Tanya
Dear Gus Mul/Cik Prim yang baik hatinya. Perkenalkan, saya Yudi, asli Salatiga, tapi sekarang sedang merantau di Jogja.
Gus/Cik, langsung saja ya curhatnya. Jadi begini, saat ini, saya sedang kasmaran dengan seseorang, dia teman kerja saya. Kebetulan kami berdua sama-sama bekerja di sebuah kedai kopi di daerah Depok. Saya baristanya, sedangkan dia waitress-nya.
Tadinya saya blas nggak menaruh perasaan sama dia, tapi dasar namanya juga witing tresno jalaran seko kulino, kebiasaan terus menerus bersama dia dan sering mengantar dia pulang ke kosan dia membuat hati ini lama-lama bereaksi juga.
Saya sempat bingung sama perasaan ini, hingga akhirnya saya menyadari, bahwa saya benar-benar jatuh cinta sama dia.
Saya berkali-kali membayangkan, betapa indahnya jika saya dan dia jadian. Lha gimana nggak indah, pacaran sama rekan kerja sendiri, nggak perlu nunggu malam mingguan, sudah bareng terus sepanjang malam.
Saya akhirnya memutuskan untuk menembak dia, sebab saya merasa yakin, dari respon-responnya baik melalui gestur tubuh maupun melalui gaya balasan chat-chatnya di wasap, menunjukkan kalau ia juga menaruh hati sama saya.
Nah, Gus/Cik, yang jadi masalah adalah, ternyata, setelah seminggu yang lalu saya tembak, dia ternyata hanya diam saja. Tidak mau menjawab. Saya jadi galau, kalau memang dia tidak mau sama saya, kenapa tidak langsung menolak saja, atau kalau memang mau sama saya, kenapa tidak langsung menerima, kalau diam begini malah saya yang jadi kikuk sendiri. Setiap kali ketemu di tempat kerja, suasananya jadi serba berbeda.
Kalau sudah begini, kira-kira apa yang harus saya lakukan, Gus/Cik?
Jawab
Dear Yudi yang sedang bimbang hatinya…
Jujur saja, kisah asmara sampeyan ini sedikit banyak mirip dengan saya. Oleh sebab itu, saya ingin mencoba menjawabnya dengan pendekatan pengalaman pribadi saya sendiri.
Begini, dulu sewaktu SMA, saya pernah menyukai kawan satu kelas saya, di mata saya, dia cantik, walau mungkin di mata siswa lain, dia biasa saja. Sama seperti sampeyan, saya tadinya juga tidak menaruh hati sama sekali, namun berhubung kita duduk sebelahan (tapi tidak satu meja), dan sering bercanda satu sama lain, itu membuat hati saya bereaksi. Dan sekali lagi, sama persis seperti yang sampeyan rasakan, saya akhirnya menyadari bahwa saya jatuh cinta sama dia.
Dan sialan, lagi-lagi kok ya kisah sampeyan sama persis. Saya kemudian menembak dia karena saya kadung punya keyakinan kalau dia juga punya rasa sebab dia selalu membalas sms saya dengan balasan yang menyenangkan.
Dan sampeyan tahu, apa hasilnya? Nihil bung. Saya ditolak mentah-mentah.
Cerita ini saya ceritakan sebagai pengantar, agar sampeyan nanti punya kesiapan kalau-kalau nanti sampeyan ditolak mentah-mentah seperti saya. Sebab, bekal paling berharga dalam usaha menembak perempuan yang kita suka saya kira adalah siap ditolak, bukan siap diterima.
Nah, perkara dia ternyata diam saja saat sampeyan tembak, tidak memberikan jawaban bahkan sampai seminggu berlalu, ini juga hampir persis dengan kisah saya.
Dulu, sewaktu saya menembak seseorang yang saya suka, dia diam saja. Tidak memberi jawaban, bukan sekadar satu minggu, dua minggu, tapi satu bulan lebih. Dulu saya ingin menangkapnya sebagai “diam berarti ya”, tapi kok ya hati saya nggak mantep. Akhirnya satu setengah bulan kemudian setelah saya nembak, saya paksa dia untuk jawab, dan alhamdulillah, dia akhirnya mau menjawab, dan jawabannya menyenangkan hati, sebab ia mau jadi pacar saya (Puji Tuhan, sampai sekarang, dia masih betah, masih kuat, dan belum memutuskan saya).
Bayangkan, butuh waktu satu setengah bulan sampai ia bersedia menjawab dan membalas kata cinta saya. Itupun sebab saya paksa, kalau tidak saya paksa, mungkin bisa sampai satu atau dua caturwulan baru dia mau jawab.
Barulah kemudian saat kita sudah jadian, saya tanya sama dia, kenapa dulu tidak langsung menjawab. “Aku kaget kamu tiba-tiba nembak begitu, makanya aku diam saja, nggak njawab,” katanya.
Nah, hal ini lah yang kemudian ingin saya sampaikan kepada sampeyan. Kadangkala, wanita itu tidak siap menjalin ikatan hubungan dengan seseorang, padahal mungkin hatinya cinta. Ia hanya butuh waktu. Nah, tugas sampeyan sebagai lelaki barangkali adalah untuk meyakinkannya (dan mungkin, memaksanya, hahaha)
Untuk kasus sampeyan, saran saya, biarkan ia tetap dalam diamnya dalam jangka waktu tertentu, bisa satu bulan, atau dua bulan, silakan anda tentukan sendiri. Nah, selama itu, berusahalah untuk tetap bersikap seperti saat sampeyan belum menembaknya. Tetaplah mendekatinya, tetaplah perhatian, dan tetaplah sering-sering japrian, sebab itu adalah masa-masa krusial.
Tentu ada dua kemungkinan. Pertama, ia diam lama sebab ia merasa tidak siap untuk berpacaran dengan sampeyan sungguhpun ia juga punya rasa. Kedua, ia diam lama sebab ia sedang memikirkan cara terbaik untuk menolak sampeyan tanpa harus merusak kondusifitas lingkungan kerja.
Tentu saja saya, dan juga sampeyan berharap, diamnya dia adalah diam sebab kemungkinan pertama, bukan karena kemungkinan kedua. Tapi toh namanya juga kemungkinan, selalu punya pilihan.
Yah, pada akhirnya, saya hanya bisa mendoakan, semoga sampeyan sukses.
Oh ya, sebagai penutup jawaban curhat ini, saya ingin berpesan kepada sampeyan, jika kelak ndilalah sampeyan jadi sama perempuan pujaan sampeyan itu, tolong jangan bermesra-mesraan di tempat kerja, yakinlah, itu bikin muak kawan-kawan sampeyan satu kerjaan.
Saya sudah membuktikannya sendiri, betapa muak diri ini melihat kemesraan Cik Prim dan Bana saat rapat redaksi