Tanya
Assalamualaikum wr. wb.
Yang terhormat, Gus Mul dengan segala kemampuannya memecahkan permasalahan umat dan Cik Prim yang tiada henti mewarnai dunia dengan senyum manisnya.
Jadi begini, Gus/Cik, aku pernah mengalami permasalahan yang begitu pelik sehingga aku sampai sempat berpikir aku ingin menyudahi derita ini dengan menghadap sang Khalik. Apalagi kalo bukan masalah percintaan. Di usia yang harusnya sudah melakukan persiapan nikah, aku masih menyendiri menjalani kehidupan yang fana ini.
Sekitar 2 tahun yang lalu, aku pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis, sebut saja Aida. Gadis ini tidak terlalu cantik, tapi senantiasa menyenangkan dipandang setiap hari. Aku mengenal dia dari aktivitasku sebagai aktivis di BEM. Yah, sebagai generasi muda yang semangat perjuangannya masih berapi-api dan kemudian bertemu dengan orang yang bakal digadang-gadang menemani masa depan pastilah api semangat ini makin berkobar. Dan cinta ini muncul begitu saja tanpa dinyana tanpa disangka. Sejak ospek, ya Aida ini yang menarik perhatianku.
Hari demi hari, bulan demi bulan aku mencari referensi tentang gadis ini. Tentang hobinya, makanan favoritnya, musik yang disukai, hingga bagaimana kesehariannya di rumah. Dan banyak dari dirinya yang sesuai dengan wanita idamanku. Dia cerewet tapi tidak suka mengatur, kekanak-kanakan tapi bisa lebih dewasa dariku, pokoknya udah pas BGT.
Hingga melauli temannya, aku minta tolong untuk bisa jalan bareng. Oh iya, kebetulan aku kuliah disalah satu kampus Islam swasta di Solo yang kehidupan beragamanya cukup kental sehingga aku agak canggung mau mbribik, dan dia juga lulusan dari pondok pesantren. Akhirnya aku mendapatkan momen untuk jalan bareng Aida, tentu ditemani temannya ini.
Kami mulai perkenalan, ternyata dia sudah tahu namaku, dia juga tau beberapa hal tentangku. Ngobrol kita jadi sangat menyenangkan saat itu. Ngalor ngidul kami bicara tentang banyak hal. Hingga akhirnya kami bertukar nomor. Obrolan kami semakin intens. Bahkan dia sangat asyik diajak guyonan. Semakin lama semakin akrab dan musim semi yang disebut cinta itu datang juga.
Dua bulan lebih obrolan kami berjalan. Mulai dari hal sederhana, dia minta tolong soal tugas kampus, tanya udah maem atau belum hingga mengingatkan salat tahajud, kurang syahdu apa coba? Dia mulai mengingatkanku tentang kesehatan, agak bawel kalau aku merokok, dan marah-marah kalau aku telat makan. Dengan semua itu aku yakin, inilah jodoh dunia-akhiratku.
Jelang satu bulan, dengan seluruh asmara yang membuncah, kuberanikan diri nembak dia. Aku masih ingat, aku menembaknya saat mengantar dia berangkat ke kampus, “Aku cinta kamu, anna uhibuki fillah”, kataku kala itu. Butuh waktu tiga hari sampai dia mau menjawab, tiga hari yang cukup menyiksa, karena selain aku harus terus memendam rasa penasaran, selama tiga hari itu pula dia blas kami tidak saling menghubungi.
Beruntung, di hari keempat, dia akhirnya menjawab melalui whatsapp dengan jawaban yang menyenangkan. “Anna uhibuka fillah, Akh…“ jawabnya. Sungguh, itu jawaban yang sangat aku tunggu. Akhirnya kami pacaran. Musim semi ini semakin indah.
Nah, tapi di sinilah permasalahan dimulai. Aku tak mengira pacaran ternyata tidak semenyenangkan ketika pendekatan. Dia mulai protektif, over bahkan. Kalau dulu dia cuma mengigatkanku untuk mengurangi rokok, saat pacaran dia malah mematahkan rokokku di depan teman-temanku. Pokoknya semuanya serba menyebalkan.
Aku mulai berpikir rasional. Mencoba realistis. Aku bertanya pada teman yang biasa jadi tempat curhatnya. Tentu tanpa sepengetahuannya. Sebut saja nama temannya ini Eka. Awalnya Eka tak mau cerita, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Akhirnya Eka cerita, orang tuanya sudah tahu kalau Aida pacaran dan melarangnya melanjutkan hubungan lebih jauh denganku. Aida melakukan semua itu agar aku memutuskannya. Dia tidak mau aku kecewa. Trenyuh aku mendengarnya. Hatiku menangis. Ternyata selama ini aku salah menerka (sampai suatu saat aku tahu sejatinya dan itulah masalahku sampai saat ini). Oke, aku bertekad menemui orang tuanya. Aku beberkan semua yang aku ketahui, dia menangis. Aku sampaikan aku akan bertemu dengan Umi dan Abinya. Dia mengangguk.
Saat itu hari Kamis bulan November 2015, aku datang ke rumahnya. Kali ini aku datang dengan gagah, tanpa keraguan. Ternyata aku disambut dengan baik oleh Umi dan Abinya. kujabat erat tangan Abinya, Uminya menelungkupkan tangan di depan dada. Uminya sudah tahu tentang aku. Aida sering curhat. Sebenarnya, Uminya hanya ingin bertemu denganku, pemuda yang kelak akan meminang putri sulungnya. Kami mengobrol, bercanda, saling mengenal dan bahkan Abinya tertawa lepas. Ternyata mereka setuju denganku.
Aku lega. Selama ini yang ditakutkan Aida terjawab (sekali lagi sebelum semua terungkap). Umi dan Abi merestui hubungan kami, bahkan menyarankan kami untuk segera saja menikah. Bahkan jika aku belum punya pekerjaan, Uminya menyarankan aku untuk tinggal disana. Selesai sudah satu masalah.
Hubungan kami membaik untuk tiga sampai empat bulan ke depan. Uminya sering meminta aku untuk sekadar mampir, Abinya sering meneleponku untuk menjaga anaknya. Aku sudah selangkah menuju masa depan, diterima oleh keluarga si gadis.
Hingga suatu hari permasalahan muncul lagi. Entah ada angin apa, setiap kali aku chatting dia, dia membalas cukup lama, tak seperti biasa. Aku masih mencoba menganggap wajar. Hingga suatu hari dia tak mau kuantar pulang, ada tugas kelompok katanya. Aku masih mencoba bersikap wajar. Hingga kejadian itu berulang. Padahal, ketika kutanya teman-temannya, ternyata tidak ada tugas kelompok. Dia mulai berbohong. Kecurigaanku semakin memuncak saat dia mulai menulis status yang, aku yakini, itu ditujukan untuk orang lain, untuk laki-laki lain.
Kecurigaanku semakin memuncak saat dia mengirimkan pesan, “Ayah lagi ngapain, bunda lagi suntuk dikampus nih,” padahal kami tak pernah menggunakan sapaan ayah-bunda, ia menganggapnya kenanak-kanakan. Ia berdalih, katanya hapenya dibajak Eka, padahal aku tahu benar, Eka sedang keluar dengan pacarnya. Dia kemudian malah marah-marah tidak jelas, hingga akhirnya, ia mengirimiku pesan, “aku ingin kita break dulu, aku lelah,” dan kujawab “yasudah, jika kamu sudah break-nya, nomor dan pin-ku masih yang ini.” Kami kemudian tidak saling menghubungi lagi selama beberapa waktu.
Waktu kemudian mempersilakanku untuk tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya. Melalui Eka, tentu saja. Ternyata, selama ini Aida selingkuh. Aku tak kaget, aku sudah menduganya. Yang aku kaget adalah, ternyata dia selingkuh bahkan sejak seminggu kami jadian. Momen saat aku menyatakan cinta padanya ternyata adalah momen yang sangat tidak tepat. Saat itu Aida baru saja putus dengan pacarnya. Hal yang tak pernah aku ketahui sebelumnya. Eka saat itu cerita semua, bahkan tentang si mantan pacar Aida ini. Aida putus karena tahu si mantan pernah menodai seorang perempuan ketika mondok dan Aida tahu baru setelah kuliah. Saat itu dia sakit hati. Dia memilih memutuskan laki-laki yang menurut Eka sangat dicintai Aida tersebut.
Entah bagaimana ceritanya, mantannya Aida itu kembali lagi ke dalam kehidupan Aida, dengan membawa cerita, perasaan, dan cinta yang sama, yang tentu saja sulit untuk ditolak oleh Aida.
Aku akhirnya sadar, bahwa ternyata aku hanya menjadi pelampiasan. Pelampiasan bagi dirinya yang sedang berada pada titik terendah.
Belakangan, baru aku tahu, bahwa saat aku memutuskan menembak Aida pun, dia bimbang, antara menerima atau menolak, sebab ia belum siap meninggalkan mantannya. Ekalah yang kemudian meyakinkannya bahwa aku lebih baik dari mantannya hingga akhirnya Aida mau membuka hati dan menerimaku.
Sekarang, aku merasa sudah tidak ada hubungan lagi dengannya. Walaupun dia hanya mengatakan hubungan kami sebatas “break”. Rasanya aku sudah tak sudi lagi mengenal Aida. Hancur sudah harapan selama ini.
Tapi, Gus, Cik, hati kecilku tak pernah bisa berbohong. Aku masih suka dengannya. Sampai saat ini. Sampai detik ini. Bayangan tentang Aida tak pernah hilang. Bahkan untuk membuka hati lagi aku merasa berat. Sudah beberapa teman mencoba mencomblangkan aku dengan gadis lain. Tapi masih sulit aku memulai semuanya.
Benarkah aku masih suka dengan dia, Gus, Cik? Apa yang harus kuperbuat, Gus, Cik …?
Yanu, Pembaca Mojok
Jawab
Dear, Yanu. Saya cukup senang Sampeyan tidak jadi menyudahi derita hidup sampeyan dengan menghadap Sang Khalik, sebab, saya tidak yakin, Sang Khalik mau menemui sampeyan.
Yanu yang baik hatinya (cuiiiih), sebelumnya saya ingin minta maaf sebab saya harus memotong curhat sampeyan. Lha gimana ya, curhat sampeyan itu lebih dari 2200 kata je, dan ini adalah Mojok, bukan novel Tere Liye. Jadi mau tak mau, harus saya potong. Tapi tenang, saya motongnya tanpa mengurangi esensi curhatan sampeyan kok. Aman, aman.
Jujur, saya kok ya menikmati sekali membaca curhatan sampeyan. Lha gimana nggak menikmati, sampeyan itu pacaran dengan cara penembakan yang alamak, “islami” betul. Nembak pakai bahasa arab, ealah, diterima juga pakai bahasa arab. Saya jadi teringat sama kasus korupsi politisi salah satu partai yang saat bicara soal suapnya itu pakai bahasa arab. Hahaha.
Oke, langsung saja. Begini, Yanu…
Saya paham benar dengan situasi yang sampeyan hadapi. Kalau diibaratkan perang, musuh sampeyan ini sudah berani menyerang secara terang-terangan. Tanpa tedeng aling-aling. Maka, saran dari saya adalah, mulailah menyerang habis-habisan pula atau mundur sekalian.
Yang saya maksud menyerang habis-habisan adalah, langsung datangi orangtua Aida, dan katakan kalau sampeyan ingin meminang Aida. Sekalian. Bukankah orangtua Aida sudah memberi lampu hijau? Dan Aida sendiri statusnya juga belum putus kan sama sampeyan? Nah, manfaatkan hal tersebut.
Hal ini otomatis akan membuat Aida harus menentukan pilihan. Ini akan memberi tekanan kepadanya. Tekanan memang kadang harus dibalas dengan tekanan pula.
Ini akan membuat Aida berpikir, siapa yang lebih serius. Bukan sekadar yang lebih cinta, tapi yang lebih serius. Kalau dia memilih untuk menerima pinangan sampeyan, ya itu bagus. Itu jalan yang baik untuk memaksa Aida menghilangan ingatannya akan mantan pacarnya. Sebab konon katanya, menikah adalah salah satu cara terbaik untuk mengurangi bayang-bayang seseorang. Toh Aida sebelumnya juga pernah “memaksa” dirinya untuk membiasakan diri dan menerima sampeyan kan?
Pelampiasan memang lumrah dalam hubungan pacaran. Tapi dalam hubungan pernikahan, itu sudah soal komitmen dan keputusan, bukan lagi pelampiasan.
Nah, jika ternyata Aida menolak dan lebih memilih untuk menjalin hubungan dengan mantannya itu, ya sudah, tinggalkan. Jadi orang yang realistis saja.
Tapi, Gus, aku nggak bisa melupakan Aida, gimana dong?
Kalau sampeyan merasa tidak bakal bisa melupakan Aida, ya sampai kapanpun sampeyan tidak akan bisa melupakannya, sebab itu adalah afirmasi. Yang namanya perempuan itu, semakin dilupakan malah semakin teringat. Benar apa kata Didi Kempot, “Wis tak lali-lali, malah sansoyo kelingan”.
Melupakan wanita itu memang seperti mengeluarkan air dari dalam telinga, ia hanya bisa dikeluarkan dengan memasukkan air yang lain.
Beberapa teman mencoba mencomblangkan aku dengan gadis lain. Tapi masih sulit aku memulai semuanya.
Lah, orang kok maunya yang mudahnya saja, nggak mau sulitnya. Lha kalau sampeyan pengin yang mudah-mudah, jangan memadu kasih, tapi kerjakan soal PPKN anak kelas 2 SD saja sana.
Mulailah untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain. Atau setidaknya, cobalah untuk membiasakan diri, bahwa perempuan bukan cuma Aida seorang. Tentu ini akan sulit, tapi ya memang harus dipaksa.
Begitu, Yanu, saran dari saya.
Jika sampeyan sudah mengikuti saran yang saya berikan tapi kok masih tetap merasa bimbang dan gundah, ya sudah, apa mau dikata, saya menyerah. Silakan kalau ingin menyudahi derita ini dengan menghadap sang Khalik, saya tidak akan menghalang-halangi. Ingat, Mojok adalah tempat untuk mencari saran, bukan mencari solusi.
Oh ya, kalau butuh racun tikus yang tokcer atau tali tambang yang kuat, jangan segan-segan hubungi saya ya.