MOJOK.CO – Seorang perempuan menceritakan kisah cinta jarak jauh yang bermula dari main game online bareng.
TANYA
Dear Mojok,
Nama saya Sari, yang bukan lagi ABG usia belasan tahun. Tiga bulan lalu, saya kenal seseorang dari aplikasi game online. Bukan hobi, sih. Hanya saja waktu itu sedang libur kuliah. Jadinya saya tertarik main game Werewolf bersama teman-teman saya di dunia nyata. Hingga suatu hari, saya main game dengan seseorang yang baru saya kenal dari dunia game online. Berkali-kali. Berhari-hari, sampai dia minta nomor Whatsapp saya. Awalnya tidak saya kasih, namun ketika dia minta lagi, saya kemudian mikir: mungkin tidak ada salahnya untuk berteman di Whatsapp. Iya, kan, Jok?
Sejak chattingan sama dia, saya jadi semakin jarang buka aplikasi game—hingga benar-benar tidak buka sama sekali. Kami membicarakan banyak hal di Whatsapp, terkadang sampai meminta pendapat sebelum ambil keputusan. Saya pun lama-lama merasa nyaman, damai, dan rasanya bisa senyambung itu sama dia. Tapi di sisi lain, saya juga merasa tersiksa sendiri.
Iya, saya tersiksa karena hati pengin bertemu. Dia pun sama. Sayangnya, saya dan dia cukup jauh, berbeda pulau. Katanya dia juga susah untuk ambil cuti kerja. Dari obrolan kami, sepertinya dia ingin saya yang mengunjunginya. Namun, tidak akan mudah. Sebab, orangtua saya tidak akan memberi izin berpergian ke luar kota selain untuk keperluan pendidikan.
Saya berdoa, semoga suatu hari nanti memang bisa ketemu. Terserahlah siapa yang mengunjungi siapa dan bagaimana caranya. Saya yakin kalau Allah mengizinkan, juga akan bertemu.
Sejujurnya, saya sering menahan sedih karena kepikiran jarak serta tipisnya kemungkinan bersama. Saya jadi melow sekaligus malu karena bisa-bisanya galau dan baper soal beginian. Mungkin seharusnya saya biasa-biasa saja. Kalau memang ditakdirkan bertemu ya bertemu. Kalau tidak, ya, sudah. Toh, cuma kenal di dunia maya. Kalaupun benerang sayang, palingan juga rasa sesaat. Tapi, kenapa hal ini berhasil bikin saya berantakan, Jok?
Dia sempat dua kali nge-block saya di Whatsapp, tapi beberapa jam setelahnya dibuka lagi. Saya pun pernah bales nge-block sekali. Kami sering berdebat karena merasa menjalin hubungan yang nggak jelas masa depannya. Sampai akhirnya, saya bilang lebih baik saling hapus kontak Whatsapp saja. Toh, sebelum ada dia, saya tidak ada beban perasaan, happy happy saja, dan tidak begitu tertarik pacaran. Jadi pasti mudah.
Tapi, setelah saya hapus, ternyata hari-hari saya berlalu dengan semakin sedih, galau, dan kehilangan. Sangat kehilangan. Kadang saya merasa ini tidak benar. Oleh karena itu, saya minta saran untuk membuka pikiran saya. Menurut Mojok, apakah yang saya lakukan sudah benar? Jika sudah benar, mohon tipsnya untuk sekadar mengobati hati yang galau melulu ini. Ataukah, saya harus perjuangkan cinta saya semu itu lagi? Meski akan sulit dan entah apa yang akan terjadi ke depannya.
JAWAB
Hai Sari, yang galaunya sedang membabi buta. Ya, begitulah yang namanya perasaan ketika terlilit jatuh cinta: pelik. Ditambah sering kali suka nggak sinkron sama logika. Bikin ruwet atau seperti yang kamu alami, bikin hidup dan hati jadi b-e-r-a-n-t-a-k-a-n. Menyebalkan sekali, bukan?
Tapi masalahnya, meski perasaan bisa sebajingan itu, nyatanya dia juga yang memberi energi kita untuk menjalani rutinitas sehari-hari. Sapaan pagi ketika bangun tidur dan memberi semangat sebelum memulai aktivitas, terkadang—dengan tak habis pikirnya—cukup menjadi asupan mumpuni dalam melewati hari Senin yang berat untuk berpisah dengan bantal.
Apalagi, jika rasa-rasa yang sedang menggebu-gebunya itu, belum juga punya kesempatan untuk dilampiaskan dalam sebuah temu. Haissshhh. Bikin hati semakin gondok. Mau marah-marah dan nggak terima, TAPI MASALAHNYA SAMA SIAPA? Eh, sori, capslock jebol.
Sari, saya memahami kebimbangan kamu yang rasanya bingung mau maju untuk terus berjuang, ataukah mundur saja supaya hati tidak semakin tersakiti pelan-pelan. Hati kecil rasanya mau berharap, tapi kok logika bilang mending jangan. Khawatir nanti bakal semakin tersiksa kalau memang tidak ditakdirkan Tuhan.
Pertama, yang harus kamu lakukan, akui saja kalau kamu sudah jatuh cinta sama dia. Atau mungkin sudah betul-betul sayang? Nggak perlu gengsi untuk mengakui perasaan itu. Kasihan kamu kalau harus buang-buang energi menutupi perasaan yang memang dirasakan. Kasihan kamu yang malah jadinya tersiksa dan sakit-sakit sendiri.
Nah, kalau kamu sudah bersedia menerima perasaan itu. Saatnya kamu tanyakan pada dirimu sendiri, kira-kira kamu mau memperjuangkan dia? Atau cukup menyimpan perasaan itu, hingga Tuhan mengabulkan doa-doamu dan menjadikan segala harapan itu menjadi takdir. Takdir bahwa suatu saat nanti, kalian pasti dipertemukan.
Kalau kamu memilih untuk menunggu doa-doa itu terkabul, ya sudah, cintai dia, tapi juga ikhlaskan dia. Ikhlaskan dalam artian, berusaha menjalani hubungan tersebut dengan lebih let it flow saja. Selayaknya tipe-tipe hubungan: jalani dulu aja. Bukankah kamu memang menunggu si takdir ini datang dengan sendirinya, kan?
Namun, jika kamu merasa bahwa hubungan tersebut perlu diperjuangkan. Ya, diperjuangkan. Sari, kalau udah sayang, biasanya otak kita bisa bekerja dengan tidak terduga. Jika kamu mau mengasahkan, tentu dia akan memberikan kamu insight akan hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Kamu bilang, bisa ke luar kota kalau hanya urusan pendidikan saja, kan? Ya, sudah, jadikan itu sebagai kunci untuk dapat izin pergi ke luar kota. Caranya? Ikuti saja lomba-lomba atau kegiatan yang berbau-bau pendidikan di kota dia. Buat kesempatan bertemu itu jadi ada.
Namun, yang perlu kamu ingat. Kunci sebuah hubungan adalah ketersalingan. Kalau kamu memang bertekad untuk memperjuangkan. Seharusnya dia pun juga. Kalau kamu berusaha untuk datang ke kotanya. Seharusnya dia pun juga. Tidak menjadi sulit cuti jadi alasan terus-terusan. Pasalnya, kalau hanya kamu yang berjuang, mohon maaf nih, buat apa?
Ya, buat apa memperjuangkan seseorang yang sebetulnya tidak ingin-ingin banget memperjuangkan kita?
Pilihan ada di kamu. Tapi yang jelas, jangan membohongi perasaanmu. Tersiksa hanya karena membohongi diri sendiri itu, sungguh tidak perlu. Selamat bertanya dengan dirimu sendiri. Semoga kamu betul-betul dapat menerima apa yang kamu rasakan.