MOJOK.CO – Seorang perempuan menceritakan kekesalannya tentang ibu suka marah dan cukup membuatnya tidak betah tinggal di rumah.
TANYA
Dear Mojok yang tjakep….
Perkenalkan nama saya River, seorang wanita muda yang masih tinggal bersama kedua orangtua.
Jadi gini, sejak saya masih sangat kecil atau yah minimal masuk TK, saya sering mendengar ungkapan, “Surga ada di bawah telapak kaki ibu.” Meskipun realita yang saya temui adalah adanya kutu air di bawah telapak kaki Ibu saya.
Ungkapan di atas seakan menggiring saya untuk selalu hormat kepada Ibu apa pun yang terjadi. Di dalam ajaran agama juga begitu. Ibu disebut tiga kali sedangkan Bapak hanya satu kali.
Pertanyaannya, apakah semua ibu adalah orang yang baik kepada anaknya? Kalau menurut saya sih nggak. Contohnya Ibu saya. Beliau sebenarnya sangat saya sayangi, tapi seringkali beliau melakukan hal-hal yang malah membuat saya memiliki cukup alasan untuk tidak menyukainya.
Misal, sejak kecil saya selaluuuuuuuu saja dibanding-bandingkan dengan anak-anak tetangga. Katanya saya kurang inilah, apalah. Pokoknya saya adalah yang paling buruk dan jelek dibanding lainnya. Ibu suka marah. Ibu juga sering memukul saya, bahkan dulu sampai dicubit kenceng banget sampe saya nangis kejer. Untunglah saat kelas tiga SD, saya udah nggak nangis kalau dicubit. Saya udah terbiasa.
Semakin gede saya malah menunjukkan sikap yang sama seperti Ibu saya. Mudah marah. Tapi, sebenarnya saya selalu menyesal teramat dalam setelah marah kepada seseorang. Tapi sekali lagi, tiap kami ada percekcokan, Ibu selalu bentak keras-keras sampai semua tetangga saya tahu.
“KAMU INI ANAK YANG NGGAK TAU DIUNTUNG. LIAT TUH YANG LAIN!! HARUSNYA KAMU BISA BERSYUKUR!!”
Atau, “MEMANG, YA. KAMU ITU YA EMANG CUMA KAYA GITU AJA. KAMU YA KAMU. ORANG YANG JELEKNYA LUAR BIASA.”
Saya sakit hatiii banget. Padahal saya nggak pernah teriak kalau lagi berantem sama ibu. Saya juga kalau dibentak cuma diem terus nangis. Kalau pun membalas argumen beliau, saya hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dengan sejujur-jujurnya. Tapi, Ibu saya bilang saya hanya beralasan.
Gimana nih, Jok, cara mengatasinya? Saya sudah sumpek banget sebenarnya. Tolong di jawab ya, supaya kegalauan saya menghilang.
JAWAB
Hai River….
Membaca ceritamu itu, membuat saya ikut nyeri sendiri. Pasti sulit rasanya diperlakukan seperti itu, oleh seseorang yang seharusnya bisa membuat kamu merasa nyaman dan bebas menjadi diri kamu sendiri. Seseorang yang seharusnya bisa menjadi support system bagi kehidupan kamu. Tapi itu kan cuma “seharusnya”, ya. Bagaimanapun, ibu juga manusia biasa seperti kita, anak-anaknya. Maka mengharap beliau dapat menjadi sosok yang sungguh sempurna, adalah sebuah ekspektasi yang nantinya akan menyakiti diri kita sendiri.
Saya sangat mengapresiasi sikap kamu meskipun ibu suka marah dengan berteriak dan membanding-bandingkan kamu. Sikap kamu yang tidak balas berteriak saat marah pada beliau, sungguh kece sekali. Pasalnya tidak banyak, manusia yang sanggup mengontrol emosinya dalam kondisi seperti yang kamu alami.
Meski sebetulnya marah adalah emosi wajar. Seperti layaknya sedih, kecewa, ataupun malu. Namun, yang menjadi masalah di sini ketika marah tersebut kemudian dikeluarkan dengan cara menyakiti orang lain. Menurut saya, ada suatu masalah yang sedang dihadapi oleh ibu kamu. Entah apa itu. Hingga akhirnya, kekesalan itu beliau lampiaskan ke kamu. Lantaran, mungkin hanya pada kamulah, beliau bisa merasa lebih superior dan menganggap punya kuasa lebih atas kamu.
Kita mungkin, mengharap ibu—yang usianya lebih tua—bisa bersikap mengalah pada kita. Sayangnya, usia dan kedewasaan adalah sesuatu yang berbeda. Oleh karenanya, tidak ada salahnya, jika kita mau mencoba mengalah dalam menghadapi sikap ibu suka marah.
Jika ibu sedang marah, mungkin kamu bisa terdiam sebentar, mengatur nafas sambil memejamkan mata untuk menenangkan diri. Jika memungkinkan, pergilah sebentar ke ruangan lain. Setelah omelan ibumu tersebut mereda, mungkin kamu bisa katakan yang kamu rasakan.
Seperti, “Aku sangat sedih kalau ibu suka marah sambil teriak-teriak begitu. Apalagi kalau ibu membanding-bandingkan aku dengan orang lain. Ini membuatku merasa tidak diterima sebagai anak.” Jika perlu tambahkan kalimat, “Aku harus bagaimana, supaya bisa membuat ibu senang dan tidak marah ke aku?” Saya tahu, mengungkapkan kalimat semacam ini saat diri kita sedang emosi, bukanlah hal mudah. Tapi, saya harap, kamu berkenan untuk mencobanya.
River, cerita yang kamu sampaikan ini, sebenarnya belum cukup lengkap. Yang kemudian memunculkan pertanyaan dalam otak saya, apakah ayahmu juga berbuat kasar dan keras kepada ibu kamu? Atau, bagaimana reaksi ayah, saat melihat ibumu mengeluarkan kata-kata kasar pada kamu? Ya, siapa tahu, ayahmu justru berpotensi untuk diajak bekerja sama menghadapi kemarahan ibu.
Jika kamu ingin mencoba untuk membantu ibu, tidak ada salahnya untuk mengidentifikasi. Biasanya, ibu suka marah dalam kondisi seperti apa, sih? Meskipun, kemarahannya muncul secara random, tapi pasti ada stimulus yang membuatnya marah, kan? Nah, coba kamu cari benang merah untuk memahaminya.
Namun, jika kamu betul-betul sudah tidak tahan berada di rumah. Bahkan karena suasana yang tidak cukup kondusif tersebut justru menghambat aktivitas dan kariermu, tidak aada salahnya mencari ketenangan di luar rumah. Jika perlu, tinggalah di luar kota. Terkadang, dengan adanya jarak, justru dapat memberikan pemahaman, bahwa kamu sebegitu berharganya. Keberadaanmu yang seolah selalu serba salah di matanya, ternyata tetap ia butuhkan. Tetapi bukan untuk dimarah-marahi, disalahkan, dikasari, ataupun dibanding-bandingkan, sih.
Meski begitu, saya tetap meyakini, kalau setiap ibu tentu menyayangi anaknya. Mereka pasti selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Hanya saja, terkadang mereka tidak tahu cara mengungkapkannya. Beliau tidak paham, bagaimana men-transfer rasa sayang tersebut, supaya dapat dipahami oleh anaknya—yang memang sudah berbeda generasi.