Bapak Bilang, Carilah Suami yang Cina

Bapak Bilang, Carilah Suami yang Cina

Bapak Bilang, Carilah Suami yang Cina

Tanya

Dear Mas Agus Mulyadi yang saya kagumi.

Semoga Mas Agus belum melupakan saya, anak perempuan dari bapak yang Kristen tapi ndak pernah ke gereja itu dan pernah jadi selingkuhan dua kali.

Ora kakean cangkem, di rubrik curhat ini ya tentu saja saya mau curhat.

Selama saya hidup sampai sekarang, tujuh kali saya pacaran. Kisahnya, kalau ndak paket combi beda agama-diselingkuhi-dijak putus pas LDR, ya, diputus karena saya ndak mau dijak kelon.

Soal yang terakhir, ya saya tahu, mana ada cah lanang yang tahan ndak cekelan tangan, ndak cipokan, ndak ngremet, grepe, dan hanya bisa nyiumi layar smartphone? Belum lagi kalau musim hujan, kehangatan lokal selalu menjadi penyedia jawaban yang hakiki.

Kemarin, 28 Oktober 2016, di hari Sumpah Pemuda, saya diputus secara sepihak. “Aku bosen, kita sudahi saja ya, aku sudah nggak kuat,” kata Mas Yogik, mantan saya. Padahal sebulan sebelumnya beliau sempat hilang dua minggu. Muncul-muncul kasih kabar kalau abis selingkuh sama temen kuliahnya karena si temen lebih bisa disun-sun. Bayangkan, betapa saya pengin ngeluarin ajian rawa rontek ke Mas Yogik. Tapi, tampaknya hati saya sudah dikebiri. Sakit pun saya masih mengampuninya, walau ending-nya beliau yang ngajak putus.

Sebelum bertanya, FYI, bapak saya adalah keturunan chinese. Pernah saya dinasihati begitu panjang lebar agar saya juga cari calon suami yang chinese. Alasannya, karena saya perempuan. Beda cerita kalau saya laki-laki. Saya dijelaskan panjang lebar sejarah kenapa perempuan Cina harus nikah sama laki-laki Cina juga. Mungkin kawan-kawan bisa googling.

“Kalau memang suamimu nanti bukan orang Cina, carilah yang bertanggung jawab dan punya penghasilan bagus. Bapak ndak mau kamu hidupnya susah. Beli beras, elpiji, pulsa listrik, sama SPP anak-anakmu nanti kan bayarnya masih pakek duit, Nak, bukan pakek godhong sembuk’an,” kata bapak saya. Belum pernah saya lihat wajah bapak saya begitu memohon seperti kala itu. Tapi, saya pikir, kenapa masalah jodoh saja harus serasis ini?

Mas Agus yang lugu, pertanyaan saya adalah, apakah saya harus mematuhi pesan bapak saya biar ndak lagi-lagi terjebak cinta beda agama-LDR-diselingkuhi? Apakah selama ini saya kualat?

Bukan apa-apa, eh, apa-apa ding. Dapet pacar yang ngganteng, putih, duwur, mbangir, nyambung sama saya, ora nggatheli, dit’e akeh, gelut menangan kayak Boy pacarnya Reva itu saja sudah susah. Lha kok harus chinese ditambah harus seagama. Terus sakjane aku kudu piye, Mas?

Semoga curhatan ini bukan hanya dibaca lalu dicampakkan dan tidak di­-publish. Bapa di surga mengasihimu.

Saya tunggu jawabannya, Mas. Sekian

Novi

Jawab

Dear Novi yang kisah cintanya lebih drama daripada FTV-jam-10-pagi.

Membaca serial kisah cinta dan agama di kehidupan pribadi Novi membuat saya ingin mengelus dada Nicholas Saputra saking dramanya. Sedrama-dramanya kisah cinta Arya Kamandanu yang selalu dikhianati abangnya sendiri, rasa-rasanya masih lebih happy ending daripada tujuh seri balada cinta Novi. Berkali-kali gagal dalam asmara karena alasan yang begitu-begitu saja, kayaknya satu hikmahnya hanyalah: Novi punya legitimasi untuk bikin nama Facebook menjadi Novi yaNkCelaLuDisAkitiHaTiNyA. Cuma itu. Bahkan itu pun ujung-ujungnya potensial untuk di-bully oleh teman-teman Novi. Prihatin.

Novi yang selalu disakiti, saya maklum jika pesan orang tua membekas dalam pada sanubari anaknya, apalagi kalau hal itu se-urgent persoalan jodoh. Sehingga kemudian ada pikiran, jangan-jangan musibah asmara yang selama ini menimpa bertubi-tubi itu karena kualat tidak mematuhi anjuran Bapak.

Jika kemudian Novi sendiri merasa jengah harus kawin sama cino, sebenarnya ada beberapa opsi untuk mengakali petunjuk Bapak itu. Misalnya dengan mencari pasangan hidup orang Manado, Dayak, atau Nias yang mukanya kayak koko-koko totok. Ketika mengenalkan mereka dengan Bapak, Novi bisa berdalih bahwa mereka punya darah Cina di leluhur nomor sekian. Toh, pesannya cari yang Cina, kan, bukan Cina totok?

Walau demikian, mengakali orang tua justru lebih berat kualatnya daripada melawan secara terang-terangan tapi persuasif. Jika kelak ketahuan bahwa si suami bukan Cina dan bapakmu jadi kecewa berat sama kamu, ini justru bisa jadi masalah yang lebih besar. Enggak dikasih warisan, misalnya. Bagi pasangan yang sudah berkeluarga, nama dicoret dari daftar pewaris itu gawatnya minta ampun. Apalagi kalau tanah punya bapak sudah dipakai untuk jaminan ngambil kredit bank. Gawat.

Untuk menghindari sengsara yang tidak akan membawa nikmat itu, saya sarankan Novi jujur-jujuran saja sama Bapak. Bahwa jodoh itu datang sudah digariskan Dewa Dapur, tanpa kita bisa menerka orang itu orang Cina atau orang Mozambik. Janganlah diberi filter yang susah-susah seperti harus Cina, sebab ada filter lain yang lebih susah dari Yang Maha Kuasa, dan syukur-syukur tidak kejadian: misal, jodoh kita baru lahir pas kita sudah manula. Atau jodoh kita sudah mati pas dia masih bayi. Amit-amit jabang bayi.

Terlebih, ini sudah zaman Reformasi. Sudah berlalu era di mana kata sakti “menurut petunjuk Bapak” menjadi senjata untuk menyelesaikan segala masalah. Tidak perlulah menggeser-geser permasalahan dari Novi yang kesulitan men-scan cowok dengan moral baik menjadi persoalan “ini semua gara-gara kualat”. Era metafisik sudah rampung, kata Auguste Comte. Saat ini adalah era positivis which is segala sesuatu kudu rasional.

Jika kemudian Novi menemukan laki-laki dengan mentalitas Arya Kamandanu, yang nrimonan dan enggak neko-neko, toh masalah etnis atau suku harusnya bukan lagi masalah. Dengan posisi Novi yang enggak mau menyakiti hati Bapak misalnya, Novi bisa saja nyekak Bapak dengan menawarkan opsi: Bapak mau menantu Nicholas Saputra yang blasteran Jawa-Jerman atau Fanny Fadhillah yang Cina? Ini namanya strategi memberi opsi tapi sebenarnya tidak memberi opsi.

Akan tetapi ada perkecualian. Apabila berjodoh dengan orang selain Cina justru membuat masalah yang tak hanya dengan selera Bapak, tapi juga dengan finansial Bapak (dan Novi, kalau sudah punya tabungan rabi), mungkin Novi juga harus pikir-pikir. Sebab, seperti yang Novi tahu, di kalangan orang Cina, pihak mempelai perempuanlah yang mendapat mahar dari mempelai laki-laki. Dapat srah-srahan emas seons, tentu lumayan buat nombok ongkos selametan manten. Lah, kalau Novi dapat cowok Minang? Yang ada kebalikannya, mempelai perempuan yang harus memberi mahar. Kalau cowoknya cuma lulusan SMA mungkin masih bisa ditanggung. Tapi, kalau doi lulusan sarjana atau master, bisa-bisa maharnya minimal Honda CRV. Berat diongkos.

Jadi, intinya Novi harus bisa tegas pada diri sendiri. Ajaran Bapak bahwa jodoh baik itu yang sama etnis/suku tidak mutlak benar. Sebagaimana tidak selamanya orang tua saja yang bisa ngajari anak tentang apa yang baik. Wong bapak-ibu kita itu supaya enggak kirim meme-meme garing di grup WhatsApp atau supaya bisa selfie dengan benar saja, itu anak yang ngajari kok.

Demikian kiranya saran yang bisa saya berikan. Jikalau dirasa saran-saran itu solutif, hendaknya ucapan terima kasih tidak dialamatkan kepada Agus Mulyadi, karena minggu ini yang piket menjawab #CurhatAsmaraMojok itu Cik Prima, cewek, redaktur baru Mojok Dot Co.

Sebenarnya saya sedih sekaligus maklum kalau para pembaca yang puluhan akun email jumlahnya itu ngirim curhatan yang selalu dibuka dengan “Dear Mas Agus Mulyadi”. Sebagai perempuan yang lemah, minoritas Cina *kita samaan. Tos dulu*, dan redakur newbie, para pembaca Mojok kerap mendiskriminasi keberadaan saya yang dianggap seakan tidak ada di situs web kesayangan kita ini.

Dan seharusnya, ketika membaca jawaban curhat ini, Novi sudah bisa menebak bahwa yang membalas bukan Agus. Sebab Agus Mulyadi tidak mungkin ngutip-ngutip Auguste Comte, walaupun nama mereka sama-sama A(u)gus(t). Kejauhan Comte. Agus tahunya cuma snack Gulai Ayam 500-an dan semur jengkol bikinan mboknya. Itu saja.

Demikian. Semoga di rumah keluarga-keluarga lain di mana pun berada, para bapak sedang berhadapan dengan anak laki-lakinya dan memberi nasihat: “Cari istri yang Cina, Nak.”

Dari redaktur yang disakiti pembaca Mojok

Cik Prim

Disclaimer: #CurhatMojok menerima kiriman curhat asmara pembaca yang akan dijawab oleh dua redaktur Mojok, Agus Mulyadi dan Cik Prim. Tayang tiap malam Minggu pukul 19.00, setiap curhat yang dimuat akan mendapat bingkisan menarik. Kirimkan curhatmu ke redaksi@mojok.co dengan subject “Curhat Mojok”.

Exit mobile version