubungi kawan-kawan di Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/layanan psikofarmaka) di pendampingan.itl@gmail.com.

Amp yang baik, hidup yuk. Kami sayang kamu.

Exit mobile version